Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Hamil dengan Mantan Bosku
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Suamiku Nakal dan Liar
"Zahra Amelia binti Basri Ahlan, aku ceraikan kamu sebagai istriku. Hari ini dan detik ini kamu, aku bebaskan dari kewajiban," ucap Mas Raja saat setelah kami melakukan malam pertama. Bagai ribuan belati menusuk jantungku tepat pada detaknya aku terkulai lemas.
Bagaimana bisa setelah proses akad pernikahan yang dilakukan beberapa jam yang lalu Mas Raja menjatuhkan talak setelah kami melakukan hubungan. Tanpa alasan yang jelas, dan tanpa aku tahu apa salah dan dosa ini, dia melakukan itu di malam pertama hari pengantin.
Bunga-bunga mawar masih terhampar di ranjang dengan semerbaknya yang harum. Bahkan hiasan kamar pengantin masih tertata apik dalam kamar, tapi … dia menjatuhkan harga diri setelah melakukan sentuhan malam pertama.
Aku menangis menutup mata sembari terisak merasakan sakit. Baru saja aku serahkan mahkota yang paling berharga pada Mas Raja. Bertahun-tahun aku menjaga kehormatan ini, dan kupersembahkan pada suami tercinta pada hari dimana kami sudah resmi menikah.
"Mas ….!" suaraku tercekat di tenggorokan. Kupandang tubuh lelaki yang baru beberapa jam lalu resmi menjadi suami. Tubuhnya yang tinggi kekar sangat tampan. "Apa salahku?"
Mas Raja menarik nafas panjang saat ingin melanjutkan kalimatnya.
"Kamu tidak perawan."
Ser....
Jantungku terasa diremas-remas mendengar ucapan Mas Raja. Baru saja kami melakukannya satu jam yang lalu. Dia berhasil mengoyak keperawananku dengan susah payah. Sialnya! Mas Raja mengatakan kalau aku tidak suci.
"Apa … maksudmu, Mas?" tanyaku heran. "Bukankah kamu yang tadi melakukannya hingga membuatku terasa sakit dan perih?"
Lagi-lagi Mas Raja kembali menarik nafas panjang.
"Kamu tidak suci, Zahra. Saat aku melakukannya tidak ada bercak darah yang tumpah di atas sprei putih ini," tunjuk Mas Raja pada sprei bermotif putih polos yang dihiasi kelopak mawar merah. Mulutku ternganga mendengarkan kalimatnya.
"Robeknya selaput dara tidak mengeluarkan darah bukan berarti tidak suci, Mas."
Mas Raja terdiam.
Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Penyesalan karena sudah menjatuhkan talak atau dia masih memikirkan ucapanku barusan.
"Maaf, Zahra. Aku menikahimu karena menganggapmu bisa menjaga kehormatan dan akan menyerahkan mahkota yang paling berharga padaku. Nyatanya aku salah, kamu sama saja dengan gadis murahan menjual diri!" dengkusnya.
"Mas aku mohon! Percayalah! Aku benar-benar masih suci. Belum pernah sekalipun disentuh laki-laki," ucapku memelas. Kupeluk lutut Mas Raja sambil terisak di sana, memohon belas kasihan.
Mas Raja melonggarkan pelukanku dan membantu berdiri. Netra kami saling bertemu dan bertatapan pada manik yang hitam. Nyaris tidak ada jarak diantara kami berdua yang sedang berdiri berhadapan.
"Aku bisa membedakan perempuan suci atau perempuan yang pura-pura suci, Zahra. Kamu sudah membohongiku. Untuk itu aku menceraikanmu malam ini. Besok akan aku urus surat perceraian kita di pengadilan."
Tubuhku ambruk dan lunglai seketika terjerembab ke lantai granit yang mengkilap berwarna krem. Ada yang terasa perih di sini, kini wajahku terlihat sayu. Mata ini juga sembab karena banyak menangis. Di luar sana para tamu undangan baru saja pulang memberikan kado dan amplop pernikahan, bahkan janur kuning pun masih berkibar tertiup angin.
Namaku dan namanya berdiri tertulis di sebuah kertas berbentuk hati melambai di antara janur kuning. Menuliskan selamat berbahagia Raja, dan Zahra. Tenda pernikahan berikut pelaminan masih terpampang di pelataran rumah dengan dihiasi bunga-bunga nan indah. Sementara aku disini setelah menghabiskan malam pertama suami mencampakkanku begitu saja.
"Kamu boleh pergi setelah besok fajar menyingsing sebelum Papa dan Mama terbangun. Aku tidak ingin mereka bertanya lebih lanjut tentang masalah kita," ucapnya kemudian. Aku beringsut dari tempat duduk hendak melangkah pergi.
"Tidak usah menunggu besok Mas, sekarang juga aku akan pergi dari sini. Terima kasih kamu sudah memberikan kebahagian sesaat. Terima kasih juga sudah menghadiahi talak. Asal kamu tahu, Mas kalau cintaku ini suci padamu. Begitu juga dengan kehormatanku. Hanya karena tidak ada darah yang keluar kamu katakan aku tidak suci. Kegadisan wanita tidak dilihat dari keluarnya selaput dara, Mas. Kamu bisa bertanya pada dokter medis tentang masalah ini."
Setelah berkata demikian ku kemasi pakaian yang tadi sudah disusun dalam lemari jati milik Mas Raja. Aku masukkan beberapa gamis ke dalam koper yang biasa dipakai untuk membawa pakaian.
"Ini sudah lewat tengah malam, Zahra. Kamu mau pergi kemana? Panti asuhan tempat kamu tinggal jaraknya dua jam dari sini. Itu pun memakai kendaraan pribadi ditempuh. Sebaiknya besok saja kamu pergi setelah fajar. Aku masih mengizinkan kamu tinggal beberapa jam di kamar ini sampai besok pagi," ujarnya.
"Jangan takut, Mas. Aku masih punya Allah yang akan melindungiku ke mana pun aku pergi. Berada di sini semakin membuatku sesak karena kamu sudah menolakku," ucapku datar. Tanpa menoleh kearah Mas Raja aku terus saja menyusun pakaian dan hijab yang tadi digantung.
Tidak banyak barang yang aku bawa dari panti asuhan karena Mas Raja melarangnya. Saat menjadi istrinya ia berjanji akan memenuhi semua kebutuhanku baik nafkah lahir maupun batin. Mas Raja adalah anak seorang pengusaha kaya raya. Ayahnya pemilik perusahaan nomor satu dalam negri, hartanya tidak habis dalam tujuh turunan meski dinikmati anak dan cucunya.