Cinta yang Tersulut Kembali
Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Dalam sebuah rumah agak mewah, tampak seorang wanita muda yang cantik menatap ke luar rumahnya dengan cemas. Dia tengah menanti suaminya yang pergi sejak pagi dan belum kembali.
“Bu, Aku mau pup Bu, ayo temenin aku!”Ajak seorang gadis kecil di sampingnya.
Wanita muda itu pun segera menoleh dan berjongkok menatap putrinya.“Oke sayang, ayo Ibu antar.”Dengan senyum kelu dia pun membimbing anaknya ke kamar kecil.
Begitu sampai, Wanita itu membantu anaknya membuka celana dan mengantarnya masuk, lalu dia pun keluar. “Feby, Ibu tunggu di luar ya, kan Feby dah besar, bentar lagi masuk SD, jadi harus berani loh, ya.”
“ Baik Bu, Feby berani kok.”
Dengan senyum bangga, dia pun menutup pintu. Di saat yang bersamaan, terdengar ada yang mengetuk pintu. Cepat-cepat dia bergegas dan membuka pintu. Namun alangkah kagetnya dia, saat melihat seorang lelaki yang tidak dikenalnya datang bertamu dengan membawa beberapa anggota.“Maaf kalian siapa?”
Orang yang ditanya bukannya menjawab, malah menerobos masuk dengan senyum sombong diikuti oleh anak buahnya.“Jadi kamu istrinya Rudi?”
Seketika tubuh wanita itu gemetar bukan kepalang saat mendengar pertanyaan itu.“Ka-kalian siapa?” Wanita itu sudah sangat panik dan ketakutan.
“Ayolah, jangan panik begitu, aku rasa kamu sudah sangat kenal aku dari cerita Rudi kan?” Dia pun duduk tanpa dipersilahkan, sementara para anak buahnya berdiri berjejer layaknya pengawal.
“Ada tujuan apa kemari? Mana suamiku?!” Wanita itu menunjukkan keberaniannya dengan lantang meski suaranya gemetar.
Orang itu tertawa lebar, "memang sangat berani, pantas saja Rudi sampai bertekuk lutut sama kamu, tapi asal kamu tahu, sekali orang terlibat dengan aku, maka selamanya akan tetap bersamaku kecuali maut yang membuatnya berhenti.” Sorot matanya tajam menusuk.
Seketika lutut wanita itu terasa lemas dan tak bertenaga. Matanya sudah berkaca-kaca. Teringat kembali bagaimana pertentangannya dengan suaminya saat dia meminta agar ia berhenti menjadi pengedar narkoba.“Ayah, aku mohon berhenti menjadi pengedar atau aku minta cerai, aku ga mau punya suami seorang pengedar, bagaimana dengan nasib Feby nanti Yah?”
“Aku juga mau berhenti, tapi tidak mungkin Tuan Raking mau melepaskan aku Sayang, dia pasti akan marah dan menghukum aku, dia itu tidak punya perasaan sama sekali, dia bisa melakuakan apa saja yang dia mau!”
Kata-kata suaminya itu terngiang jelas, kini suaminya telah pergi seharian dan tak kembali, malah yang datang adalah Bosnya yang terkenal kejam. Dalam kekalutan, dia berusaha tetap tegar dan tegas.“Dimana suamiku!”
“Ooh ... suami kamu sekarang tengah mengantarkan barangku ke luar daerah dan akan kembali besok siang, itupun kalau dia beruntung dan pintar.” Ocehnya dengan santai dan penuh nada ejekan menatap Wanita itu.
“Asal kamu tahu, tidak ada seorang pun yang mampu mengubah hidup Rudi apalagi sampai membuatnya keluar dari genggamanku, termasuk juga kamu!” Tatapan matanya semakin tajam dan menusuk, membuat jantung Wanita itu seakan berhenti berdetak.
“Dan aku ke sini untuk mengatakan pada kamu, bahwa hari ini adalah hari terakhir kamu untuk menghasut Rudi!”
Setelah berkata demikian, dia pun mengeluarkan pistol dan mengarahkannya ke wanita itu. Bagai tersengat listrik, wanita itu langsung terbelalak dan menutup mulutnya. Belum sempat dia berteriak minta tolong, suara tembakan sudah menggema di dalam rumah itu. Wanita itu pun roboh bersimbah darah dengan dua butir peluru menembus dadanya. Tuan Rakin dan anak buahnya pun pergi tanpa merasa bersalah.
Keesokan harinya, Pak Rudi pulang dengan wajah kuyu. Harapannya untuk berhenti sepertinya tidak mungkin. Dengan ragu dia melangkah masuk ke pekarangan rumahnya. Perlahan mengetuk pintu, akan tetapi pintu ternyata tidak terkunci.
Segera dia masuk dan mencoba memanggil istrinya.“Bu!” Tidak ada sahutan dari dalam, “Sayang … !” Tetap saja tidak ada sahutan. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk tanpa memanggil.
Begitu berada di ruang tamu, keningnya pun berkerut heran melihat putrinya tengah memeluk Ibunya yang terbaring di lantai. Jantungnya mulai berdegup kencang. Dengan cepat dia menghampiri mereka.“Feby … Sayang, bangun Sayang!” Belum sempat hilang rasa kagetnya, tiba-tiba dia meraba sesuatu yang basah dan lengket. Cepat-cepat dia memeriksanya. “Darah, oh tidak, apa ini?" Bola matanya kian membesar melihatnya. Seluruh tubuhnya gemetar, napasnya sesak, air matanya sudah berlinang. Dengan suara bergetar, dia kembali memanggil dan mengguncang tubuh istri dan anaknya. "Sayang, Sayang ... Sayang, apa yang terjadi, sayaaaaaang!” teriaknya kencang sambil terus mengguncang-guncang tubuh istrinya.
Teriakan dan guncangannya itu membuat Feby, putrinya terbangun dari tidur. Suaranya lirih dan lemah, “Ayah."
Dengan cepat dia menangkap dan memeriksa tubuh putrinya yang juga telah berlumuran darah. “Sayang, kamu baik-baik saja? Ada yang sakit Nak, ada yang luka, hah?” Dia terus membolak-balik tubuh anaknya dengan penuh khawatir. Namun Feby hanya diam menatap ayahnya.
Setelah yakin anaknya baik-baik saja, dia kembali memeriksa istrinya. Dia pun meraba denyut nadi dan menempelkan telinga di dadanya, berharap masih ada denyut di sana. Saat tahu istrinya sudah tidak bernyawa, seluruh tulang-tulangnya dirasa remuk. Sendi-sendinya seakan tak berfungsi. Air matanya semakin menggunung dan jatuh berderai. Dadanya berat bagai dihimpit batu besar. Bibirnya gemetar hebat, beberapa kali mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan suara, napasnya terlalu sesak. Dia pun menggeleng berkali-kali. “Ti-tidak ... tidak ... mungkin, i-ini ... a-aakh ... ja-jangan ... ooh ... Sa-sayang ... jangan ... tinggalkan aku sayang ... bangun ... sayang, sayaaang, banguuunn! Aaa-aaaa, aaarrrggggh sayaaaaang!” Teriakannya pun kembali terdengar jauh lebih kencang sambil merengkuh tubuh istrinya dengan erat dan menciumnya berkali-kali.
Suaranya kian lirih dalam isak yang menyesakkan, sembari menatap dan mengelus wajah istrinya,“ tidak, Sayang ... bangun sayang, bangun, jangan tinggalkan aku, Sayang, aku sayang kamu, Sayang, banguuunn.” Namun istrinya yang telah pucat dan dingin, tidak bisa lagi merespon semua panggilannya. Pak Rudi terus menangis sesenggukan.
Setelah puas menangis dan meratap, akhirnya dia sadar bahwa sudah tidak mungkin baginya untuk membuat istrinya bangkit kembali. Pak Rudi pun menghentikan ratapannya.
Perlahan dia meletakkan tubuh istrinya di lantai, masih dengan suara sesenggukan, dia berbalik dan memeluk putrinya dengan erat. Kembali tangsinya pecah tak tertahankan. Perasaan menyesal telah menderanya, mengingat permintaan terakhir istrinya untuk berhenti dan pergi dari kota itu tanpa harus memberitahu Bosnya.
Kini nasi telah menjadi bubur, istrinya tidak mungkin kembali. Dia hanya bisa menangis dan menangis menanggung sesal yang tiada tara. Belum lagi tangisnya reda, ponselnya berdering. Dengan malas dia menjawabnya.
Pak Rudi menarik napas berat, “halo!”
“Apa kabar Rudi, bagaimana kabar istrimu hemm?”
Mendengar suara di seberang, bola mata Pak Rudi membulat, dadanya bergemuruh. “Tuan? "Apa ini perbuatan Tuan? Tapi kenapa Tuan, kenapa?!!”