Dendam Feby Rahayu pada ayah angkatnya bagaikan bara dalam sekam. Namun gadis manis itu belum juga menemukan cara yang tepat untuk mengobarkan apinya. Hingga akhirnya dia melihat seorang polisi ganteng yang sedang viral. Berbagai cara pun dilakukannya untuk bisa mendekati Sang Polisi. Akankah Feby berhasil mendekati polisi itu? Dapatkah Feby membalaskan dendam di hatinya?
Dalam sebuah rumah agak mewah, tampak seorang wanita muda yang cantik menatap ke luar rumahnya dengan cemas. Dia tengah menanti suaminya yang pergi sejak pagi dan belum kembali.
"Bu, Aku mau pup Bu, ayo temenin aku!"Ajak seorang gadis kecil di sampingnya.
Wanita muda itu pun segera menoleh dan berjongkok menatap putrinya."Oke sayang, ayo Ibu antar."Dengan senyum kelu dia pun membimbing anaknya ke kamar kecil.
Begitu sampai, Wanita itu membantu anaknya membuka celana dan mengantarnya masuk, lalu dia pun keluar. "Feby, Ibu tunggu di luar ya, kan Feby dah besar, bentar lagi masuk SD, jadi harus berani loh, ya."
" Baik Bu, Feby berani kok."
Dengan senyum bangga, dia pun menutup pintu. Di saat yang bersamaan, terdengar ada yang mengetuk pintu. Cepat-cepat dia bergegas dan membuka pintu. Namun alangkah kagetnya dia, saat melihat seorang lelaki yang tidak dikenalnya datang bertamu dengan membawa beberapa anggota."Maaf kalian siapa?"
Orang yang ditanya bukannya menjawab, malah menerobos masuk dengan senyum sombong diikuti oleh anak buahnya."Jadi kamu istrinya Rudi?"
Seketika tubuh wanita itu gemetar bukan kepalang saat mendengar pertanyaan itu."Ka-kalian siapa?" Wanita itu sudah sangat panik dan ketakutan.
"Ayolah, jangan panik begitu, aku rasa kamu sudah sangat kenal aku dari cerita Rudi kan?" Dia pun duduk tanpa dipersilahkan, sementara para anak buahnya berdiri berjejer layaknya pengawal.
"Ada tujuan apa kemari? Mana suamiku?!" Wanita itu menunjukkan keberaniannya dengan lantang meski suaranya gemetar.
Orang itu tertawa lebar, "memang sangat berani, pantas saja Rudi sampai bertekuk lutut sama kamu, tapi asal kamu tahu, sekali orang terlibat dengan aku, maka selamanya akan tetap bersamaku kecuali maut yang membuatnya berhenti." Sorot matanya tajam menusuk.
Seketika lutut wanita itu terasa lemas dan tak bertenaga. Matanya sudah berkaca-kaca. Teringat kembali bagaimana pertentangannya dengan suaminya saat dia meminta agar ia berhenti menjadi pengedar narkoba."Ayah, aku mohon berhenti menjadi pengedar atau aku minta cerai, aku ga mau punya suami seorang pengedar, bagaimana dengan nasib Feby nanti Yah?"
"Aku juga mau berhenti, tapi tidak mungkin Tuan Raking mau melepaskan aku Sayang, dia pasti akan marah dan menghukum aku, dia itu tidak punya perasaan sama sekali, dia bisa melakuakan apa saja yang dia mau!"
Kata-kata suaminya itu terngiang jelas, kini suaminya telah pergi seharian dan tak kembali, malah yang datang adalah Bosnya yang terkenal kejam. Dalam kekalutan, dia berusaha tetap tegar dan tegas."Dimana suamiku!"
"Ooh ... suami kamu sekarang tengah mengantarkan barangku ke luar daerah dan akan kembali besok siang, itupun kalau dia beruntung dan pintar." Ocehnya dengan santai dan penuh nada ejekan menatap Wanita itu.
"Asal kamu tahu, tidak ada seorang pun yang mampu mengubah hidup Rudi apalagi sampai membuatnya keluar dari genggamanku, termasuk juga kamu!" Tatapan matanya semakin tajam dan menusuk, membuat jantung Wanita itu seakan berhenti berdetak.
"Dan aku ke sini untuk mengatakan pada kamu, bahwa hari ini adalah hari terakhir kamu untuk menghasut Rudi!"
Setelah berkata demikian, dia pun mengeluarkan pistol dan mengarahkannya ke wanita itu. Bagai tersengat listrik, wanita itu langsung terbelalak dan menutup mulutnya. Belum sempat dia berteriak minta tolong, suara tembakan sudah menggema di dalam rumah itu. Wanita itu pun roboh bersimbah darah dengan dua butir peluru menembus dadanya. Tuan Rakin dan anak buahnya pun pergi tanpa merasa bersalah.
Keesokan harinya, Pak Rudi pulang dengan wajah kuyu. Harapannya untuk berhenti sepertinya tidak mungkin. Dengan ragu dia melangkah masuk ke pekarangan rumahnya. Perlahan mengetuk pintu, akan tetapi pintu ternyata tidak terkunci.
Segera dia masuk dan mencoba memanggil istrinya."Bu!" Tidak ada sahutan dari dalam, "Sayang ... !" Tetap saja tidak ada sahutan. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk tanpa memanggil.
Begitu berada di ruang tamu, keningnya pun berkerut heran melihat putrinya tengah memeluk Ibunya yang terbaring di lantai. Jantungnya mulai berdegup kencang. Dengan cepat dia menghampiri mereka."Feby ... Sayang, bangun Sayang!" Belum sempat hilang rasa kagetnya, tiba-tiba dia meraba sesuatu yang basah dan lengket. Cepat-cepat dia memeriksanya. "Darah, oh tidak, apa ini?" Bola matanya kian membesar melihatnya. Seluruh tubuhnya gemetar, napasnya sesak, air matanya sudah berlinang. Dengan suara bergetar, dia kembali memanggil dan mengguncang tubuh istri dan anaknya. "Sayang, Sayang ... Sayang, apa yang terjadi, sayaaaaaang!" teriaknya kencang sambil terus mengguncang-guncang tubuh istrinya.
Teriakan dan guncangannya itu membuat Feby, putrinya terbangun dari tidur. Suaranya lirih dan lemah, "Ayah."
Dengan cepat dia menangkap dan memeriksa tubuh putrinya yang juga telah berlumuran darah. "Sayang, kamu baik-baik saja? Ada yang sakit Nak, ada yang luka, hah?" Dia terus membolak-balik tubuh anaknya dengan penuh khawatir. Namun Feby hanya diam menatap ayahnya.
Setelah yakin anaknya baik-baik saja, dia kembali memeriksa istrinya. Dia pun meraba denyut nadi dan menempelkan telinga di dadanya, berharap masih ada denyut di sana. Saat tahu istrinya sudah tidak bernyawa, seluruh tulang-tulangnya dirasa remuk. Sendi-sendinya seakan tak berfungsi. Air matanya semakin menggunung dan jatuh berderai. Dadanya berat bagai dihimpit batu besar. Bibirnya gemetar hebat, beberapa kali mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan suara, napasnya terlalu sesak. Dia pun menggeleng berkali-kali. "Ti-tidak ... tidak ... mungkin, i-ini ... a-aakh ... ja-jangan ... ooh ... Sa-sayang ... jangan ... tinggalkan aku sayang ... bangun ... sayang, sayaaang, banguuunn! Aaa-aaaa, aaarrrggggh sayaaaaang!" Teriakannya pun kembali terdengar jauh lebih kencang sambil merengkuh tubuh istrinya dengan erat dan menciumnya berkali-kali.
Suaranya kian lirih dalam isak yang menyesakkan, sembari menatap dan mengelus wajah istrinya," tidak, Sayang ... bangun sayang, bangun, jangan tinggalkan aku, Sayang, aku sayang kamu, Sayang, banguuunn." Namun istrinya yang telah pucat dan dingin, tidak bisa lagi merespon semua panggilannya. Pak Rudi terus menangis sesenggukan.
Setelah puas menangis dan meratap, akhirnya dia sadar bahwa sudah tidak mungkin baginya untuk membuat istrinya bangkit kembali. Pak Rudi pun menghentikan ratapannya.
Perlahan dia meletakkan tubuh istrinya di lantai, masih dengan suara sesenggukan, dia berbalik dan memeluk putrinya dengan erat. Kembali tangsinya pecah tak tertahankan. Perasaan menyesal telah menderanya, mengingat permintaan terakhir istrinya untuk berhenti dan pergi dari kota itu tanpa harus memberitahu Bosnya.
Kini nasi telah menjadi bubur, istrinya tidak mungkin kembali. Dia hanya bisa menangis dan menangis menanggung sesal yang tiada tara. Belum lagi tangisnya reda, ponselnya berdering. Dengan malas dia menjawabnya.
Pak Rudi menarik napas berat, "halo!"
"Apa kabar Rudi, bagaimana kabar istrimu hemm?"
Mendengar suara di seberang, bola mata Pak Rudi membulat, dadanya bergemuruh. "Tuan? "Apa ini perbuatan Tuan? Tapi kenapa Tuan, kenapa?!!"
"Sudah kubilang ke kamu, aku tidak suka kalau orang yang kusayangi harus berpaling karena pengaruh orang lain, siapa pun itu, pasti akan aku lenyapkan dari muka bumi ini." Suaranya terdengar santai tapi penuh penekanan.
Gigi Pak Rudi mengerat kuat menahan marah. "Tuaan kenapa harus setega itu, aku sudah setia dan mengabdi pada Tuan dengan sangat baik, aku bahkan menuruti permintaan Tuan untuk melakukan transaksi terahir kemarin, tapi kenapa Tuan, KENAPAAA?!!" Wajahnya merah padam, dadanya turun naik karena ledakan emosi yang besar. Tangis Pak Rudi pun kembali pecah tak tertahankan.
"Ayolah Nak, dunia tidak akan kiamat meski dia meninggalkan kamu, masih banyak wanita lain yang jaauh lebih cantik dari dirinya, jadi berhentilah main drama!" Suaranya semakin terdengar santai dan mengejek.
"Tapi Tuan, aku sangat mencintai istriku, kenapa harus membunuhnya?" Air mata Pak Rudi terus menetes dan sesenggukan.
"Sudahlah, sebaiknya kamu diam dan tidak perlu melapor ke polisi, atau kamu dan putri kecilmu itu akan menyusul ke liang lahat!" Nada santai yang semula terdengar kini telah berubah tegas penuh intimidasi.
Panggilan itu pun terputus tanpa Rudy sempat mengeluarkan segala unek-uneknya.
Ancaman yang dilontarkan oleh tuan Raking, membuat nyali Pak Rudi jadi ciut, baginya sudah cukup kehilangan istri, dia tidak ingin kehilangan anaknya lagi. Dengan cepat dia memeluk istrinya sambil terus menangis.
"Sayang, maafkan aku, aku menyesal tidak mendengarkan kata-kata kamu, Sayang maafkan aku yang tidak mampu mencari keadilan untuk kamu, Sayaaang maafkan aku ... maafka-an!"
Dia pun meraih anaknya dan memeluknya dengan erat seakan tidak mau kehilangan dia.
Setelah agak lama berlarut-larut dalam kesedihan, akhirnya dia bangkit dan mencoba mengurus jenazah istrinya.Tidak lupa dia membersihkan semua bekas darah yang ada di lantai begitu juga dengan tubuhnya yang ikut berlumur darah.
Belum lagi selesai, sebuah mobil datang dan sekelompok orang masuk ke dalam. Tanpa diminta pun mereka segera membantu Pak Rudi yang tengah kebingungan.
Salah satu dari orang-orang itu, mendekati Pak Rudi."Silakan hubungi handai tauland Anda dan katakan pada semua orang, kalau istri Anda meninggal mendadak, itu perintah dari Tuan Raking!"
Meskipun Pak Rudi telah mengumumkan kematian itu pada seluruh warga, namun kepada keluarga, baik keluarganya maupun keluarga istrinya, dia tidak mengatakannya. Selain karena mereka semua berada jauh di luar kota, Pak Rudi tidak mau kalau keluarganya curiga dengan kematian istrinya.
Demikianlah prosesi pemakaman berlangsung mengharukan. Banyak tetangganya yang berbisik-bisik karena curiga dengan kematian mendadak itu. Namun mereka takut untuk membesar-besarkannya, karena mereka sangat tahu siapa dan apa pekerjaan Pak Rudi dan bagaimana Bosnya.
Setelah pemakaman selesai, tinggallah Pak Rudi bersama anaknya di pemakaman. Dia enggan meninggalkan tempat itu. Terasa istrinya masih hidup di dalam sana. Berkali-kali dia menarik napas, tapi sesak di dadanya tidak mau hilang. Batu besar terasa makin menghimpitnya. Dia hanya mampu menggigit bibir yang terus gemetar. Membayangkan masa-masa bahagianya yang seumur jagung, membuat napasnya semakin sesak saja. Bahunya terus berguncang karena isak tangisnya yang tak bisa ditahan. Akan tetapi Feby hanya terdiam dengan pandangan kosong penuh kebencian.
"Aku turut berduka cita Nak!"
Suara besar dan berat dari belakang membuat isak tangis Pak Rudi berhenti sejenak dan menoleh. Begitu melihat Bosnya, Pak Rudi langsung berdiri dan langsung menyerbu, lalu menarik kerah bajunya. Namun sayang, para pengawal Tuan Raking langsung menarik tubuhnya dan mendorongnya menjauh.
"Kenapa Tuan tega melakukan ini padaku, KENAPAA! Aku selalu setia pada Tuan, tapi kenapa Tuan tega melenyapkan orang yang paling aku sayangi, HAAAHHH!" Wajah Pak Rudi merah padam, dan urat lehernya tampak membesar karena teriakannya yang kencang.
Teriakan dan umpatan yang dilayangkan oleh Pak Rudi sama sekali tidak membuat Tuan Raking merasa bersalah. Dia malah tersenyum puas. "Dari pada kamu terus berteriak dan marah-marah, sebaiknya persiapkan dirimu dan juga anakmu untuk pindah dan tinggal di rumahku, aku harus pastikan kamu itu tidak berhianat, agar kamu tidak kehilangan anakmu satu-satunya."
Mata Pak Rudi terbeliak, "Apa maksud Tuan?"
Tuan Raking tidak menjawab lagi, dia hanya tersenyum sombong sambil berbalik dan berlalu."Bawa mereka!"
Mendengar perintah dari Tuan Raking, para pengawal pun langsung membawa Pak Rudi.
"Lepaskan aku, aku bisa jalan sendiri!" Bentaknya sambil menghentakkan tangan lalu menggendong Feby kemudian ikut serta dengan para pengawal itu dengan hati gusar.
Sepanjang perjalanan, Rudy tetap saja menangis tiada henti. Rasa penyesalan terus menderanya akan tetapi semua sia-sia tidak ada yang bisa dia lakukan untuk membalas ataupun mengembalikan istrinya. Feby sendiri hanya menatap Ayahnya dengan tatapan kosong tanpa ekspresi.
Sesampai di rumah Tuan Raking, mereka dibawa ke dalam ruang tengah di mana Tuan Raking telah duduk dengan santainya di sofa.
Pak Rudi pun dipaksa untuk duduk bersimpuh di depan Tuan Raking. Hening tidak ada suara, sebab Pak Rudi sudah malas untuk bicara. Dia pasrah akan nasib yang akan melandanya, hanya saja dia berharap agar putrinya tidak diapa-apakan.
"Rudi! Mulai saat ini, kita tinggal bersama, kamu lihat 'kan, aku juga bisa hidup bahagia, hidup enak meskipun aku tidak punya istri, kita bisa mendapat semuanya bersama Rudi. Wanita, harta, tahta, semuanya, jangan kawatir, aku akan berikan semuanya, jadi lupakan istrimu, dan kita nikmati hidup penuh dengan kesenangan ini!"
Pak Rudi semakin terisak dan sesenggukan mendengar betapa mudahnya Tuan Raking memintanya melupakan orang yang sangat dicintainya.
Lain halnya dengan Feby, sorot matanya sangat tajam menatap Tuan Raking yang tengah tersenyum melihat keadaan Ayahnya. Tatapan membunuh yang ditunjukkannya bukan tanpa alasan.
Semalam, waktu kejadian, Feby yang mendengar suara tembakan segera berlari hendak keluar, akan tetapi saat melihat kejadian itu melalui kaca buffet yang ada di ruang tamunya, dia langsung berhenti dan menutup mulut. Dia sangat ketakutan hingga tak mampu bersuara, tenggorokannya terasa tercekat.