Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta yang Hilang

Cinta yang Hilang

Alya Soca

5.0
Komentar
300
Penayangan
13
Bab

Pertemuan singkat yang tak disengaja menghadirkan cinta luar biasa bagi seorang single parent di tengah dalamnya luka masa lalunya. Dan disaat-saat ia mulai merasakan bahagia, secepat kilat ia merasakan sakit yang melilit karena satu kesalahan yang ia buat. Cintanya hilang meninggalkan bayang-bayang yang sulit terbang dari ingatan.

Bab 1 Temu Kangen

Pertemuanku dengannya tak disengaja di sebuah rumah kontrakan saat aku berkunjung ke rumah sahabatku Ria. Aku bersahabat dengannya sudah cukup lama. Sejak aku merantau di Kota Batam ini orang pertama yang kukenal adalah Ria. Karena ria teman satu kosku saat kami lajang dulu.

Aku bekerja di sebuah hotel yang cukup mewah di kota Batam ini. Setelah aku cerai dengan mantan suamiku aku memutuskan merantau ke Batam lagi. Anak-anakku aku titipkan di kampug bersama kedua orangtuaku.

Perkenalkan namaku Hana. Lengkapnya Hana Azizah. Aku seorang single parent yang mempunyai dua orang putra. Pernikahanku dengan Anang harus berakhir karena sudah tidak ada lagi kecocokan diantara kami dan harus kandas tak bertepi.

Aku perempuan berdarah jawa kelahiran Sumatera yang berkulit putih bersih dengan rambut lebat lurus yang panjang sepinggang. Tinggi semampai dan memiliki berat badan ideal. Berkaca mata serta mempunyai bibir yang tipis tapi manis. Banyak orang yang beranggapan aku ini judes tapi itu tidak benar. Hanya saja aku akan mengomel kalau melihat sesuatu yang berantakan. Aku orang yang menjunjung tinggi bersih dan rapi. Apalagi yang berhubungan dengan penampilan. Keduanya tak pernah ketinggalan.

Aku dan Ria sama-sama sudah menikah. Tiga bulan setelah aku menikah Ria juga menyusul tapi pernikahanku lebih dahulu kandas di tengah jalan karena sebuah keegoisan. Semoga hanya aku saja yang merasakan hal ini. Tidak dengan Ria.

Ria sahabat terbaikku selama aku tinggal di sini. Dari awal hingga saat ini dialah sahabat yang nggak pernah meninggalkanku dan selalu ada bersamaku mendengarkan celoteh-celotehku yang nggak sedikit menyita waktunya. Dia perempuan sabar kedua yang aku jumpai setelah ibuku. Aku berharap persahabatan kami akan selamanya meski suatu saat nanti diantara kami ada yang pulang ke kampung halaman.

Hari ini aku pulang kerja lebih awal dari biasanya. Ya, berhubung hari pertama kerja setelah libur lebaran. Ada kompensasi waktu kerja dari big boz. Jadi aku putuskan untuk menyambung tali silaturahim ke rumah Ria setelah 5 bulan nggak jumpa.

Kami komunikasinya hanya lewat udara. Maklum, punya kesibukan masing-masing yang nggak bisa ditinggal. Terlebih Ria yang baru lima bulan ini juga melahirkan bayi kembar. Nggak kebayang repotnya aktifitas ibu tiga anak itu. Ria memang telaten juga sabar mengurus anak dan rumah tangganya yang membuat aku sedikit iri dengannya.

Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Lima belas menit lagi waktunya untuk pulang. Aku mengambil handphone di saku celana cokelat kerjaku lalu menelpon Ria. Kring ...kring ...kring.....

"Ria, nanti pulang kerja aku mampir ke sana ya? Kangen juga nih, sudah lama nggak cuap cuap." Ucapku dari seberang.

"Iya. Sama siapa?" Tanya Hana yang sibuk melipat tumpukan pakaian yang dicucinya pagi tadi.

"Sendiri lah. Emang mau sama siapa lagi?" Sahutku dengan sedikit gondok sambil merapikan alat kerjaku.

"Hahahaha, sudah sih, nggak perlu sewot gitu. Aku tanya begitu kali saja sudah dapat gandengan baru." Tambah Ria sesekali menyimpan pakaian anaknya ke dalam lemari.

"Siapa juga yang sewot? Tenang saja Ri, kalau sudah ada nanti aku kenali deh. Santai bu...santai." Aku menutupi kegondokan dengan nada canda.

Dengan sedikit senyum Ria berkata "Iya...iya. Aku doakan semoga lekas dapat gandengan sepadan ya. Biar nggak galau terus kalau main ke sini."

"Iya deh. Eh, sudah dulu ya. Ntar kita sambung lagi kalau aku sudaj sampai di rumahmu. Bye...!" Aku menutup telpon kemudian kembali bekerja.

Ria melanjutkan pekerjaanya di rumah dan aku siap-siap untuk pulang. Setelah semuanya beres aku menuju ke pintu lif hendak turun ke lantai dasar. Aku biasa bekerja di lantai lima. Sesampainya di bawah tak lupa aku menggoda resepsionis yang baru masuk pergantian ship.

"Pulang yuk say? Kita jalan-jalan ke pantai. Mumpung pulang cepat nih." Melempar senyum sembari melepaskan ikat rambutnya.

"Baru saja masuk sudah diajak pulang. Ngeledek saja mbak Hana ini." Jawab Bunga recepsionis paling cantik di hotel ini. Suku Sunda dan masih polos baru berusia 18 tahun.

"Owh, gitu. Mbak duluan lah ya?" Aku berlalu meninggalkan Bunga.

"Iya mbak. Hati-hati di jalan ya, Mbak." Kata Bunga dengan merapikan pakaiannya.

Sekeluarnya aku dari hotel aku langsung menuju toko roti Vanholano Bakery di seberang sana. Aku mau membeli oleh-oleh buat keponakan-keponakan aku yang lucu. Setelah selesai memilih dan bayar di kasir aku keluar. Menghentikan taksi yang berjalan menujuku. Lalu aku naik.

"Ke Batu Aji ya, Pak!" perintahku ke driver dan meletakan roti di kursi samping dudukku.

"Iya, Mbak." Jawab driver dengan menganggukan kepalanya.

Aku menikmati lagu yang sedari tadi terlantun di dalam taksi. Tanpa sadar aku pun mengikuti syairnya.

"Suaranya bagus, Mbak." Ucap driver yang menyadarkanku.

"Nggak ah. Biasa saja, Pak." Jawabku dengan senyum malu-malu.

"Iya bener. Sering nyanyi ya Mbak?" Tambah driver yang tetap fokus melihat jalan.

"Nggak sering Pak, kalau lagi kepengen saja." Mengambil lembaran uang kertas di dompet.

"Turun di depan ya Pak." Tambahku dan bersiap hendak turun.

"Baik Mbak. Di depan rumah makan Minang Baru itu ya?" Memutar setir menepi ke pinggir.

"Iya pak. Ini uangnya Pak" menyodorkan 2 lembar uang senilai sepuluh ribu rupiah.

Driver mengambil uangnya lalu berkata "Kembali lima ribu ya, Mbak."

"Sudah, buat Bapak saja". Aku turun dan menutup pintu taksi.

"Terima kasih Mbak. Murah rezekinya ya." Doa driver sebelum pergi sambil tersenyum.

"Amin. Terima kasih Pak." Aku membalas senyum driver dan berjalan menuju rumah Ria yang masuk gang Mawar di sebelah rumah makan Minang Baru.

Cuaca hari ini begitu cerah. Tampak dari matahari yang dengan gagahnya menyinari bumi. Langit sore terlihat begitu biru bercampur sedikit awan putih yang menambah keindahan semesta. Setelah sekian menit melangkah aku tiba di teras rumah Ria. Aku mengetuk pintu rumahnya. Tok...tok...tok.

"Assalamu'alaikum. Ria....Ria..." Salamku memanggil Ria yang entah sedang apa di dalam rumah.

"Wa'alaikum salam. Iya sebentar." Samar-samar suara ria terdengar sedikit teriak.

Ceklek. Pintu rumah terbuka. Terlihat Ria sedikit berbeda. Ia agak kemukan setelah melahirkan anak kedua dan ketiganya. Tapi kecetarannya tidak berubah. Kami sama-sama berpelukan tanpa menghiraukan anak-anaknya yang sibuk menarik-narik baju emaknya.

"Hana, aku kangen banget tau." Teriak Ria menulikan telingaku.

"Sama. Aku juga." Melepas pelukan dan melihat Ria dari atas ke bawah. Lalu berkata " Kamu kok gemukan sekarang? Mangestu saja ya?"

"Betul Hahahah. Ayo masuk!" Ria mempersilahkan aku masuk dan mengangkat anaknya yang sedari tadi memeluk kaki bawahnya.

Aku meletakan kue yang aku beli tadi di atas meja makannya. Kemudian meletakan tasku di sofa ruang tamu. Aku menghampiri keponakan kembarku yang lucu di ruang tengah. Mereka sedang asik telungkup sambil bermain bermacam buku cerita kisah sahabat nabi.

"Hai, ponakan Tante yang lucu." Aku menyapa keduanya tapi hanya si kakak yang merespon dengan melihatku. Sementara si adik sibuk dengan buku-bukunya. Di sisi lain Ria menyeduh teh hangat untukku.

"Gemoy banget sih, nak. Tante gemes deh." Aku mengangkat si kakak. Dia tersenyum bahagia. Si adik pun mulai berpaling arah melihat kakaknya digendong.

"Hem....Hem...Hem..." Si adik tak mau kalah minta digendong juga.

"Tante nggak bisa gendong dua duanya sayang. Gantian ya." Meletakkan si kakak dan menggendong si adik.

"Si kakak siapa namanya RI? Aku lupa." Tanyaku sambil main bersama keduanya. Sementara si Abang asik menikmati potongan kue yang aku bawa tadi. Duduk manis di dekat pintu kamar.

"Si kakak namanya Aina. Si adik namanya Aini. Baru berapa bulan nggak jumpa sudah lupa. Gimana sih, Tante ini?" Ria berjalan ke ruang tamu.

"Baru berapa bulan? Lima bulan juga ya.. Terakhir aku datang ke sini kan waktu aqiqah mereka. Wajar lah kalau lupa. Hehe." Membalas candaan Ria sambil senyum bermain dengan Aina dan Aini.

"Ini ya Han, tehnya." Meletakkan segelas teh di meja bulat beralas taplak motif bunga Korea berwarna merah muda.

"Iya, makasih Ri." Aku lanjut bermain sama si kembar.

Ria dan Adam anak sulungnya mendekati aku dan ikut bermain. Di rumah Ria hanya ada kami berliama. Kebetulan suaminya sedang bekerja pulang sore.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku