Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Maya duduk di ruang tamu, menikmati pagi yang tenang. Pemandangan dari jendela rumahnya yang menghadap taman kecil itu selalu menenangkan pikirannya. Arif, suaminya yang selalu perhatian, sudah pergi bekerja. Maya merasa hidupnya sempurna, setidaknya begitu yang ia kira. Semua yang ia impikan-rumah yang nyaman, suami yang penuh kasih, dan masa depan yang cerah-terasa seperti hadiah.
Namun, hidup memang seringkali menyimpan kejutan yang tidak pernah kita duga.
Hari itu, saat Maya sedang membeli kopi di kedai dekat rumah, dunia seperti berhenti berputar sejenak. Dari kejauhan, ia melihat sosok yang sangat ia kenal.
Dimas. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, kenangan-kenangan indah dari masa lalu berhamburan begitu saja.
Dimas, mantan kekasihnya yang telah lama hilang dari kehidupannya, kini berdiri tepat di depannya, tersenyum seperti tidak ada waktu yang terlewatkan.
"Dimas..." suara Maya bergetar, seolah kata itu keluar begitu saja tanpa ia rencanakan.
Dimas tersenyum lebar, mengangkat tangan untuk menyapa. "Maya? Tidak pernah menyangka bisa bertemu di sini."
Maya terdiam sejenak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. "Kamu... kamu baru kembali ke sini?" tanya Maya dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Iya, baru beberapa hari ini. Pindah kembali ke sini untuk pekerjaan," jawab Dimas santai, seolah tidak ada yang berubah. "Bagaimana kabarmu? Masih ingat aku?"
Maya tertawa kecil, meskipun dalam hatinya ada perasaan yang sulit dijelaskan.
"Tentu saja ingat," jawabnya, sambil tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, menikah dengan Arif. Kita berdua sangat bahagia."
Dimas mengangguk, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Maya merasa tidak nyaman. "Arif, ya... Aku mendengar tentang itu. Kalian berdua terlihat cocok. Bahagia, ya?"
"Ya, kami bahagia," Maya menjawab, meskipun suaranya sedikit ragu. Ada bagian dari dirinya yang seolah-olah hilang setelah pertemuan ini.
Dimas mengangkat alis. "Aku senang mendengarnya. Tapi, aku rasa... ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu."
Maya merasa hatinya berdebar lebih keras. "Apa maksudmu?" tanyanya, berusaha terdengar tenang.
Dimas menghela napas panjang, matanya masih menatap Maya dengan intens. "Aku tidak bisa lupa tentang kita, Maya. Aku tahu sudah lama, tapi aku merasa masih ada sesuatu yang belum selesai di antara kita."
Maya mencoba mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Dimas yang begitu dalam. "Dimas, itu masa lalu. Aku sudah move on, dan aku... aku bahagia dengan Arif."
Dimas mendekat sedikit, suara lembutnya menggetarkan hati Maya. "Aku tahu itu, Maya. Aku tahu kamu bahagia dengan Arif, tapi aku juga tahu kamu masih merasakan sesuatu ketika kita bertemu lagi. Aku bisa melihatnya di matamu."
Maya menelan ludah. "Dimas, aku sudah menikah. Kamu tidak bisa datang dan membuat semuanya rumit seperti dulu lagi."
Dimas tersenyum pahit. "Aku tidak ingin membuat hidupmu rumit, Maya. Aku hanya ingin memberi tahu kamu, bahwa aku masih ada di sini. Dan aku masih berharap... kita bisa memiliki kesempatan kedua."
Maya terdiam, kata-kata itu terus berputar dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Apakah ia hanya merasa tergoda oleh kenangan lama?
Atau ada sesuatu lebih yang menghubungkannya dengan Dimas?
"Jangan biarkan perasaan lama itu mengaburkan pandanganmu," Dimas berkata, menambahkan beban di hati Maya. "Kita berdua tahu betapa besar hubungan kita dulu."
Maya merasa terjebak. "Aku harus pergi," katanya terburu-buru, berusaha menjaga kestabilan emosinya. "Terima kasih atas obrolannya, Dimas."
Tanpa menunggu jawabannya, Maya berjalan cepat menuju pintu kedai, berusaha menenangkan diri. Namun, di luar, dunia terasa berbeda. Perasaan yang dulu ia coba lupakan kembali menyergapnya.
Sesampainya di rumah, Arif sudah pulang. "Maya, kamu pulang lebih cepat hari ini," kata Arif dengan senyum hangatnya, yang seolah menenangkan hati Maya.
Tapi dalam benaknya, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu: Apakah pertemuan dengan Dimas ini hanya kebetulan, atau ada lebih banyak hal yang harus ia hadapi?
Maya tersenyum lemah, berusaha tampak normal. "Iya, aku hanya merasa ingin pulang lebih awal," jawabnya, mencoba menghindari topik lain.
Arif mengangguk dan duduk di sampingnya. "Kamu terlihat sedikit lelah. Ada apa? Atau mungkin... kita butuh waktu untuk berdua?"
Maya duduk di meja makan, di hadapannya sepiring nasi dan lauk yang sudah disiapkan Arif. Suami yang selalu perhatian itu duduk di sampingnya,
menyuapkan makanan dengan penuh kasih sayang. Namun, hari ini, Maya merasa seperti ada bayangan gelap yang menghalangi setiap gigitan yang ia makan.