Seorang wanita yang baru menikah tergoda oleh mantan kekasihnya yang kembali dalam hidupnya. Hubungan gelap ini mengancam masa depannya, dan ia harus menentukan apakah ia akan terus berada dalam lingkaran pengkhianatan atau memperbaiki kehidupannya.
Maya duduk di ruang tamu, menikmati pagi yang tenang. Pemandangan dari jendela rumahnya yang menghadap taman kecil itu selalu menenangkan pikirannya. Arif, suaminya yang selalu perhatian, sudah pergi bekerja. Maya merasa hidupnya sempurna, setidaknya begitu yang ia kira. Semua yang ia impikan-rumah yang nyaman, suami yang penuh kasih, dan masa depan yang cerah-terasa seperti hadiah.
Namun, hidup memang seringkali menyimpan kejutan yang tidak pernah kita duga.
Hari itu, saat Maya sedang membeli kopi di kedai dekat rumah, dunia seperti berhenti berputar sejenak. Dari kejauhan, ia melihat sosok yang sangat ia kenal.
Dimas. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, kenangan-kenangan indah dari masa lalu berhamburan begitu saja.
Dimas, mantan kekasihnya yang telah lama hilang dari kehidupannya, kini berdiri tepat di depannya, tersenyum seperti tidak ada waktu yang terlewatkan.
"Dimas..." suara Maya bergetar, seolah kata itu keluar begitu saja tanpa ia rencanakan.
Dimas tersenyum lebar, mengangkat tangan untuk menyapa. "Maya? Tidak pernah menyangka bisa bertemu di sini."
Maya terdiam sejenak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. "Kamu... kamu baru kembali ke sini?" tanya Maya dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Iya, baru beberapa hari ini. Pindah kembali ke sini untuk pekerjaan," jawab Dimas santai, seolah tidak ada yang berubah. "Bagaimana kabarmu? Masih ingat aku?"
Maya tertawa kecil, meskipun dalam hatinya ada perasaan yang sulit dijelaskan.
"Tentu saja ingat," jawabnya, sambil tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, menikah dengan Arif. Kita berdua sangat bahagia."
Dimas mengangguk, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Maya merasa tidak nyaman. "Arif, ya... Aku mendengar tentang itu. Kalian berdua terlihat cocok. Bahagia, ya?"
"Ya, kami bahagia," Maya menjawab, meskipun suaranya sedikit ragu. Ada bagian dari dirinya yang seolah-olah hilang setelah pertemuan ini.
Dimas mengangkat alis. "Aku senang mendengarnya. Tapi, aku rasa... ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu."
Maya merasa hatinya berdebar lebih keras. "Apa maksudmu?" tanyanya, berusaha terdengar tenang.
Dimas menghela napas panjang, matanya masih menatap Maya dengan intens. "Aku tidak bisa lupa tentang kita, Maya. Aku tahu sudah lama, tapi aku merasa masih ada sesuatu yang belum selesai di antara kita."
Maya mencoba mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Dimas yang begitu dalam. "Dimas, itu masa lalu. Aku sudah move on, dan aku... aku bahagia dengan Arif."
Dimas mendekat sedikit, suara lembutnya menggetarkan hati Maya. "Aku tahu itu, Maya. Aku tahu kamu bahagia dengan Arif, tapi aku juga tahu kamu masih merasakan sesuatu ketika kita bertemu lagi. Aku bisa melihatnya di matamu."
Maya menelan ludah. "Dimas, aku sudah menikah. Kamu tidak bisa datang dan membuat semuanya rumit seperti dulu lagi."
Dimas tersenyum pahit. "Aku tidak ingin membuat hidupmu rumit, Maya. Aku hanya ingin memberi tahu kamu, bahwa aku masih ada di sini. Dan aku masih berharap... kita bisa memiliki kesempatan kedua."
Maya terdiam, kata-kata itu terus berputar dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Apakah ia hanya merasa tergoda oleh kenangan lama?
Atau ada sesuatu lebih yang menghubungkannya dengan Dimas?
"Jangan biarkan perasaan lama itu mengaburkan pandanganmu," Dimas berkata, menambahkan beban di hati Maya. "Kita berdua tahu betapa besar hubungan kita dulu."
Maya merasa terjebak. "Aku harus pergi," katanya terburu-buru, berusaha menjaga kestabilan emosinya. "Terima kasih atas obrolannya, Dimas."
Tanpa menunggu jawabannya, Maya berjalan cepat menuju pintu kedai, berusaha menenangkan diri. Namun, di luar, dunia terasa berbeda. Perasaan yang dulu ia coba lupakan kembali menyergapnya.
Sesampainya di rumah, Arif sudah pulang. "Maya, kamu pulang lebih cepat hari ini," kata Arif dengan senyum hangatnya, yang seolah menenangkan hati Maya.
Tapi dalam benaknya, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu: Apakah pertemuan dengan Dimas ini hanya kebetulan, atau ada lebih banyak hal yang harus ia hadapi?
Maya tersenyum lemah, berusaha tampak normal. "Iya, aku hanya merasa ingin pulang lebih awal," jawabnya, mencoba menghindari topik lain.
Arif mengangguk dan duduk di sampingnya. "Kamu terlihat sedikit lelah. Ada apa? Atau mungkin... kita butuh waktu untuk berdua?"
Maya duduk di meja makan, di hadapannya sepiring nasi dan lauk yang sudah disiapkan Arif. Suami yang selalu perhatian itu duduk di sampingnya,
menyuapkan makanan dengan penuh kasih sayang. Namun, hari ini, Maya merasa seperti ada bayangan gelap yang menghalangi setiap gigitan yang ia makan.
Arif tersenyum, tapi Maya hanya memberikan senyum tipis sebagai balasan. Hatinya masih bergejolak, berputar-putar antara kesetiaannya kepada suami dan godaan yang datang dari Dimas.
"Kenapa kamu sepi sekali? Ada apa, sayang?" Arif bertanya, menatap Maya dengan penuh perhatian. Ia selalu bisa membaca perubahan sekecil apapun dalam dirinya.
Maya memaksakan senyum dan mencoba berbohong. "Aku hanya sedikit lelah, Arif. Aku baru saja pulang dari kedai kopi. Hari ini agak panas."
Arif menatapnya dengan ragu, seolah merasakan ada yang tidak beres, namun ia memilih untuk tidak menanyakan lebih lanjut. Ia hanya menggenggam tangan Maya, mengusapnya dengan lembut. "Jangan terlalu banyak bekerja, Maya. Kamu sudah punya aku. Kita bisa bersantai bersama."
Maya mengangguk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan itu semakin menguasai dirinya. Dimas tidak bisa keluar dari pikirannya. Setiap kali ia menutup mata, wajah Dimas muncul kembali-senyum itu, tatapan penuh gairah yang dulu membuatnya merasa hidup.
Beberapa hari kemudian, Maya kembali berpapasan dengan Dimas di jalan saat ia sedang berjalan pulang dari kantor. Kali ini, Dimas lebih tegas. Ia menghentikan langkah Maya dan memegang lengannya dengan lembut.
"Maya, aku ingin bicara lagi," katanya dengan suara rendah, namun penuh keyakinan.
Maya terkejut dan mencoba menarik lengannya. "Dimas, ini tidak baik. Kita sudah berbicara tentang ini."
Namun, Dimas tak membiarkannya pergi begitu saja. "Maya, kita sudah lama tidak berbicara seperti ini. Aku tahu kamu masih merasa ada sesuatu di antara kita. Aku tidak akan pergi begitu saja tanpa memberimu kesempatan untuk mendengarku."
Maya merasa terjebak dalam kata-kata Dimas. Seakan, seiring waktu, perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang. "Aku sudah menikah, Dimas. Arif adalah suamiku, dan aku berjanji untuk setia padanya."
Dimas menatapnya dalam-dalam, seolah mencari celah dalam kata-kata Maya. "Aku tahu. Tapi hati tidak bisa dipaksakan, kan? Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu, Maya. Dan aku akan berusaha untuk membuatmu merasa bahagia seperti dulu."
Maya merasa hatinya berdebar, tapi ia tahu ia harus pergi. "Aku harus pergi,"
katanya dengan cepat, menarik lengannya dari genggaman Dimas. "Ini sudah cukup, Dimas. Aku tidak bisa... aku tidak bisa melanjutkan percakapan ini."
Dimas menghela napas, namun tidak ada kemarahan dalam dirinya. "Aku akan menunggumu, Maya. Tidak peduli berapa lama, aku akan menunggumu."
Maya melangkah cepat, meninggalkan Dimas yang masih berdiri di tempatnya, seolah tidak tergoyahkan oleh kata-kata Maya. Dalam hatinya, Maya tahu bahwa pertemuan ini akan mengguncang segalanya.
Setibanya di rumah, Maya mencoba untuk tidak menampilkan kegelisahannya. Namun, Arif yang selalu bisa membaca ekspresi Maya, tahu ada yang tidak beres. Ia meletakkan kunci mobil di atas meja dan memandang Maya dengan tatapan khawatir.
"Kamu bertemu dengan Dimas lagi, kan?" tanya Arif, suaranya tenang namun penuh ketegasan.
Maya terkejut, seakan Arif bisa melihat langsung ke dalam hatinya. "Apa maksudmu?" jawab Maya, berusaha terdengar biasa saja meskipun hatinya mulai berdegup kencang.
Arif menarik napas panjang. "Aku tahu kamu tidak ingin mengatakannya, tapi aku bisa merasakan ada yang berubah. Ada sesuatu dalam dirimu yang tidak bisa aku pungkiri."
Maya diam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Arif yang selalu tahu kapan ia berbohong, kini menunggu jawaban. Maya merasa perasaan bersalah menghantamnya begitu keras.
"Aku... aku bertemu dengannya beberapa kali," akhirnya Maya mengaku, suaranya hampir berbisik. "Tapi Arif, itu hanya kenangan lama. Aku tidak ingin menyakiti kamu."
Arif menatapnya dalam diam, seolah berusaha mencerna kata-kata Maya. "Maya, kamu sudah menikah denganku. Apa kamu tidak melihat betapa besar kepercayaanku padamu? Tapi aku tidak bisa memaksamu untuk tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Aku hanya ingin kamu jujur padaku."
Maya terdiam, merasa berat untuk menghadapinya. "Aku merasa bingung, Arif. Aku merasa terjebak antara dua perasaan. Dimas"
"Jangan katakan itu," potong Arif, suaranya penuh kepedihan. "Aku tidak bisa mengerti, Maya. Aku sudah memberi segalanya untuk kamu. Aku tidak pernah meragukanmu, tapi kenapa kamu merasa harus bertemu dengan dia lagi?"
Air mata mulai menggenang di mata Maya, namun ia berusaha menahan semuanya. "Aku tidak tahu. Aku rasa aku... aku masih mencintainya."
Arif memejamkan mata, mencoba menahan diri. "Jadi, ini tentang cinta yang dulu? Kamu memilih masa lalu daripada masa depan kita?"
Maya merasakan hatinya hancur mendengar kata-kata itu. Ia tidak pernah ingin membuat Arif merasa seperti ini. "Arif, aku... aku tidak tahu apa yang harus aku pilih. Tapi aku akan berusaha memperbaikinya. Aku akan berusaha melupakan Dimas."
Arif mengangguk pelan, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan kekecewaan. "Aku akan memberimu waktu, Maya. Tapi aku tidak akan bisa bertahan lama jika kamu terus terjebak dalam masa lalu."
Maya menundukkan kepala, merasa dunia seperti runtuh di sekitarnya. Ia harus memilih, dan pilihan itu tidak akan mudah. Kenangan bersama Dimas semakin membebani pikirannya, namun ia tahu satu hal-keputusannya kini bisa menghancurkan segalanya.
Dengan hati yang penuh kebingungan dan rasa bersalah, Maya harus memutuskan apakah ia akan melangkah maju bersama Arif, atau kembali kepada Dimas, cinta yang dulu.
Bersambung...
Buku lain oleh SOENARYATI
Selebihnya