Seorang wanita yang menikah dengan pria yang tampak sempurna mulai merasakan perasaan tak terduga terhadap pria lain. Saat ia terseret dalam kisah cinta terlarang ini, ia harus memilih antara hasrat atau komitmen pernikahannya.
Clara menatap cermin, memperbaiki poni rambutnya sebelum berangkat kerja. Di belakangnya, Arman duduk di meja makan, menikmati sarapan yang disiapkan Clara dengan penuh cinta.
"Pagi, sayang. Kamu kelihatan cantik sekali hari ini," puji Arman sambil menyunggingkan senyum yang membuat jantung Clara berdebar.
"Terima kasih, Arman. Pagi ini cerah, ya?" Clara membalas dengan senyuman, namun di dalam hatinya, dia merasa seolah ada yang hilang.
Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil di pusat kota, dikelilingi oleh gemerlap kehidupan metropolitan. Semuanya tampak sempurna-pernikahan, pekerjaan, bahkan persahabatan. Namun, kadang Clara merindukan rasa petualangan yang pernah ada dalam hidupnya.
"Jadi, ada rencana apa hari ini?" tanya Clara, berusaha mengalihkan pikirannya.
"Rapat penting di kantor, kamu tahu kan," jawab Arman, mengambil secangkir kopi. "Tapi kita bisa makan malam bersama setelah itu. Mungkin ke restoran yang baru buka?"
"Oh, itu ide yang bagus!" Clara tersenyum, tetapi suara di dalam hatinya berbisik bahwa rutinitas seperti ini membuatnya merasa terjebak.
Setelah bekerja seharian, Clara pulang ke apartemen dengan rasa lelah yang menggantung. Arman sudah menunggu di sofa, tampak asyik menonton berita di televisi.
"Clara! Kamu sudah pulang!" seru Arman dengan semangat. "Bagaimana harimu?"
"Lumayan," jawab Clara sambil melepaskan sepatu haknya. "Tapi sepertinya hari ini sangat membosankan."
Arman mengerutkan dahi. "Bosan? Kita bisa melakukan sesuatu yang berbeda, kok. Bagaimana kalau kita berkunjung ke tempat yang belum pernah kita datangi?"
Clara terdiam sejenak. "Iya, mungkin kita bisa... Tapi rasanya aku butuh sesuatu yang lebih dari sekadar jalan-jalan, Arman."
"Seperti apa?" tanya Arman, tampak sedikit bingung.
"Entahlah, mungkin... pengalaman baru? Sesuatu yang membuat jantungku berdebar," Clara menjawab, hatinya mulai bergetar ketika memikirkan tentang petualangan.
"Sayang, kita bisa pergi berlibur akhir pekan ini! Atau ikut kelas memasak, atau apapun yang kamu mau!" Arman berusaha meyakinkan.
"Tapi... bukankah kita sudah melakukan semua itu?" Clara berusaha tersenyum, meskipun rasa jenuh itu terus menggerogoti pikirannya.
"Kalau begitu, kita bisa coba hal baru bersama. Apapun yang kamu inginkan, kita bisa atur. Kita ini tim, kan?" Arman menggenggam tangan Clara, menatap matanya dengan penuh harapan.
Clara merasa hangat saat mendengar kata-kata itu, tetapi jauh di lubuk hatinya, ada kerinduan untuk menemukan sesuatu yang lebih. Dia ingin merasakan cinta yang tidak hanya aman dan nyaman, tetapi juga menggugah semangatnya.
Malam itu, setelah makan malam yang sederhana namun penuh cinta, Clara berbaring di tempat tidurnya, memikirkan kata-kata Arman. Semua terasa begitu baik, namun ada kekosongan yang tidak bisa dia jelaskan.
"Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pada diri sendiri. "Apakah ini semua hanya fase?"
Sambil menatap langit-langit, Clara berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan cara agar hidupnya tidak hanya sekadar rutinitas. Saat itu, dia tidak tahu bahwa hidupnya akan segera berubah ketika Dika, teman lamanya, datang kembali ke dalam kehidupannya.
Hari-hari berlalu, dan Clara berusaha menjalani rutinitasnya dengan semangat yang terkadang hilang. Meskipun Arman berusaha keras untuk menghiburnya dengan rencana-rencana baru, Clara tetap merasakan ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Hingga pada suatu sore, saat dia pulang kerja, sebuah kejutan menanti di depan pintu apartemen mereka.
"Selamat datang, Dika!" Clara hampir tidak percaya melihat wajah sahabatnya dari masa kuliah yang telah lama tidak dia jumpai.
"Clara! Sudah lama sekali! Kapan kita bisa ngumpul lagi?" Dika terlihat energik, dengan senyum lebar dan mata yang bersinar.
"Dika, wow! Kenapa kamu kembali?" Clara berlari memeluknya, merasakan kehangatan persahabatan yang sudah lama hilang.
"Aku pindah ke sini untuk pekerjaan baru. Dan aku ingat kamu tinggal di sini. Jadi, aku langsung menghubungi," jawab Dika, mengerutkan kening sambil melihat sekeliling apartemen.
"Mau masuk?" tanya Clara, mengundang Dika ke dalam.
Setelah beberapa menit mengobrol, Clara menyajikan minuman dan mereka duduk di sofa. Dika mulai bercerita tentang pengalamannya di kota lain.
"Dan kamu tahu, aku kangen masa-masa kuliah kita! Kapan lagi bisa ngopi sambil bercanda?" Dika tersenyum lebar.
"Ya, itu benar. Kita harus sering bertemu!" Clara merasakan kenangan manis itu mengalir dalam pikirannya.
Dika melihat Clara dengan tatapan serius. "Clara, kamu tampak berbeda. Apakah kamu baik-baik saja?"
"Eh, maksudmu?" Clara sedikit terkejut, berusaha mengalihkan perhatian.
"Kamu terlihat seperti sedang menyimpan sesuatu. Jangan-jangan, kehidupan pernikahanmu tidak seindah yang kamu ceritakan?" Dika menyengir, seolah ingin menggali lebih dalam.
Clara terdiam sejenak, hati kecilnya merasakan ketegangan. "Semuanya baik-baik saja, Dika. Hanya... terkadang aku merasa jenuh."
"Jenuh? Dalam pernikahan? Mungkin kamu butuh sedikit petualangan?" Dika menyemangati, mengedipkan mata. "Kita bisa pergi bersenang-senang. Ingat perjalanan kita ke pantai waktu itu?"
Mendengar kata-kata itu, Clara merindukan kebebasan yang pernah dia rasakan. Dia membayangkan diri mereka berdua bermain di pantai, tertawa tanpa beban. Namun, saat ingatannya mengalir, dia merasa bersalah. "Tapi, bagaimana dengan Arman? Dia pasti tidak akan setuju."
Dika menatapnya dengan penuh pengertian. "Kadang kita harus membuat waktu untuk diri sendiri, Clara. Jangan terjebak dalam rutinitas. Cobalah! Ajak aku jalan-jalan. Kita bisa menikmati hidup."
Clara merasa hatinya bergetar mendengar kalimat itu. Dia ingin merasakan petualangan dan kegembiraan yang sudah lama hilang. "Baiklah, Dika. Mungkin sekali saja."
Malam itu, Clara berbaring di tempat tidurnya, memikirkan rencananya dengan Dika. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang salah dengan menikmati waktu bersama teman lamanya. Namun, suara di dalam hatinya terus mengingatkan akan tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
"Clara, kamu harus berhati-hati," bisik suara itu.
Tetapi Clara tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dalam hatinya, ada dorongan yang kuat untuk merasakan kembali kebebasan dan keceriaan.
Keesokan harinya, dia memutuskan untuk mengajak Dika berkeliling kota. Mereka menjelajahi tempat-tempat baru, tertawa dan berbagi cerita. Clara merasa seperti remaja lagi-tanpa beban, tanpa tanggung jawab.
"Lihat, Clara! Kita harus datang ke sini lagi!" Dika menunjuk ke sebuah kafe yang menarik perhatian mereka.
"Iya, kita pasti akan kembali!" Clara menjawab dengan penuh semangat.
Mereka berbincang hingga larut malam, dan Clara merasakan koneksi yang kuat dengan Dika. Namun, saat dia pulang, rasa bersalah mulai menghantui pikirannya. Bagaimana jika Arman tahu tentang perasaannya? Dia tidak ingin menyakiti suaminya, tetapi Dika membuatnya merasa hidup lagi.
Dalam perjalanan pulang, Clara menyadari satu hal: hidupnya mulai berputar di antara dua cinta-cinta yang aman, dan cinta yang penuh gairah. Dia harus segera memilih jalan yang akan membawanya ke mana.
Keesokan harinya, Clara bangun dengan perasaan campur aduk. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-apakah dia akan tetap bersama Arman yang tampak sempurna, atau mengejar hasrat yang menggelora bersama Dika?
"Clara, kamu sudah siap?" Arman memanggil dari ruang makan.
"Ya, sebentar lagi!" Clara berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya.
Dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan keputusan sulit akan segera menghampirinya.
Bersambung...
Buku lain oleh EMBUN ABADI
Selebihnya