/0/23599/coverorgin.jpg?v=ed918f85207337f1a3fe2e5fd61a4091&imageMogr2/format/webp)
"Bukan aku, Kak! Aku sama sekali gak pernah nyebarin kabar soal Kakak sama Kak Anto," tampikku.
Kesal saja, yang melakukan perselingkuhan mereka. Yang melihat dan menyebarkan tetangga, tapi aku yang harus terkena getahnya.
"Lalu siapa lagi? Dasar gak tahu terima kasih! Udah ditampung, dirawat, diusahain biar gak putus sekolah. Balasannya malah nyebar fitnah. Kamu mau kakak cerai sama Hendrik?" Kak Yuni menatapku nyalang, suaranya semakin tinggi dipenuhi amarah.
Dari pintu depan, Kak Makmur masuk diiringi Kak Aulia.
Kak Yuni melayangkan tangan ke arahku, tapi Kak Aulia lebih dulu sempat menahan. Meski gemetar, aku tak ingin menunjukkan raut ketakutan yang membuat tuduhannya semakin besar.
Kak Makmur menarikku ke luar. "Nay, kamu sementara di rumah Kakak aja, ya!"
"Yun, sabar. Istigfar. Kan bisa dibicarakan baik-baik." Kak Aulia berusaha membujuk Kak Yuni.
"Sabar gimana lagi! Itu anak gak tau terima kasih! Sudah ditampung, bikin malu! Kamu gak tahu aja alasan dia dipindahin ke sini gara-gara overdosis di sekolah, dia pura-pura baik. Dasar serigala berbulu domba!" Kak Yuni tak henti-henti memaki.
Rumah Kak Aulia bersama Kak Makmur yang hanya terhalang triplex tipis membuatku bisa mendengar semua teriakan dan makian itu dengan jelas. Sesak, kecewa, ingin marah dan balas mengatakan semua aibnya yang selama ini sudah berusaha keras kujaga.
Air mata mulai merebak, aku menunduk menyembunyikan wajah di kedua lutut.
"Aku sumpahin, biar dia yang jadi pelakor sekalian! Biar tahu gimana rasanya dituduh merebut laki orang!" Suara berdebum dari barang apa yang entah ditendang kembali diiringi makian.
"Nay, udah. Padahal aku kemaren juga udah bilang, kalau yang pertama lapor itu Lily. Lily liat Anto ke luar dari rumah Yuni tengah malam lewat pintu dapur." Kak Makmur berusaha menenangkan.
"Tapi kenapa sekarang aku yang dituduh, Kak?" Isakku semakin keras dan menjadi-jadi. Amarah, kebencian, rasa kesal bercampur aduk di hati.
"Mungkin karena cuma kamu orang luar yang tinggal di sana dan dipikir tahu semuanya," jelas Kak Makmur.
Dari rumah Kak Yuni telah sunyi, Kak Aulia terdengar masuk dan menghampiri kami berdua.
"Nay, malam ini tidur di rumah aku aja sementara, ya? Takut Yuni masih marah terus emosi kalo kamu balik," ujar Kak Aulia.
"T-tapi, Kak?" Aku segera mengangkat kepala dan menatap.
"Udah, gak apa. Ayah kamu juga nitip tolong jagain kamu. Aku juga kaget kalo Yuni sampai semarah itu."
"Boleh nginap di rumah Kak Lily di belakang aja? Di sini takut ngerepotin," ujarku mengingat rumah Kak Aulia yang kecil. Tak tega harus berdesakan dengan sepasang suami istri itu, ditambah dengan kelima anaknya lagi.
"Apa nanti gak dikira kamu 'sekongkol' sama Lily?" cegah Kak Makmur.
"Iya, terserah. Orang jujur salah juga. Nyalahin orang padahal yang salah siapa!" sungutku.
Kak Aulia akhirnya mengalah, mengantarkanku ke rumah kecil di belakang.
"Li ...," panggilnya sambil mengetuk pintu.
Wanita yang usianya baru memasuki kepala tiga itu membuka pintu, daster merah motif bunga-bunga membalut tubuhnya yang kurus.
"Aku nitip Nayla, ya? Kamu denger aja, 'kan, barusan Yuni marah? Takut Nayla kenapa-napa," ujar Kak Aulia.
"Masuk, masuk. Aku malas ikut campur. Dia salah, tapi dia yang marah karena merasa difitnah." Kak Lily segera memberi jalan untukku masuk.
Aku masuk diiringi Kak Aulia. Kak Lily menyuruhku untuk segera ke kamar, tersisa mereka berdua berbicara entah membahas apa.
Aku menurut, melangkah menuju ruang kecil di mana hanya triplek yang menjadi dindingnya juga. Aku duduk di sisi dinding kayu sambil mengotak-atik ponsel.
Tak lama Kak Lily menghampiri, segera kukembalikan ponsel ke dalam kantong celana.
"Kak Aulia sudah pulang. Sementara tidur di rumahku, nanti keperluan kamu biar Kak Aulia aja yang ngambil. Kamu jangan temuin Yuni sampe keadaan tenang, ya?" pesan Kak Lily.
Aku mengangguk patuh. Saat dia memintaku untuk segera tidur pun, aku tak berani membantah.
Kurebahkan diri dengan banyak perasaan yang mengganggu, kesal, benci, sedih bercampur bahagia. Sepandai-pandai menyimpan bangkai, pasti akan tercium bau busuknya. Mungkin itu kata yang tepat.
Aku memang saksi bisu perselingkuhan Kak Yuni dan Kak Anto, tapi tak cukup berani mengungkapkan. Padahal Kak Hendrik selama ini sudah sangat baik dan perhatian.
Malam-malam meresahkan setiap Kak Hendrik pergi merantau, lalu Kak Anto datang menyelinap ke kamar kini takkan ada lagi. Aku tak pernah bisa tidur dengan tenang mendengar suara desahan mereka setelah ketiga anak Kak Yuni tidur. Bahkan tak jarang aku yang harus berjaga-jaga agar 'malam panas' mereka lancar dan aman.
/0/2270/coverorgin.jpg?v=4cf9bbb0b464844e876cc18a65758ef0&imageMogr2/format/webp)
/0/10342/coverorgin.jpg?v=b83176629109b0570095bbceb59e18ae&imageMogr2/format/webp)
/0/19051/coverorgin.jpg?v=e67300697797524500dadbc4d1e1b62a&imageMogr2/format/webp)
/0/19393/coverorgin.jpg?v=2c2b1a74c0c4231e40d07a9eaa68d303&imageMogr2/format/webp)
/0/10617/coverorgin.jpg?v=57f0081a469f492b1446a4f98d1ba2f4&imageMogr2/format/webp)
/0/21879/coverorgin.jpg?v=75689e1bdad7e08cc59e4ac4ee31b608&imageMogr2/format/webp)
/0/17655/coverorgin.jpg?v=fd7c088aedcee4c6f93d3a95354c4ad2&imageMogr2/format/webp)
/0/8955/coverorgin.jpg?v=61037f03d31679b008f290fcfa2ba8c3&imageMogr2/format/webp)
/0/22122/coverorgin.jpg?v=80ae678eabcbaa6a5b88295ff4cf033d&imageMogr2/format/webp)
/0/3010/coverorgin.jpg?v=f564c8f71c289888789401bb3dc6ef74&imageMogr2/format/webp)
/0/14628/coverorgin.jpg?v=a099a2c30c9d03a2cd4790cbaf5f9d95&imageMogr2/format/webp)
/0/6595/coverorgin.jpg?v=36080175ef3c9e6d890c9db59d2148c9&imageMogr2/format/webp)
/0/4930/coverorgin.jpg?v=20250121182936&imageMogr2/format/webp)
/0/7196/coverorgin.jpg?v=7592a2eb81064573854cf2324235abe9&imageMogr2/format/webp)
/0/6031/coverorgin.jpg?v=aae5f0898ccd7fcf0639082b17e0d0df&imageMogr2/format/webp)
/0/14152/coverorgin.jpg?v=efdc21e45b5252f06d5cabf6bc2cffcf&imageMogr2/format/webp)
/0/21834/coverorgin.jpg?v=73f4c4041152a5c211a3f6f52811f89c&imageMogr2/format/webp)