Ketika seorang istri yang setia mulai merasa diabaikan, ia terlibat dalam perselingkuhan emosional dengan mantan kekasihnya. Hubungan itu tumbuh menjadi lebih dalam, hingga akhirnya ia dihadapkan pada pilihan sulit yang mengancam keluarganya.
Lia menutup laptopnya perlahan, mengalihkan pandangan dari layar yang kosong ke jam dinding di ruang tamu. Sudah pukul sepuluh malam, dan Arya belum juga pulang. Sudah hampir dua bulan terakhir ini suaminya sering pulang terlambat, atau bahkan terkadang menginap di kantor tanpa kabar yang jelas.
Di sebelahnya, kedua anak mereka, Maya dan Dania, telah tertidur lelap di sofa setelah menonton acara kartun kesukaan mereka. Lia menggigit bibirnya pelan, menahan rasa kesepian yang mulai membebani hatinya. Ia menyelimuti anak-anak dengan lembut, berusaha menekan perasaan gelisah yang berdesir di hatinya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara pintu dibuka. Arya muncul di ambang pintu, wajahnya tampak letih dan terlihat kusut.
"Kenapa nggak tidur, Lia?" tanya Arya tanpa menatapnya. Ia hanya melepas jas dan menggantungnya di rak dekat pintu.
Lia menelan ludah, berusaha menahan keinginan untuk mengeluarkan keluhan yang sudah lama ia pendam.
"Aku nunggu kamu, Arya. Udah makan?" tanyanya pelan.
Tanpa menoleh, Arya hanya menjawab singkat, "Udah, tadi di kantor."
Hening menguasai ruangan. Lia mengamati suaminya yang tampak acuh, lalu menghela napas panjang. Ia merasakan jarak di antara mereka semakin jauh, dan setiap malam terasa semakin sunyi.
"Arya... kenapa akhir-akhir ini kamu sering pulang malam? Apa ada yang bisa aku bantu?" Lia memberanikan diri bertanya, mencoba memahami beban suaminya.
Arya menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi. "Proyek kantor lagi sibuk, Lia. Ini buat masa depan kita juga. Kamu nggak perlu khawatir."
Jawaban itu seperti tembok. Arya mengatakannya dengan nada datar, seolah meminta Lia untuk tidak lagi mengajukan pertanyaan lebih jauh. Lia terdiam, mencoba menelan kekecewaan yang terasa pahit.
"Tapi... kalau kamu terus begini, kapan kita punya waktu buat keluarga, Arya? Anak-anak sering nanyain kamu," ucap Lia lirih, mencoba mempertahankan suaranya agar tidak pecah.
Arya menghela napas panjang, tampak kesal. "Lia, kamu tahu ini buat kita juga, kan? Jangan egois. Aku capek banget. Jangan nambah beban pikiran, ya?"
Kalimat itu membuat hati Lia tersayat. Kata "egois" terasa begitu tajam. Ia menunduk, berusaha mengumpulkan sisa-sisa ketegaran. Tanpa membalas ucapan suaminya, Lia hanya mengangguk pelan dan memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan.
Setelah beberapa saat, Arya menuju kamar, meninggalkan Lia yang masih berdiri mematung di ruang tamu. Saat suara langkahnya menghilang di ujung lorong, Lia akhirnya membiarkan air mata yang ia tahan sepanjang malam itu jatuh.
Sejak kapan semua ini berubah? Sejak kapan Arya berhenti memperhatikannya? Lia tak bisa menahan perasaan kesepian yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya. Dalam hati, ia masih mencintai Arya. Ia ingin suaminya kembali seperti dulu, saat mereka bisa berbagi tawa dan cerita tanpa ada jarak di antara mereka.
Esok harinya, saat sarapan, suasana di meja makan terasa hambar. Lia mencoba menghidupkan suasana, tapi Arya hanya fokus pada layar ponselnya.
"Arya, minggu depan ulang tahun pernikahan kita. Kamu ingat, kan?" tanya Lia, mencoba menaruh sedikit harapan.
Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel, Arya mengangguk pelan. "Hmm, iya... nanti kita lihat aja, ya. Mungkin aku bisa cari waktu kalau nggak terlalu sibuk."
Jawaban itu lagi-lagi menyayat hati Lia. Ia tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kekecewaannya di depan anak-anak yang makan dengan ceria.
Setelah sarapan selesai dan Arya sudah berangkat kerja, Lia mengantar anak-anak ke sekolah. Dalam perjalanan pulang, ia hanya terdiam di dalam mobil, merenung. Saat itulah pikirannya kembali melayang ke masa-masa saat ia dan Arya masih pacaran, saat Arya begitu perhatian dan selalu punya waktu untuknya.
"Apakah aku sudah tidak menarik lagi baginya?" batin Lia sedih.
Sepanjang hari itu, Lia merasakan kehampaan yang semakin besar. Ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah dan kegiatan lain, tetapi rasa sepi terus menghantuinya. Hatinya terasa kosong, dan kesepian mulai menjalar dalam hidupnya.
Di malam hari, setelah anak-anak tidur, Lia duduk sendiri di teras, memandangi langit malam yang gelap. Sambil memeluk lutut, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Apa aku sudah kehilangan Arya?"
Dalam hati, Lia tahu bahwa perasaannya ini tidak bisa ia pendam terlalu lama. Jika Arya terus mengabaikannya, ia takut perasaan kesepian ini akan berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.
Lia masih duduk di teras, terbuai dalam pikirannya yang kalut, ketika ponselnya bergetar. Dia mengambilnya dengan perasaan malas, berpikir mungkin hanya pesan notifikasi biasa. Tapi ketika melihat nama di layar, dia tertegun.
"Bayu?" gumam Lia lirih, tak percaya.
Bayu, mantan kekasihnya saat kuliah, tiba-tiba menghubunginya setelah bertahun-tahun tanpa kabar. Rasa heran sekaligus penasaran merayap dalam hatinya. Dengan ragu, ia membuka pesan singkat yang muncul di layarnya.
"Hai, Lia. Lama tak bertemu. Apa kabar?"
Sederhana, namun membuat dadanya berdebar-debar. Lia sejenak bimbang. Di satu sisi, ada rasa hangat yang membuatnya tersenyum mengingat sosok Bayu dan kenangan mereka bersama. Di sisi lain, ia merasa bersalah karena membuka pintu masa lalunya yang seharusnya sudah tertutup rapat sejak lama.
Namun, tanpa sadar, jemarinya mulai mengetik balasan.
"Hai, Bayu. Aku baik. Kamu apa kabar?"
Tak perlu waktu lama, Bayu langsung membalas. Mereka pun mulai terlibat dalam percakapan ringan, saling bertanya kabar dan membicarakan hal-hal kecil yang terjadi selama bertahun-tahun ini. Dalam setiap balasan, Lia merasakan kenyamanan yang sudah lama hilang. Seakan-akan, ia berbicara dengan seorang sahabat yang sangat memahaminya.
Di tengah percakapan, Bayu menulis:
"Kamu nggak berubah, masih ceria seperti dulu. Kadang aku masih ingat obrolan kita tentang impian kita dulu. Apa semua impian itu sudah terwujud, Lia?"
Lia tersenyum pahit. Bagaimana ia bisa menceritakan kehidupan rumah tangganya yang terasa hampa kepada Bayu? Namun entah kenapa, ia merasa seolah Bayu adalah satu-satunya orang yang mau mendengarkannya sekarang.
"Aku bahagia dengan keluarga kecilku, tapi... kadang aku merasa kesepian, Bayu. Arya... suamiku sekarang, dia sibuk sekali dengan pekerjaannya."
Balasan Bayu datang dengan cepat. "Aku bisa mengerti, Lia. Kadang kesibukan memang membuat kita jauh dari orang-orang yang kita sayangi. Tapi jangan biarkan kesepian menguasaimu. Kamu masih punya banyak hal yang berharga."
Lia membaca kata-kata itu berkali-kali, seperti mendengar seorang teman lama menasihatinya dengan lembut. Pembicaraan dengan Bayu malam itu seperti oase di tengah gurun yang gersang, memberinya rasa nyaman dan penghiburan yang selama ini ia rindukan.
Sambil berbaring di tempat tidur malam itu, Lia menatap kosong ke langit-langit, memikirkan percakapannya dengan Bayu. Ia tahu seharusnya ia tidak melibatkan diri terlalu dalam, tapi hati kecilnya merasa bahagia telah berbicara dengannya. Ia merasa didengarkan, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari Arya.
Keesokan harinya, Lia terbangun dengan perasaan bercampur aduk. Sepanjang pagi, ia berusaha fokus mengurus anak-anak dan menyiapkan kebutuhan mereka untuk berangkat ke sekolah. Namun, pesan Bayu tetap berputar-putar di pikirannya.
Saat Arya berangkat ke kantor pagi itu, Lia hanya bisa memandang punggung suaminya dengan perasaan getir. Dia tak berusaha mengucapkan selamat tinggal seperti biasanya, dan Arya pun pergi begitu saja tanpa menoleh.
Sorenya, Lia menerima pesan lagi dari Bayu.
"Hari ini aku di kafe tempat kita biasa nongkrong dulu. Kalau kamu punya waktu, mungkin kita bisa ngobrol sebentar? Tapi kalau nggak bisa, aku ngerti kok. Cuma... rasanya senang sekali bisa berbicara denganmu lagi, Lia."
Lia menatap pesan itu dengan campuran rasa bimbang dan penasaran. Bertemu Bayu adalah keputusan besar, dan ia tahu ada risiko di balik pertemuan itu. Namun, rasa kesepian dan kosong dalam hatinya begitu kuat hingga ia tidak bisa menahannya lagi.
Setelah berpikir lama, akhirnya ia mengetik balasan dengan tangan bergetar.
"Oke, aku akan ke sana. Jam 5 sore?"
Bayu segera membalas, "Aku akan menunggumu, Lia."
Pukul lima tepat, Lia tiba di kafe yang sudah lama tak ia kunjungi. Banyak hal yang berubah, namun ketika matanya menangkap sosok Bayu yang menunggunya di sudut kafe, ia merasa seakan waktu kembali ke masa lalu.
Bayu tersenyum hangat dan bangkit dari kursinya, menyambutnya dengan ramah. "Lia, lama tak bertemu," ucapnya lembut.
Lia hanya bisa membalas senyuman itu, perasaannya bercampur aduk antara rasa rindu dan canggung. Mereka pun duduk bersama dan mulai berbicara. Awalnya, percakapan mereka seputar kenangan masa kuliah, tempat-tempat yang mereka datangi, dan tawa yang mereka bagi.
Namun, perlahan-lahan, percakapan itu semakin dalam. Lia membuka diri, menceritakan kehidupannya yang terasa kosong dan kebersamaannya dengan Arya yang semakin pudar.
"Aku merasa seolah aku berbicara dengan tembok, Bayu. Arya terlalu sibuk, dan aku merasa diabaikan... Aku tahu seharusnya aku mendukungnya, tapi aku juga punya perasaan. Aku hanya ingin seseorang yang benar-benar peduli," kata Lia, menundukkan kepala.
Bayu mendengarkannya dengan penuh perhatian. Setelah beberapa saat hening, ia berkata, "Kamu layak merasa dicintai, Lia. Kamu wanita yang luar biasa. Jangan biarkan siapa pun membuatmu merasa sendirian."
Kata-kata Bayu membuat hati Lia bergetar. Mereka saling bertatapan dalam keheningan yang panjang. Tanpa mereka sadari, suasana di antara mereka dipenuhi oleh perasaan lama yang tak pernah benar-benar hilang.
Saat itu, Lia menyadari sesuatu yang membahayakan: kehadiran Bayu kembali menggoyahkan hatinya.
Bersambung...
Buku lain oleh ELESER
Selebihnya