Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
"Kamu kok baru pulang jam segini Rin? Sudah Ibu tunggu dari tadi juga." Aku hanya bisa menghela nafas saat menatap sosok Ibu mertua yang berdiri di teras.
Sebelum aku menurunkan semua barang dagangan, Ibu mertua sudah mengambil tas yang tersampir di tangan. "Tunggu dulu Bu. Aku mau mencocokan hasil pembayaran hari ini. Jangan di ambil dulu."
Ibu mertua yang tetap tidak peduli sudah membuka tas selempangku lalu mengambil segepok uang berjumlah dua ratus ribu rupiah. Uang yang sejatinya akan aku gunakan untuk membayar biaya spp Dinda, putriku yang baru kelas satu SD.
"Uang ini buat Ibu dulu. Biaya sekolah Dinda bisa kamu cari lagi besok. Ibu harus membayar biaya arisan agar bisa dapat bulan ini."
"Bukannya Mas Eko sudah kasih gajinya kemarin Bu?" Tanyaku sedikit memberontak.
"Sudah habis buat beli sabun, sampo, beras terus barang-barang yang lain. Belum lagi beli skincare untuk Ibu dan adik iparmu. Sudahlah jadi mantu jangan pelit. Sudah kewajiban kamu sebagai istri untuk membantu Eko membahagiakan keluarganya." Seru Ibu mertua ketus lalu naik ke atas motornya.
Bukannya aku mau bersikap pelit. Hanya saja gaji Mas Eko yang hanya setar umr itu di berikan semua pada keluarganya. Jelas saja tidak cukup karena harus menghidupi orang tua dan adik perempuannya. Karena itulah Mas Eko mengijinkan aku bekerja sejak umur Dinda tiga tahun.
Sayangnya hasil pekerjaanku juga harus di nimkati oleh keluarga Mas Eko. Bagi mereka asalkan aku dan Dinda masih bisa makan itu sudah cukup.
Aku terduduk di teras rumah. Kepalaku mendadak pusing karena memikirkan uang setoran yang harus aku berikan pada agen. Sedangkan penghasilan hari ini tidak seberapa karena hanya sedikti pelanggan yang membayar kredit pakaian mereka.
Tanpa terasa air mata sudah meleleh di pipiku. Ku hapus air mata itu dengan cepat lalu mengambil barang-barang yang masih ada di atas motor. Ada dua kardus berisi pakaian yang aku bawa keliling. Untuk di jajakan pada para tetangga dengan cara menghampiri dari satu rumah ke rumah yang lain.
Jika pasar mingguan buka, aku juga berjualan di pasar. Dengan harga sewa yang semakin mahal setiap tahun jujur saja membuatku kesulitan berjualan. Untung saja penghasilan dari menjajakan baju keliling cukup untuk biaya makanku dan Dinda. Itu pun setelah di ambil oleh Ibu mertua seperti tadi.
Namun, sejak Dinda masuk SD, uang yang harus aku dapatkan semakin banyak. Untuk biaya pendaftara sekolah, membeli buku, tas, seragam dan perlengkapan sekolah yang lain. Itu semua dari uang jualan. Karena Mas Eko hanya memberi uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan alasan aku sudah bisa mencari uang sendiri.
Aku masuk ke dalam rumah yang lampunya sudah di nyalakan. Dinda menunggu di ruang keluarga sambil mengerjakan PR. Di usia yang masih sangat muda, aku harus sering meninggalkan Dinda di rumah sendirian sejak umurnya enam tahun. Karena Dinda sudah tidak mau ikut lagi denganku keliling.
"Assalamualaikum." Sapaku saat masuk ke dalam. Dinda menolehkan kepalanya dengan mata berbinar.
"Waalaikumsalam. Ibu sudah dapat uang untuk bayar spp? Biar aku bisa ikut ujian." Aku mensejajarkan tubuh dengan Dinda agar bisa menatap kedua bola matanya yang bening.
"Besok kita ke rumah Bu Sumi dulu ya buat ambil uang titipan Ibu dari bank disana." Binar di mata Dinda seketika hilang.
"Uang Ibu di ambil mbah lagi ya?" Aku hanya bisa tersenyum pahit lalu mengusap pucuk kepalanya.
"Dinda lanjutin belajar ya. Ibu mau mandi. Setelah ini kita makan ayam goreng bareng."
"Horee." Teriak Dinda senang. Setidaknya makanan yang aku beli khusus untuk Dinda tidak di ambil Ibu mertua karena sudak aku sembunyikan di tempat yang aman.
Aku hanya bisa menangis tanpa suara di dalam kamar mandi agar Dinda tidak bisa mendengarnya. Hidupku yang sudah menyedihkan sejak kecil belum berubah. Menjadi istri Mas Eko tidak mengubah nasih menjadi lebih baik, tapi justru membuatku merasa semakin tertekan.
"Ya Allah. Apa yang harus aku lakukan?" Isakku tertahan.