Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Terlupakan Mr Casanova

Istri Terlupakan Mr Casanova

NACL

5.0
Komentar
4K
Penayangan
47
Bab

Sudah jatuh tertimpa tangga, nasib sial menghampiri Naladhira. Baru saja kedua kakinya melangkah keluar dari ruangan dokter kandungan, mendadak menerima kabar bahwa suami tercinta –Theodore, mengalami kecelakaan. Hari-hari yang dilewati Nala tidak mudah, sebab kandungannya mengalami masalah serius, ditambah sang suami sama sekali tidak mengingat apapun tentang dirinya. Nala hidup layaknya orang asing. Diacuhkan, tidak mendapat sedikitpun perhatian dan kasih sayang dari sang suami. Masalah datang bertubi-tubi menghantam pernikahannya. Setiap jam, menit serta detik dipenuhi tetesan air mata. Nala berjuang seorang diri melindungi dan mempertahankan pernikahannya, yakin suatu hari nanti kebahagiaan pasti datang.

Bab 1 Kabar Buruk

Seorang wanita berparas cantik, lembut bak bidadari baru saja keluar dari ruang dokter spesialis kandungan, tapi sayang suasana hatinya mendung seperti langit Kota Birmingham saat ini. Dia sengaja datang seorang diri memeriksakan kehamilannya, belakangan ini sering mengalami pendarahan, pembengkakkan, serta sakit pada sekujur tubuh.

"Mirror syndrome?" ucapnya, bahkan suara wanita itu tercekat. Namanya Naladhira, terus menyeka air mata yang menetes sejak dokter menjelaskan perihal kelainan kandungannya.

Nala membelai perut buncitnya, pikirannya kalut, kebingungan sudah pasti. Sebagai calon ibu, dipenuhi ketakutan yang luar biasa menyangkut keselamatan buah cintanya.

Akibat melamun di tengah lorong, Nala hampir tertabrak sekumpulan orang. Ia melihat keributan, dokter dan perawat berlarian menuju bangsal IGD. Sayup-sayup mendengar percakapan tenaga medis bahwa dua pasien kecelakaan motor, dengan luka sangat serius tiba di depan rumah sakit.

Wanita ini menelan air liur, teringat akan suaminya yang siang tadi pamit hendak mengikuti balapan motor di salah satu sirkuit. "Oh tidak mungkin, bukan Theo. Pasti orang lain. Semoga dia selamat."

Tak bisa dipungkiri, lubuk hatinya tak tenang, selalu menoleh pada pintu penghubung antara poli dan IGD. Nala meremas kesepuluh jari, cemas sekaligus penarasan, sebab suaminya tidak memberi kabar apapun.

Sedetik kemudian Nala menggelengkan kepala, menepis semua pikiran buruk dalam otaknya. "Aku harus pulang. Pasti Theo di mansion." Senyum tipis terukir di bibir tipis.

Semula Nala bersikap acuh tak acuh, tetapi dering pada ponselnya membawa kabar buruk.

"Ya? Apa? Ti-tidak mungkin." Suara Nala bergetar, seketika benda pipih terjatuh dari genggaman.

"Theo." Jeritnya dalam hati. Suara seseorang di balik telepon meruntuhkan harinya yang sudah hancur berkeping-keping.

Dengan langkah tertatih sembari memegang perut buncitnya, Nala menghampiri sang suami yang tergeletak lemah tak berdaya di atas brankar.

Tubuhnya lemas, dadanya begitu sesak dan sulit menghirup udara. Manik hitam pekatnya terbelalak melihat tetesan darah berjatuhan ke lantai, mengalir dari kepala. Wajah tampan nan rupawan Theo berubah merah.

"Tolong selamatkan suamiku. Theodore." Tangisnya, jujur Nala tak ingin kehilangan sosok pria yang teramat sangat dicintai.

"Aw ... sa-sakit." Mendadak perut buncit Nala menegang, raganya limbung dan tak sadarkan diri.

"Mrs. Bradley, Ya Tuhan. Tolong bawa ke ruang perawatan, hubungi dokter kandungan."

Dibantu seorang perawat, ibu hamil itu mendapat perawatan intensif. Tekanan darahnya meningkat, suhu tubuh tinggi, bulir keringat memenuhi keningnya.

Kepalanya bergerak gelisah, kedua tangan meremas selimut, hingga selang infus yang sebelumnya berwarna bening berganti menjadi merah, karena pergerakan punggung tangan Nala.

Dalam mimpinya, Nala terbayang wajah Theodore, teringat kalimat terakhir ketika suaminya berpamitan.

"Aku, Theo hanya mencintai Naladhira istriku yang baik hati, manis dan cantik." Pria itu menciumi perut buncit sang istri. Lalu menitipkan pesan agar Nala menjaga anak dalam kandungannya, berjanji tetap sehat dan bahagia.

"Jaga anak-anak kita. Ingatkan mereka kalau aku menyayangi kalian. Jangan lupa ya. Aku berangkat dulu Nala, podium juara 1 hari ini ku persembahkan untuk kamu."

Sungguh Nala tak menyangka jika pesan itu memiliki pertanda lain. Ia tidak membutuhkan podium kejuaraan, hanya ingin suaminya sehat seperti sediakala.

Nala pingsan selama beberapa jam, dia tidak mendampingi proses operasi yang dilakukan oleh dokter terhadap Theo. Dokter kandungan melarangnya terlalu larut dalam kesedihan, sebab menimbulkan dampak negatif bagi kandungannya.

Semalaman penuh Nala ditemani Valerie –saudari kembar Theo. Penuh perhatian menghapus peluh dan memeluk raga ringkih itu.

Pagi hari, Nala terbangun seorang diri. Ia membaca pesan pada ponselnya, betapa senangnya Nala karena Theo sudah siuman.

"Suster, bisa minta tolong?" ucapnya dengan wajah berbinar. Baru semalam berpisah tetapi rasa rindu sudah menggunung.

"Tapi Nyonya, pesan dokter ..."

Perawat keberatan, mengingat kondisi Nala tidak memungkinkan. Namun, ibu hamil itu memohon dan memaksa perawat mengantarnya ke ruang pemulihan khusus.

Setibanya di depan ruangan, Nala bisa melihat jika suaminya tengah duduk melempar senyum kepada seluruh anggota keluarga.

"Theodore." Panggil Nala ketika pintu terbuka lebar.

"Ya? Siapa?" dua kata penyambutan yang membuat Nala kebingungan.

"Akhirnya kamu bangun juga, aku merindukan kamu. Peluk." Nala tidak sungkan bersikap manja di depan keluarga besar.

"STOP. Perempuan gatal, tidak tahu diri, menyingkir. Alergi dekat-dekat perempuan kampungan." Ketus Theodore, melirik tajam Naladhira yang mematung di sisi ranjang.

Kedua mata pria itu memindai penampilan Nala dari ujung kepala hingga kaki. Satu sudut bibir tertarik, seakan mencemooh wanita yang nekat mendekati.

"Aku Nala, kamu jangan bercanda!" Nala masih santai menghadapi suaminya, ia tahu betul bahwa Theo gemar bergurau dan penipu ulung.

Tak peduli, Nala mencoba meraih lengan suaminya untuk melepas penat dan kegundahan hati yang menyelimuti sejak kemarin. Tetapi secara tegas Theodore menghindar, mengangkat satu tangan, mengalihkan pandangan.

"Mundur! Cepat! Telinganya terpasang kan? Masih berfungsi?" bentak Theo.

"Theo ka-kamu kenapa? Ini tidak lucu." Nala memajukan bibir, tetap beranggapan bahwa suaminya membuat lelucon.

Theodore menoleh, jari telunjuknya menunjuk Nala dengan tenaga, sampai tubuh wanita itu mundur satu langkah. "Satu lagi, panggil Tuan Muda Bradley, bukan nama. Dasar wanita penggoda."

Pria itu menganggap Nala sebagai wanita pada umumnya, sering datang menemui, berpura-pura saling mengenal kemudian menggodanya. Lebih parahnya lagi, menghisap hartanya.

"Mungkin lebih baik penggoda daripada perempuan berlagak suci, bersembunyi di balik topeng, ternyata hatinya busuk, tujuannya menjerat pria kaya. Benar kan Nona?" tukas Theodore berapi-api, tidak menyukai tingkah Nala.

"Tidak masalah kalau kamu cantik dan seksi, cukup berguna dan enak dipandang di atas ranjang." Sambungnya.

"Cukup Theodore, dia Naladhira. Istri kamu. Bukan orang lain." Sentak Daddy Dariel, lalu menggelengkan kepala.

"Naladhira? Nama macam apa itu? Hahaha. Jelek." Tawa Theodore menggema dalam ruangan.

Rupanya Theo yang terbangun dari tidurnya, dengan sikap dan sifat berbeda. Dia sama sekali tidak mengingat Naladhira. Tim dokter segera memeriksa kondisi pasien prioritas ini. Dugaan sementara, memori Theodore terhenti pada beberapa tahun yang lalu, tepat sebelum mengenal Naladhira.

Serangkaian tes harus dilakukan oleh Theodore, agar pengobatan tepat sasaran. Tetapi secara tegas ditolak, pria itu merasa sehat, "Kepalaku baik-baik saja, kenapa harus CT Scan, tes darah dan sebagainya. Tangan dan kakiku yang sakit, bukan otakku."

"Hanya karena tidak mengingat wanita murahan itu, harus melalui pemeriksaan lagi. Sebaiknya kalian semua kembali bekerja, atau aku rotasi ke pelosok desa." Geram Theodore sembari menatap bengis kepada Nala.

Satu tangan Nala terangkat hendak menampar pipi suaminya, "Jaga mulutmu, Theo!" dadanya naik turun, napasnya memburu, kata-kata yang keluar dari bibir pria itu menyakiti harga dirinya sebagai wanita.

Theodore mengusir istrinya sendiri karena merusak pemandangan. "Keluar dari sini! Perempuan kasar, tidak tahu diri, penggoda. Lebih baik kamu bercermin, wajahmu saja tidak cocok menjadi pelayanku apalagi istri." Mengangkat dagu, bersikap angkuh.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh NACL

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku