Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Tiga tahun lalu, Everland Korea.
Raja melangkah meninggalkan Cahaya yang kembali menolaknya, menolak uluran cinta yang ditawarkannya. Entah apa yang salah dengannya hingga Cahaya seakan enggan terikat padanya. Dia sangat mencintai gadis itu, mencintai dengan setulusnya. Namun dia harus berlapang dada menerima penolakan untuk kedua kalinya.
Cahaya terdiam sendiri, tempat di mana dia berada sekarang adalah salah satu tempat hiburan terbaik di Korea, namun keramaian dan keindahan tempat itu tak dapat membuatnya merasakan bahagia.
Lagi, dia bersikap angkuh menolak Raja. Merasa jumawa dengan rasa cinta lelaki itu, dengan mudah berkata tidak, padahal hatinya juga mendamba.
Munafikkah dia? Tidak. Semua dilakukan untuk kebaikan lelaki itu, lelaki dengan sejuta pesona itu pantas mendapat yang terbaik, dan itu bukan dirinya.
Sudah cukup dia melukai perasaan Raja beberapa bulan yang lalu, dan mungkin juga barusan atas penolakannya. Tapi ke depannya, lelaki itu akan tertawa bahagia dengan melupakan semua tentangnya. Bukankah waktu akan menyembuhkan luka?
Lukanya ... juga luka hati Raja. Semua akan baik-baik saja walau sekarang terasa menyiksa.
"Ya, naik kora-kora yuk? Tuh, Andri sama Adrian udah naik." Alya sang sahabat menghampiri, memilih kursi kosong di sebelahnya untuk dia duduki.
Cahaya tersenyum mencoba menutupi luka hati, luka yang sengaja dia toreh sendiri, luka yang dibuat berdenyut nyeri saat menolak tawaran sang pangeran hati.
"Males, Al. Kenapa nggak naik aja bareng mereka tadi?" kata Cahaya mencoba bersikap biasa.
"Tadinya mau bareng, cuma nggak enak aja kalau hanya bareng mereka. A Raja mana? Tadi aku lihat dia bareng kamu?" Alya menoleh mencari keberadaan Raja, lelaki itu tadi terlihat bersama dengan Cahaya.
"Pergi, nemuin Norri mungkin," kata Cahaya mencoba abai, padahal hatinya berteriak lantang.
Ya, alasan lain menolak Raja adalah melihat kedekatan Raja dengan manajer pemasaran dari Malaysia itu. Selain cantik dan tentunya pintar, Norri begitu terlihat menunjukkan ketertarikan pada Raja, Cahaya yang telah mengecewakan Raja, ingin memberi kesempatan pada Raja untuk membuka hati, bukan hanya terpaku padanya yang sudah terlalu sering menyakiti.
Bodohkah dia?
Tidak. Dan biarlah. Cahaya hanya ingin Raja mendapatkan yang terbaik, dan sepadan dengannya. Bukan seperti dirinya yang hanya seorang anak petani.
"Norri? Manager dari Malaysia itu?"
Cahaya mengangguk, "Kamu cemburu, Ya?"
Cahaya menatap Alya tajam, menolak mengakui apa yang dikatakan.
"Tidak!"
"Bohong!"
"Terserah!"
Alya menghembuskan napas kesal, merasa heran dengan pemikiran Cahaya, kenapa gadis itu tidak pernah mau mengakui perasaannya sendiri?
"Kamu akan menyesal, Ya."
"Kenapa? Aku hanya ingin yang terbaik untuk a Raja."
Mata Alya memicing, menatap penuh selidik pada Cahaya, yang tanpa sengaja membuka kata tanpa perlu ditanya.
"Jangan bilang kamu menolak a Raja lagi, Ya?" tanya Alya tepat sasaran.
"Ya, dan itu yang terbaik untuk a Raja."
"Konyol! Bagaimana bisa kamu bilang itu yang terbaik, Ya? Kalau bahagianya dia itu kamu! Kamu Cahaya Kamila! Bodoh!" Alya tak dapat menutupi kekesalannya pada Cahaya, dan dia semakin kesal saat dengan enteng Cahaya mengendikkan bahunya menanggapi perkataan Alya.
"Kamu akan menyesal, Ya!"
'Ya, dan aku menyesal sudah sejak lama, dan aku akan terus seperti ini, Al.'
Kata-kata Cahaya tidak akan didengar Alya, karena dia hanya berbicara pada dirinya sendiri.
"Kamu memang sudah terobsesi pada oppa, Ya. Kamu menutup mata dan hati pada cinta yang a Raja tawarkan."
"Tidak, karena aku pun akan mengakhiri semuanya dengan oppa, aku akan fokus pada tujuan awalku datang ke negeri ini, aku hanya akan berpikir tentang masa depan."
"A Raja juga masa Depan kamu, Aya! Dia mencintai kamu!"
"Kamu tidak akan mengerti apa yang ada di kepalaku, Al."
"Tentu saja aku tak mengerti, dan tak ingin mengerti! Sudahlah, aku malas berbicara padamu."