Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
100
Penayangan
10
Bab

Sebagai pemilik She's Mine yang bergerak di bidang industri pakaian, Salju terus berusaha untuk menjadikan usahanya dikenal dan mampu bersaing dengan merek dari industri lain. Semakin tinggi karirnya, semakin banyak tantangan yang ia hadapi. Termasuk menghadapi dua orang pria yang telah mengukir banyak kenangan bersamanya. Untuk menghindari jatuhnya bisnis karena isu yang beredar, Salju harus memilih antara Justin, mantan kekasih yang pantang menyerah memiliki Salju seutuhnya, atau Mars, sosok yang menjadi saksi jatuh bangun usaha She's Mine dan penolong untuk segala permasalahan bisnisnya.

Bab 1 Siblings Problem

"Yaelah bang! Tolong banget ini mah. Gue cuma ke luar negeri dua minggu buat kerjaan, masa nggak dibolehin sih?!"

Perempuan dengan surai panjang dan legam itu berbicara dengan suara tinggi kepada seorang laki-laki yang lebih tua lima tahun darinya.

"Dua Minggu itu bukan waktu yang cepet, Salju! Itu lama banget!" Kakak dari perempuan bernama Salju itu tidak kalah protes kepada adiknya yang sangat keras kepala.

Nyatanya, mereka berdua sama-sama keras kepala dan tidak akan mudah untuk saling mengalah.

"Duh, bang! Ini kan urusan kerjaan! Gue mulai ini bisnis dari nol! Kalau meeting ini batal, gue bisa rugi jutaan dollar! Tolonglah, bang. Pikirin karyawan-karyawan gue mau digaji apaan? Masih banyak di antara mereka yang anak-anaknya masih kecil, masih banyak tanggungan, lagi nabung buat modal nikah, lo kaga kasian sama mereka?" Salju menunjukkan proposal yang ada di atas meja sambil terus bersuara lantang sekaligus serak, ia sudah berdebat dengan kakaknya selama kurang lebih dua jam.

"Iya, oke. Gue tau, Salju. Gue ngerti kok, mulai dari lo rintis bisnis ini gue bangga banget. Lo juga bilang soal karyawan dan dengan segala permasalahannya. Iya, gue ngerti." Michelle Sean. Sosok berkulit cerah itu mengangguk takzim mendengar pernyataan Salju yang sudah sangat memohon izinnya. Dalam hati, ia merasa kasihan kepada adik bungsu yang menjadi satu-satunya kerabat yang ia miliki.

Mendengar pernyataan sang kakak, Salju merasa sedikit tenang. Namun, ia belum bisa bernapas lega sebelum paspor miliknya benar-benar sudah ia genggam sendiri. Selama ini, hampir semua identitas milik perempuan itu dikendalikan oleh Sean. Kecuali kartu identitas pribadi dan surat izin mengemudi.

"Tapi, lo tetap nggak diizinin."

Ucapan singkat itu membuat Salju menjatuhkan diri ke atas sofa secara kasar. Ia benar-benar membuang tenaga berdebat dengan kakak sulung yang tidak akan pernah mengalah dalam perdebatan.

Tapi, bukan Salju namanya jika tidak pandai bernegosiasi. Kakaknya akan terus bersih kukuh dalam pendiriannya, namun Salju akan membuat negosiasi yang mungkin sedikit berisiko untuk dirinya sendiri.

"Oke. Fine!" Perempuan bersurai panjang itu kembali duduk dengan tegap, ia menghadap ke arah sang kakak yang sudah siap dengan sesi negosiasi di antara mereka. "Gue akan melakukan apapun yang lo mau, asalkan gue bisa pergi ke luar negeri untuk pertemuan bisnis ini. Please! Cuma ini kesempatan gue biar bisa balik modal, abang sayang!" Salju memelas, ia bersimpuh di depan kakaknya sambil menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada.

"Oke. Mungkin ada satu cara yang bisa bikin gue percaya lo aman di luar negeri." Sean berdiri dari sofa dan membelakangi adiknya yang masih berlutut di atas karpet beludru merah. Secercah harapan dimiliki oleh Salju, ia berharap hal itu tidak terlalu merugikannya.

"Sebelumnya, gue..."

"Please, bang! Gue bener-bener yakin, apapun deh! Apapun yang lo mau bakal gue turutin, lo mau minta apapun gue kasih! Lo mau gue bikinin lapangan basket depan rumah atau ngasih wardobe gratis buat talent, artist, dancer apapun, bakal gue turutin bang! Serius!"

Mendengar keseriusan dari adiknya, membuat Sean menampilkan senyuman puas. Ia pun mengangguk sendiri dan pergi meninggalkan Salju di ruang tengah, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Setelah Sean benar-benar pergi, perempuan yang sedang bersimpuh itu pun langsung mengangkat tubuhnya dan membaringkannya lagi ke atas sofa. Dalam hati, ia mengutuk kakaknya yang keras kepala dan sedikit posesif itu. Walaupun Salju sangat menyayangi kakaknya, ia tetap membenci moment saat harus berdebat seperti ini.

Sejak orang tua Sean dan Salju berpisah, mereka masih berusia dua belas dan tujuh tahun. Hak asuh diberikan kepada sang ayah. Namun, satu tahun kemudian ayahnya meninggal. Sean saat itu harus bekerja dan putus sekolah demi menghidupi adiknya sendiri. Ia tidak berniat untuk menemui sang ibu karena tahu ibunya terlibat perselingkuhan, yang membuat Sean membenci sosok ibunya seumur hidup.

Saat Salju duduk di bangku SMA, Sean memutuskan untuk pindah ke luar kota dan mencoba untuk mengikuti audisi. Sedangkan, sang adik berusaha untuk membantu kebutuhan finansial mereka dengan bekerja paruh waktu. Awalnya, Sean melarang hal tersebut karena khawatir pendidikan Salju akan terganggu. Perempuan itu pun memberikan pembuktian dengan menunjukkan nilainya yang selalu bagus.

Hingga Sean berhasil memasuki dunia industri musik dan Salju merintis usahanya sendiri di bidang fashion. Keduanya saling membantu dan memulihkan finansial, mereka juga semakin sibuk dalam urusan masing-masing. Sean sadar bahwa ia adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan Salju. Di sela kesibukan, ia berusaha meluangkan waktu untuk sekadar menanyakan aktivitas atau adik kesayangannya itu.

"Gue harap, abang gue nggak minta macem-macem. Gila aja kemaren gue diminta beliin makanan katering banyak banget, cuma buat gebetannya yang mau dateng ke rumah. Huh! Padahal itu kan sahabat gue sendiri!" Salju memijat pelan pelipisnya yang mulai pusing, mengingat banyak sekali kejadian tidak masuk akal yang diminta oleh kakaknya dalam negosiasi ini.

Belum selesai dengan isi kepalanya, Salju diganggu dengan dering ponsel di atas meja. Dengan segenap usaha, ia bangkit dan menggapai ponselnya. Kemudian, melihat nama yang tertera di layar ponsel.

Namun, bukan berita baik bagi Salju saat melihat nama Park Mars tertera di sana. Ia langsung menetralkan suaranya dengan berdeham sendiri, kemudian menggeser ikon hijau pada layar.

"Halo?"

"Salju?"

"I-iya, Mars? Kenapa?" Suara perempuan itu tiba-tiba memelan saat melihat Sean keluar dari ruangan.

"Aku dan pemimpin perusahaan lain sepakat untuk buat pertemuan di Jepang. Tapi... "

"Tapi, kenapa?" Salju tidak sabar mendengar suara Mars yang menggantung di seberang sana. Seketika suasana hati perempuan itu menjadi tidak menentu. Ia sangat tidak siap kalau harus menerima kabar buruknya.

"Ah, ya. Aku nggak tau apa alasan yang pasti. Tapi, mereka sepakat untuk pertemuan di hari Kamis ini."

"What?!" Perempuan yang awalnya memelankan suaranya itu langsung berseru, membuat Mars maupun Sean yang sedang mengambil soda di kulkas terkejut.

"I-iyaa... Kalau begitu, aku telepon kamu nanti ya. Sampai jumpa." Mars menutup sambungan telepon secara sepihak. Tidak memberikan kesempatan untuk Salju mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Hari Kamis, berarti dalam waktu dua hari pertemuan akan berlangsung. Dan perempuan bersurai panjang itu belum mempersiapkan apapun untuk kepergiannya selama dua minggu di Negeri Sakura itu.

"Abang! Abang!!" Salju langsung melompat dari sofa dan menghampiri kakaknya yang masih terpaku di depan kulkas sambil memperhatikan adiknya yang sudah memohon di hadapannya.

"Abang, please kasih gue izin buat pergi, Hari Kamis nanti gue udah harus di sana buat pertemuan bisnis, please bang, gue butuh banget izin lo sekarang, Please! Kasih tau gue sekarang, apapun yang lo mau, asalkan kasih gue izin pergi ke luar negeri, bang! Please!"

Salju terus memohon sambil menyatukan tangannya di depan dada, bahkan sesekali mengguncang tubuh kakaknya yang belum mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga suara bel rumah menghentikan permohonan brutal dari Salju dan mengalihkan perhatiannya.

"Nah, itu permintaan gue. Sekarang, lo buka pintunya, nanti gue kasih tau syaratnya." Sean menuangkan soda ke dalam gelas dengan santai, sedangkan bel masih terus berbunyi sebelum ada yang membukanya.

Salju yang merasa terdesak, mau tidak mau membukakan pintu dan ia ingin segera tahu apa yang diinginkan oleh kakaknya itu.

"Iya, seben... tar." Salju membeku saat melihat sosok yang berdiri tegap di hadapannya. Laki-laki itu tersenyum bangga ke arah Salju yang mematung, tidak percaya.

"Jay Justin?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku