Seorang pria yang merasa terabaikan oleh istrinya karena kesibukan pekerjaan, mulai mencari kenyamanan dari wanita lain. Perselingkuhan ini membuatnya harus memilih antara keluarga yang ia cintai atau perasaan egoisnya sendiri.
Hujan gerimis menyirami trotoar di luar kafe saat Andi duduk sendirian, menatap secangkir kopi yang telah dingin. Suara riuh rendah obrolan para pengunjung lain terdengar samar-samar, namun pikirannya melayang jauh. Ia merindukan perasaan hangat yang dulu pernah ada dalam hidupnya. Pernikahan dengan Nia, istrinya, terasa semakin menjauh, terjebak dalam rutinitas yang monoton.
Sejak Nia menerima promosi jabatan di perusahaan tempatnya bekerja, segalanya berubah. Andi tahu bahwa pekerjaan adalah impian Nia, tetapi kesibukannya telah mengambil alih kehidupan mereka. Mereka jarang berbicara, dan saat berbicara pun lebih banyak mengeluh tentang pekerjaan masing-masing. Andi merasa seolah-olah mereka hanyalah dua orang asing yang berbagi atap.
Ketika meneguk kopi, matanya terarah pada seorang wanita di sudut kafe. Wanita itu memiliki aura yang berbeda. Dengan rambut panjang yang tergerai dan senyum ceria yang menawan, ia tampak begitu hidup. Andi tidak bisa mengalihkan pandangannya. Wanita itu sesekali melirik ke arahnya, dan jantung Andi berdebar.
Tak lama, wanita itu berdiri dan berjalan ke meja Andi. "Bolehkah saya duduk di sini?" tanyanya dengan nada yang ramah.
"Ya, tentu saja," jawab Andi, merasa canggung namun senang.
"Nama saya Lisa," katanya sambil tersenyum, mengulurkan tangan. "Saya melihat Anda sendirian dan berpikir mungkin kita bisa mengobrol sedikit."
"Andi," ia memperkenalkan diri, mencoba mengesampingkan rasa kikuk yang melanda.
Obrolan mereka mengalir dengan mudah, seolah-olah mereka telah mengenal satu sama lain sejak lama. Lisa adalah seorang seniman yang sedang mempersiapkan pameran lukisan pertamanya. Ia bercerita tentang visi dan impian yang dimilikinya, dan Andi merasa terinspirasi oleh semangatnya. Mereka tertawa, berbagi cerita tentang kehidupan dan harapan masing-masing. Dalam hati, Andi merasakan kebangkitan emosi yang telah lama terpendam.
"Saya suka bagaimana Anda berbicara tentang seni. Anda memiliki pandangan yang sangat segar," puji Andi, menyadari bahwa ia belum merasa seperti ini sejak lama.
Lisa tersenyum. "Terima kasih, Andi. Kita semua butuh seseorang untuk berbagi cerita, bukan?"
Waktu berlalu, dan tanpa disadari, Andi sudah menghabiskan berjam-jam di kafe tersebut. Ia tahu bahwa ia seharusnya kembali ke rumah, tetapi rasa keterikatan yang kuat dengan Lisa membuatnya ragu.
Saat keduanya saling berpisah, Lisa memberikan nomor teleponnya. "Saya berharap kita bisa bertemu lagi," katanya. "Kapan-kapan, kita bisa pergi melihat pameran seni saya."
Andi pulang dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa senang menemukan seseorang yang mengerti dan menginspirasi dirinya. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa perasaannya kepada Lisa adalah sesuatu yang berbahaya. Suara hatinya memperingatkan, tetapi keinginan untuk merasakan cinta dan perhatian kembali terasa begitu kuat.
Di rumah, Nia sudah tidur, dan Andi terbaring di tempat tidur, merenungkan pertemuannya dengan Lisa. Ia terbangun dari tidur malam yang gelisah dan menyadari bahwa perasaannya semakin dalam. Apakah ini cinta baru? Apakah ia harus memperjuangkan perasaan ini, ataukah ia harus kembali kepada Nia dan berusaha menyelamatkan hubungan yang sudah ada?
Andi tahu ia harus memilih. Memilih antara melanjutkan hubungan yang baru terjalin dengan Lisa, yang memberinya harapan baru, atau memperjuangkan keluarganya, yang telah lama ia lupakan. Dalam kebingungannya, ia hanya bisa merenungkan apa yang sesungguhnya ia inginkan dan apa yang akan menjadi keputusan terpenting dalam hidupnya.
Dengan rasa bersalah yang menyelimuti hatinya, Andi memejamkan mata, berusaha mencari jawaban di dalam dirinya. Namun, di balik gelapnya malam, satu hal sudah pasti: pilihan yang harus ia buat tidak akan pernah mudah.
Pagi harinya, sinar matahari menembus tirai jendela, menyentuh wajah Andi yang masih setengah tertidur. Aroma kopi dari dapur mengingatkannya akan rutinitas pagi bersama Nia, tetapi hari ini terasa berbeda. Jiwanya seakan terbelah antara dua dunia yang saling bertentangan. Ketika ia bangkit dari tempat tidur, ia merasakan ketegangan di dadanya, seolah-olah ada dua suara yang berdebat di dalam kepalanya.
"Andi! Bangun!" suara Nia menggema dari dapur, memecah lamunannya. "Kau sudah janji akan membantu aku menyiapkan sarapan, kan?"
Andi menarik napas dalam-dalam, berusaha menyiapkan diri untuk menjalani hari. Ia menyusuri koridor menuju dapur, di mana Nia sudah berdiri di depan kompor, mengaduk telur orak-arik. Wanita itu tampak cantik dengan rambut yang diikat rapi, tetapi bagi Andi, ada sesuatu yang hilang-sebuah koneksi yang dulunya kuat.
"Selamat pagi!" Nia menyapa dengan senyum, meski Andi bisa merasakan kelelahan di baliknya. "Aku tidak sabar untuk membahas rencana akhir pekan kita."
"Ya, selamat pagi," jawab Andi, mencoba tersenyum. Dalam hatinya, ia merasa terjebak antara harapan untuk merasakan cinta yang baru dan kewajiban untuk mendukung istri yang sudah bertahun-tahun bersamanya.
Setelah sarapan, mereka berdua duduk di meja makan, tetapi obrolan terasa kaku. Nia menceritakan rencana kerjanya, sedangkan Andi hanya mendengarkan, pikirannya melayang kembali kepada Lisa. Bagaimana jika ia bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan cinta yang tulus seperti yang ditawarkan Lisa? Apakah Nia masih peduli padanya, ataukah ia telah sepenuhnya tenggelam dalam pekerjaannya?
"Sayang, kau mendengarkan?" Nia bertanya, mengangkat alisnya. Andi terkejut, seolah terbangun dari mimpi.
"Maaf, aku hanya... berpikir," Andi berusaha menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa jawabannya terdengar klise. Ia berusaha untuk tidak membiarkan pikirannya teralihkan oleh Lisa, tetapi semakin ia berusaha, semakin sulit rasanya.
"Berpikir tentang apa?" Nia bertanya lagi, kali ini nada suaranya mengandung keraguan. "Kau terlihat jauh hari ini."
Andi merasakan detak jantungnya meningkat. Ia tahu bahwa ia harus jujur, tetapi ketakutannya untuk melukai hati Nia menghalanginya. "Hanya pekerjaan, aku rasa. Banyak hal yang harus diselesaikan."
Nia mengangguk, tetapi tatapan matanya tampak kehilangan. Andi merasa ada jarak yang semakin melebar di antara mereka. Ia ingin sekali menyentuhnya, memberitahunya tentang perasaannya yang rumit, tetapi ia merasa tak berdaya.
Setelah sarapan, Andi memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman terdekat. Ia membutuhkan udara segar untuk berpikir. Setiap langkahnya terasa berat, tetapi saat ia memasuki taman, ia melihat anak-anak bermain dan pasangan yang saling menggenggam tangan, menciptakan rasa cemburu yang tak tertahankan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari Lisa muncul di layar: *"Hari ini aku akan mengunjungi galeri seni. Ingin bergabung?"*
Andi terdiam sejenak, jari-jarinya melayang di atas layar, ragu untuk membalas. Di satu sisi, undangan itu sangat menggoda-sebuah kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang ia rindukan. Namun di sisi lain, rasa bersalah menyergapnya. Apakah ia siap untuk mengecewakan Nia lebih jauh?
Dengan hati yang berdebar, Andi akhirnya membalas pesan itu. *"Tentu saja, aku akan datang."* Saat mengirimkan pesan, perasaan campur aduk semakin menggigit. Ia tahu bahwa langkah ini bisa mengubah segalanya.
Ketika ia tiba di galeri seni, Andi merasakan getaran kegembiraan. Lisa sudah menunggu di pintu masuk, senyumnya secerah hari yang cerah. "Aku senang kau datang!" ucapnya, memancarkan energi positif yang membuat Andi merasa hidup kembali.
Selama berkeliling di galeri, Andi merasakan ketegangan di antara mereka. Setiap tawa, setiap tatapan, semakin memperkuat perasaan yang telah tumbuh di dalam dirinya. Ia tidak dapat menepis kenyataan bahwa ia mulai menyukai Lisa. Namun, saat ia memandang ke dalam matanya, Andi merasa terjebak dalam sebuah lingkaran yang sulit dipahami.
"Jadi, Andi, bagaimana rasanya melihat dunia dari lensa seorang seniman?" tanya Lisa, suaranya lembut dan penuh keingintahuan.
Andi terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. "Sangat berbeda. Ini membuatku menyadari betapa banyak yang hilang dalam hidupku."
Lisa menatapnya tajam, seolah menangkap kedalaman perasaannya. "Kau berhak untuk bahagia, Andi. Jangan biarkan hidupmu hanya berputar di seputar rutinitas."
Sekilas, Andi merasa terinspirasi oleh kata-katanya. Apakah ia benar-benar berhak untuk bahagia? Apa yang terjadi jika ia memilih untuk memperjuangkan perasaannya kepada Lisa dan meninggalkan semua yang telah ia bangun dengan Nia?
Ketika mereka melangkah keluar dari galeri, langit berwarna oranye keemasan menandakan senja yang indah. Andi merasakan jiwanya terbang, tetapi di dalam hatinya, suara kecil terus memperingatkan bahwa jalan ini mungkin tidak sepenuhnya benar.
Saat perjalanan pulang, Andi tahu bahwa keputusan ini tidak bisa diabaikan. Keduanya harus memilih antara dua cinta: satu yang sudah ia bangun selama bertahun-tahun dan satu yang baru, tetapi penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Namun, di tengah kegelapan hatinya, Andi menyadari bahwa ia harus menghadapi kenyataan dan memilih dengan bijak-karena cinta, pada akhirnya, adalah tentang memilih dan memperjuangkan apa yang paling berharga.
Bersambung...
Buku lain oleh eryede
Selebihnya