Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Tahun 1975
Di tengah teriknya mentari kaki kecilnya terus melangkah sembari membawa satu keranjang kue yang harus dia jual demi menutupi kebutuhan keluarganya. Lelah, lapar dan haus tak dia hiraukan. Dengan penuh semangat suara lantangnya terdengar di jalanan.
"Gorengan ... "
"Kue ..."
Gadis kecil berkuncir dua, hidung bangir dan kulit kuning langsat menjadi tatapan semua orang di jalan. Tak menyangka gadis secantik dia mau dan tak malu berjualan sambil berkeliling.
"Nayna ... sini, Nak."
Senyumannya dapat memikat hati pemuda di sana. Meski gadis bernama Nayna masih berusia delapan tahun banyak pemuda yang menyukainya diam-diam. Mereka akan melamarnya ketika gadis itu sudah beranjak dewasa kelak. Ya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja.
"Ya Bi, ada apa?" tanya Nayna menghampiri warung di pinggir jalan.
Suaranya yang lembut enak didengar. Tak ada kesan manja, merengek atau berkeluh kesal. Saat membuka kalimatnya, gadis itu berkata dengan sopan dan hormat. Tak ada yang kurang dari gadis tersebut. Sayangnya, dia terlahir dari keluarga tak mampu.
"Kau dan ibumu sudah makan?" tanya sang pemilik warung.
"Sudah tadi pagi, Bi. Lauk yang bibi beri kemarin sore masih ada," jawabnya sopan dengan tutur bahasa yang halus.
"Itu sayur santan. Tidak baik jika disimpan sampai semalam. Nanti sepulangnya kau dari berjualan. Mampirlah sebentar ke sini. Kau paham, Nay?"
"Iya Bi Ros," jawabnya lagi sembari berpamitan.
Rosita pemilik warung di dekat terminal itu memang menjadi persinggahan Nayna maupun para pemuda pengamen. Rosita dan sang ibu Nayna sahabat karib sejak masa sekolah dasar.
"Kasihan benar nasibmu, Cah Ayu. Ayah kandung pergi lalu datang ayah tiri malah pejudi dan pemabuk," ratap Rosita memandang kepergian anak sahabatnya.
Namun Rosita salut pada Maya ibu dari Nayna, wanita itu mampu mendidik anaknya dengan benar setelah ditinggal suaminya yang menikah lagi.
"Na, mana pesananku?" Seorang pemuda berperawakan gemuk menghampiri Nayna yang hendak masuk terminal.
"Ini Bang," kata Nayna menunjukkan sekantung kresek gorengan pesanan Tohir.
"Wah asyik. Terima kasih ya. Ini kembaliannya ambil kamu aja," ucap Tohir menyerahkan uang seribu kepada Nayna.
Nayna menyunggingkan senyum. Senang sekali hatinya kalau Tohir penjaga loket itu membeli dagangannya meski tidak setiap hari hanya ketika ada acara saja di rumahnya. Nayna langsung mengantongi selembar uang dengan tokoh bergambar Pangeran Diponegoro tersebut.
"Gorengan 25 perak ...."
"Lemper 100 perak ...."
Langkahnya kembali terayun. Nayna menjajakan dagangannya di dalam terminal bus yang sudah setahun ini dia lakukan. Jika bukan karena Rusdi ketua preman penjaga terminal gadis kecil itu dilarang masuk dan berjualan, tetapi pria tua itu menaruh rasa iba.
"Nay, udah makan belum?" tanya Rusdi ketika melihat Nayna masih menjajakan jualannya.
"Sudah, Bang," jawab Nayna. Rusdi meski usianya di kepala lima, tetapi dia tak mau dipanggil kakek atau bapak oleh siapa saja.
"Ya sudah hati-hati. Lain kali biarkan Tohir yang ke rumahmu untuk ambil pesanan. Jangan kamu, Nayna. Kamu tuh nggak bisa bawa keranjang berat," ucap Rusdi menggelengkan kepala melihat Nayna berpeluh keringat dengan napas tersengal.
Nayna hanya mengangguk lalu melanjutkan kaki kecilnya mengelilingi terminal bus. Tak ada rasa lelah baginya meski udara kian panas, tetapi Nayna tetap semangat. Dia harus mendapatkan uang hari ini untuk membeli obat sang ibu yang terbaring sakit.
"Gorengan ... lemper ..."
"Masih hangat ... siapa yang mau beli?"
Hampir setengah jam mengitari terminal hanya ada beberapa saja yang laku dan sisanya masih banyak terutama gorengan. Sejenak Nayna duduk di kursi kayu panjang seraya mengambil botol lusuh minumnya. Dia lelah dan perutnya pun berbunyi.
"Tidak, aku tidak boleh beli makan. Kasihan ibu," ujarnya dalam hati.
Meski terasa lapar, Nayna tetap tak berpengaruh pada pikiran jahatnya. Dia akan makan jika dagangannya ini habis dan pulang lalu memakan masakan bibi Rosita yang selalu memberinya lauk sisa.
"Hei! Anak kecil buat apa kamu ke sini?"
"Wah rejeki nih, Bos. Habisin saja," kata pemuda bertato dan bertindik di telinga.
Nayna terkejut kala melihat seorang pria bertubuh kekar menghampirinya bersama dua teman lainnya. Dia beranjak berdiri, tetapi kalah cepat dengan preman tersebut lalu seenaknya memakan gorengan.
"Jangan, Om. Jangan dimakan," ucap Nayna melarang preman itu mengambil gorengannya.