/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
"Jadi nama kamu Habibie Burhanuddin, seorang lelaki yang sama sekali tidak punya harga diri?" tanya Arini sinis, pada pemuda yang menunduk memeluk plastik kresek berisi kotak makan.
Burhan mengangguk, menatap Arini sekilas, lalu menunduk lagi. Hanya sekilas kelopak itu mengembang--memancar bagai blitz kamera, yang ditatap justru menyorot tajam--memindai mangsa.
Meletakkan plastik hitam di sampingnya, memasang sepatu, mengikat dua tali yang masih berjalin satu, Arini menahan tali sepatu agar tidak terikat sempurna.
Burhan kepalang. Kekuatan lelakinya menguap walau sekadar menepis tangan Arini. Lelaki itu hanya menunduk, membuang wajah ke sebelah kanan.
Arini masih setia dengan tarikan garis bibirnya, berada di sebelah kiri, mengejek pemuda bernama Burhan.
Burhan sekuat daya menetralisir aliran darahnya agar terlihat biasa.
Lelaki mana yang tahan dengan godaan baju dengan belahan tepat di bagian dada. Arini seperti sengaja mempermainkan lelaki yang ada di depannya.
"Apa sebagai lelaki kamu tidak lagi punya harga diri sampai harus rela menjalani pernikahan kontrak hanya demi uang," cecar Arini membolakan kerjapan Burhan.
Terbelalak dengan ucapan Arini yang sangat pedas, justru ia kembali menunduk mengikat tali sepatunya setelah sebelah kembali dilepas Arini secara paksa.
Senyum menghina masih menaungi.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Burhan berdiri, meraih pintu, keinginan terbesarnya hari itu, berlalu secepatnya dari Arini.
Namun sayang, begitu gegas Arini menghalangi pintu tersebut. Kembali dengan sengaja membusungkan dada, memancing intuisi Burhan sebagai lelaki.
"Maaf, saya harus segera sampai ke kantor."
Begitu pongah, ia melewati Arini. Tidak tinggal diam, Arini menarik paksa tangan Burhan. Membalikkan segera dengan kuat.
Tenaga dari kepalan kecil yang sama sekali tanpa perlawanan dari Burhan memantulkan tubuh Burhan tepat menimpa Arini.
Bukan cuma menimpa Arini, bibir lelaki itu menyentuh lembut pipi Arini tanpa sengaja. Menyadari kekeliruan, buru-buru Burhan berdiri. Merapikan kemeja berwarna hitam dengan garis pinggiran putih. Wanita yang sengaja menarik tubuhnya agar tertimpa itu menyeringai tajam.
"hmmp" Seperti kehausan ia menarik wajah Burhan mendekat, sekali hentak bibirnya berhasil melumat bibir lelaki itu sangat seduktif.
"Nyonya, apa yang kau lakukan!" Burhan berusaha melepaskan pagutan Arini. Akalnya hampir saja hilang. Andai Arini melakukannya karena cinta pasti Burhan dengan begitu rela membalasnya. Mungkin lebih panas dari sekadar melumat bibir saja. Ia akan dengan bahagia menggendong Arini ke ranjang hangat mereka. Menyatukan cinta dalam lautan bara menggelora. Tapi, kisah mereka bukan kisah cinderela, bukan pula sepasang pengantin yang merindukan asmara. Kisah merea sungguh berbeda.
"Hei, kamu laki-laki atau banci?" bentak Arini, sekonyong menggigit leher Burhan. Lelaki itu menahan napas sesaknya. Meraba pelan hasil gigitan Arini. Menghirup oksigen lebih banyak.
"Nyonya, saya bisa telat. Nanti saya kan datang tepat waktu, Nyonya makanlah!"
Arini justru tertawa terbahak mendengar kalimat perhatian itu. Seketika melingkarkan tangannya pada leher Burhan dengan santai, kerlingan nakal tak lupa Arini sisipkan. "Bibirmu manis, apa kau pernah mencium perempuan selain aku?" tanya Arini sesekali mendesah. "Saya tidak pernah mencium wanita yang bukan mahrom saya," jawab Burhan. Pelan--menepis tangan Arini.
"Aku sudah sah jadi istrimu, mari kita bercinta!" Lagi-lagi Arini memeluk Burhan kuat. Mengecup paksa telinga lelaki itu yang berusaha mengelak.
"Nyonya, maafkan aku." Iris legam itu lurus menatap, mata tajamnya membola kaget. Apa yang akan dilakukan wanita ini? Pikirnya kawatir, melirak ke arah jalan, apakah Ilham sang bos telah tiba. Sungguh ia sangat kawatir.
Srek.
Bunyi pakaian dikoyak. Arini mengkoyak sendiri bajunya tepat bagian dada di depan Burhan. Untuk kesekian kali lelaki itu tak mampu menepis kasar. Hanya terbelalak kaget. Menelan salivanya berkali-kali. Menatap keindahan, kemulusan, kepolosan di depan matanya. Secara agama tentu saja wanita itu halal untuknya.
Menggenggam kresek semakin kuat, di posisi serba salah, Burhan segera menarik diri. Arini sedikit terpental. Senyum menghina tetap ia kirim untuk lelaki yang tengah mengatur napas, merapikan rambutnya, kemeja yang sedikit kusut karena ulah Arini.
Burhan melangkah menarik daun pintu. Menepis pelan tangan Arini yang lepas dari pergelangannya.
Tanpa berbicara apapun. Burhan gegas melangkah lagi, Namun, sayangnya tangan Arini lebih cepat menahan pergelangan kanan yang masih mengayun.
"Hei, kamu budek ya, aku tanya sekali lagi, yang di depanku ini, banci atau lelaki? kamu gay, ngak selera lihat perempuan. Tubuhku masih aduhai dibanding pelacur bernama Mira. Lihat sini!" Arini menarik tangan Burhan menyentuh dua kembar miliknya. Naluri kelelakian Burhan mendadak meronta. Refleks lima jarinya bergerak meremas.
buck ...
Suara sesuatu kena injak.
"Au!"pekik Burhan tertahan antara napasnya yang memburu dan kakinya yang sakit. Dengan tatapan sinis Arini menginjak keras kaki Burhan. Mengaduh rasa nyeri di tapak, Burhan memejam matanya, mengumpat sesuatu hak meminta dilepaskan segera. Ia harus memalingkan diri. Ini tidak bisa dibiarkan. Kembali tidak menghiraukan pertanyaan Arini. Ia berpura-pura menatap langit di atas pintu, bermohon pada Tuhan agar Arini segera beranjak dari hadapannya. Sebekum akal sehatnya kalah oleh naluri kelelakiannya.
Sekuat tenaga menahan bulir yang hendak jatuh, Burhan akhirnya menatap dua manik coklat berlensa yang kini justru melorotkan semua pakaiannya pula. Tubuh polos itu kini tersenyum begitu memikat di hadapan Burhan.
"Apa yang anda lakukan, Nyonya? Pak Ilham bisa marah besar sama saya, saya mohon jangan sulitkan saya," ucap Burhan melipat dua tangan, berkali-kali menahan getar di jantungnya.
Menatap lurus tanpa menghiraukan adegan mantan istri bos di hadapan. Padahal segala ornamen di tubuhnya bagai tersengat listrik dadakan. Ia menghirup oksigen sebanyak mungkin, seolah udara sumber nyawa itu akan hilang dari peredaran.
"Dasar, Banci! Cemen, pengecut, baru ditolak dikit udah loyo," umpat Arini mendorong tubuh Burhan keluar rumah. sebelumnya Arini sengaja menyenggol benda keramat milik Burhan. Bibirnya menyunggingkan senyum serupa ejekan, hinaan dan pelampiasan kekecewaan.
Burhan hanya diam. Berterimakasih pada Tuhan, Arini tidak berbuat di luar yang diprediksinya. Lebih baik ia dihina banci atau sejenisnya daripada mengorbankan ibu, dan adik perempuannya yang kini butuh transfusi darah, juga perawatan intensif akibat kecelakaan beberapa bulan lalu.
"Oke, sekarang kamu selamat, kita liat sampai kapan kamu bisa bertahan," tantang Arini tertawa sinis. Menutup pintu dengan bantingan keras.
Burhan mengusap telinganya. Menghela napas kembali melangkah, mendekap sarapan yang ia buat sedari subuh. Ia harus kembali ke rumah ibunya untuk menyiram diri. Sengatan listrik akibat perbuatan Arini masih menyentrum seluruh ornamen di tubuhnya.
Bayang tubuh porprosional itu bermain di mata Burhan.
Arini kembali ke dapur, senyum mengejek masih menempel di bibir. Tertawa puas setelah berhasil membuat suruhan mantan suami itu kelimpungan tak karuan.
Aroma khas nasi goreng menggugah penciuman. Masakan buatan Burhan. Arini tidak habis pikir, lelaki itu diam selayaknya orang bisu, tapi begitu perhatian.
Setiap bangun pagi, Arini sudah disuguhi sarapan dengan rasa masakan sangat enak. Arini selalu memakannya tanpa sisa. Selain lapar. Ia sudah tidak peduli malu. Apalagi urusan sungkan. Hatinya tidak lagi bisa dikenali.
Patah telah mencipta jiwanya mengerdilkan rasa, tak bisa terprediksi sakit itu seperti apa.
Perih, bagai belati menghunjam di segala sisi.
Burhan. Ya, dia kini telah resmi menjadi suami Arini, sah secara agama tapi tidak pada negara. Disaksikan para saksi, begitu juga mantan suami Arini--Ilham yang mengenalkan Burhan, sekaligus mengatur semua skenario pernikahan itu. Bahkan Ilham pula yang mengatur semua rencana peristiwa yang terjadi esok hari untuk Arini.
/0/6574/coverorgin.jpg?v=16ead24f442344223849048a249f7499&imageMogr2/format/webp)
/0/23514/coverorgin.jpg?v=a9b1bb7c6b3467e7f12291528ae7be07&imageMogr2/format/webp)
/0/4224/coverorgin.jpg?v=baf7d841ae35f45935e153dd8eb82713&imageMogr2/format/webp)
/0/6109/coverorgin.jpg?v=cf942bb99b8fc29cfd071d9f0d1e127f&imageMogr2/format/webp)
/0/4014/coverorgin.jpg?v=5eae4c692cdd71bfa98ea10ee1deea05&imageMogr2/format/webp)
/0/22330/coverorgin.jpg?v=c20df7411e743e7bed365eccac399b3f&imageMogr2/format/webp)
/0/28672/coverorgin.jpg?v=a2fc2ec4f5544a487a339b1a98b3c58d&imageMogr2/format/webp)
/0/16190/coverorgin.jpg?v=9657226b3de3d34ea60f66b93b410cf9&imageMogr2/format/webp)
/0/5388/coverorgin.jpg?v=a77d99299cb7146c435c59a269fee375&imageMogr2/format/webp)
/0/29059/coverorgin.jpg?v=90fa21ad684277dd974392363e684b0a&imageMogr2/format/webp)
/0/20065/coverorgin.jpg?v=d3a986762dc81aa963d2cf4e1c9f1bb8&imageMogr2/format/webp)
/0/8454/coverorgin.jpg?v=6c6ea68b2d604a0f1fa28ba4179afb2c&imageMogr2/format/webp)
/0/26710/coverorgin.jpg?v=b1cd94986537d9e613cddf067ac78116&imageMogr2/format/webp)
/0/6247/coverorgin.jpg?v=ea3dd330e42c5e623297872568058779&imageMogr2/format/webp)
/0/29130/coverorgin.jpg?v=4086c87864696c1c8160327ebe453892&imageMogr2/format/webp)
/0/2473/coverorgin.jpg?v=861cafe57838f7e9c5dcb8ac272dab64&imageMogr2/format/webp)
/0/29188/coverorgin.jpg?v=c99ab58bd6d32ddc5d2974872602c154&imageMogr2/format/webp)
/0/17746/coverorgin.jpg?v=deea8e13ca8020fe838218627471e29a&imageMogr2/format/webp)
/0/18416/coverorgin.jpg?v=d0f75179b592122a3b9ae1b844a4c2d0&imageMogr2/format/webp)
/0/3000/coverorgin.jpg?v=04eecd43f1860a4bb7079fbd3a93c3b4&imageMogr2/format/webp)