Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sarjana Muda

Sarjana Muda

Bana

5.0
Komentar
114
Penayangan
5
Bab

Momen wisuda yang harusnya bahagi justru membuat Snevy kehilangan seluruh keluarganya karena kecelakaan. Ia harus membesarkan adiknya seorang diri. Disisi lain, cintanya dengan Nauval tidak mendapatkan restu. Yang terpenting baginya sekarang adalah membesarkan adik satu-satunya yang dimiliki. Ia tak lagi memikirkan hal lain. Meski mendapatkan larangan dari kedua orangtua, Nauval tetap menemani Snevy. Lalu bagaimana kehidupan snevy selanjutnya? Apakah ia mampu menjadi orangtua tunggal?

Bab 1 Pra Wisuda

"Belajarlah dengan tekun, tidak ada ilmu yang sia-sia. Suatu saat ilmu yang kamu pelajari akan lebih berharga dari sekedar emas, tanah dan sawah. Abaikan sindiran tetangga tentang percuma perempuan sekolah tinggi, bagi ibu pendidikan tinggi sama pentingnya untuk laki-laki dan perempuan." kata-kata ibu kembali teringat saat aku mengambil undangan wisuda dari kantor jurusan.

Wajar saja, tempat tinggalku berada didesa yang menganggap bahwa sekolah adalah hal sia-sia karena membuang uang. Lebih baik bekerja dan mendapatkan banyak uang. Terutama bagi perempuan yang pada akhirnya akan menjadi ibu rumahtangga.

Aku menerima surat undangan dan toga dengan rasa sakit yang tak bisa terungkapkan. Ada ribuan cacian yang Ayah dan Ibu terima saat mencukupi biaya pendidikanku. Ada tatapan sinis dari tetangga yang selalu mengintai Ayah dan Ibu. Dan ada tangisan penuh harap yang mengalir dengan tulus.

"Ayah, Ibu, hari ini aku akan membawa sebuah harapan yang kalian nantikan." gumamku.

Aku bergegas pulang ke kost dan memberikan kabar wisuda kepada Ayah dan Ibu lewat pesan suara ponsel.

Namaku Snevy Amorita Azza, seorang calon sarjani dari jurusan pendidikan matematika. Aku terlahir dari kedua orangtua yang luar biasa. Keluarga yang hanya bisa memenuhi kebutuhan makan untuk hari ini, tapi tak pernah sedikitpun mengeluh tentang kehidupan. Keluarga yang tak pernah memiliki uang lebih, tapi bisa membiayai pendidikanku sampai tingkat sarjana. Dengan langkah tegap aku bangga terlahir dari keluarga ini.

Kata orang, aku tidak akan bisa menjadi seorang sarjana karena bukan anak orang kaya. Dulu aku hanya diam membisu, sekarang dengan bangga aku tegaskan bahwa pendidikan bukan hanya hak orang kaya. Pendidikan adalah hak bagi semua orang yang mau berusaha dan bekerja keras. Tanpa beasiswa dari siapapun aku bsia menyelesaikan pendidikan sarjanaku. Jika bukan karena Ayah dan Ibu yang selalu memprioritaskan pendidikan untuk ketiga anaknya, mungkin aku tak akan menjadi seperti ini.

Terimakasih Ayah. Terimakasih Ibu. Terimakasih Tuhan telah melahirkanku dari keluarga ini.

"Assalammualaikum." sapaku lewat ponsel.

"Waalaikumsalam." Aku mengenali suara itu, Bayu, adik laki-lakiku.

"Bayu, Ibu ada dirumah?" tanyaku segera.

"Ada kak, sebentar. Bayu panggilkan dulu!" ucapnya dan ku dengar teriakan "ibu!" setelah itu.

"Assalammualaikum, nak." Sapa Ibu.

"Waalaikumsalam, bu" jawabku. "bu, Azza bulan depan wisuda bu, nanti Ibu, Ayah, Bayu, Pakdhe, Budhe datang ke Jogja ya bu," lanjutku kemudian.

"Alhamdulillah, sudah wisuda nduk?" ujar Ibu.

"Iya bu, Azza sudah wisuda," tegasku sekali lagi.

"Katanya kalau mau lulus kuliah harus membuat skripsi. Skripsimu bagaimana nduk?" tanya Ibu dengan begitu lugu.

"Oh iya bu, betul sekali. Azza sudah menyelesaikan semua tugas dari kampus. Skripsi Azza juga sudah selesai." pungkasku.

"Syukurlah," ucap Ibu.

"Ibu ingat tidak, waktu itu Azza pernah bertanya tentang sekolah Bayu?" celetukku.

"Iya nduk. Kamu mengajar disana setelah lulus?"

"Bukan bu, Skripsi Azza dilakukan disana. Bayu juga banyak membantu waktu itu."

Bayu, adikku berusia tigabelas tahun dan duduk dibangku SMP. Aku menceritakan bagaimana skripsiku selesai kepada Ibu. Aku melakukan penelitian skripsi di kelas Bayu. Bayu sangat membantu sekali saat itu. Adik kecilku itu juga membantu menenangkan kelas saat ramai, selayaknya ketua kelas yang menyuruh anggota kelasnya untuk tenang dan patuh denganku.

"Do'a Ibu dan Ayah justru lebih banyak membantu Azza. Tanpa do'a restu dan kerja keras Ibu dan Ayah, Azza tidak akan bisa menyelesaikan ini. Terimakasih bu!" tuturku.

"Iya nduk."

"Bu, Azza minta tolong sampaikan ke Ayah ya bu" pesanku. "Mehta jangan dibawa kesini bu, Mehta masih kecil. Kasihan kalau diajak kesini. Nanti Mehta titipkan tetangga saja, bagaimana?" pintaku.

"Iya nduk. Nanti ibu titipkan sama bu Rahma. Budhe, pakdhe, bulek sama paklek biar ikut ke Jogja semua saja ya nduk."

"Iya bu tidak apa-apa. Yang terpenting tidak membawa balita. Kasihan lama menunggu diperjalanan dan disini juga acaranya akan seharian."

Seharian aku tak bepergian kemanapun. Menanti semua keluarga sederhanaku mendengar kabar wisudaku.

Ketika mentari telah berpamitan pergi. Ayah pasti sudah pulang dari sawah. Wajah tua yang keriput itu sudah sangat lelah dengan membawa cangkul dipundak kanannya, tapi akan selalu menyapa keluarga dengan senyuman hangat.

Aku menelepon Bayu lagi setelah sholat Isya dan memberikan kabar wisuda kepada Ayah.

"Assalammualaikum," sapaku lewat ponsel.

"Waalaikumsalam, nduk. Kamu sehat disana?" Jawab Ayah.

"Alhamdulillah Azza sehat yah. Ayah, ibu dan adik-adik bagaimana dirumah?"

"Kami baik–baik saja, nduk. Bagaimana kuliahmu?"

"Syukurlah. Yah, bulan depan Azza wisuda, nanti datang ya yah ke Jogja" ucapku.

"Alhamdulillah. InsyaAllah kami datang menggunakan mobil Pakdhemu, nduk."

"Siap komandan," balasku. "oh iya yah, nanti ada paketan datang ya, itu baju seragaman yang bisa dipakai untuk acara wisuda bulan depan. Azza mohon maaf sekali tidak pulang kerumah karena sekalian mengurus beberapa hal disini."

"MasyaAllah, iya nduk. Terimakasih banyak bajunya. Nanti kalau bajunya terlalu kecil Azza harus pulang dulu lho yah!" sindir Ayah.

"Wah, sepertinya ada anjuran untuk pulang ini, bukan sekedar mau menyalahkan ukuran baju," ujarku dengan nada bercanda.

"Anak ayah memang sudah tidak bisa dibohongi lagi ya, hahaha." sambut Ayah.

"Iya dong kan sudah duapuluh tiga tahun yah." protesku.

"Anak ayah sudah tua ya," ledek Ayah.

Aku terdiam tanpa kata. Terdengar suara tertawa Ayah keras sekali. Ayahku memang begitu. Tipe humoris dan hangat. Jarang sekali terlihat marah. Makanya, jika melihat Ayah marah, dunia seakan hancur. Ingin menghilang dari dunia selamanya. Amarah orang diam memang sangat menakutkan sekali.

"Sudah dulu ya nduk, ayah mau istirahat, kamu juga tidur jangan begadang terus nanti kurus." lanjut Ayah setelah berhenti tertawa.

"Iya setelah ini Azza tidur yah. Tapi Azza udah kurus yah, kalau kurusan lagi jadi jerangkong hidup, hahaha."

"Ada saja alasanmu nduk."

"Buah jatuh itu tidak jauh dari pohonnya, yah," sanggahku. "Sudah ya yah, Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam."

Wisuda sebenarnya tidak ada aturan resmi untuk menggunakan pakaian seragam dalam satu keluarga. Tapi aku suka dengan aturan tidak baku itu. Momen bahagia yang dirayakan bersama keluarga dengan corak baju senada, indah sekali rasanya.

Aku membeli sekitar tujuh baju batik, tiga baju untuk laki-laki dan empat baju untuk perempuan lengkap dengan warna jilbab yang seirama. Aku memilih warna coklat susu. Tiga baju laki-laki itu berukuran sama besar karena untuk Ayah, Bayu dan Pakdhe yang besarnya hampir sama. Sedangkan empat baju perempuan aku bagi menjadi dua bagian dengan dua ukuran sama untuk Ibu dan Budhe dan dua ukuran lain untuk dua anak perempuan Budhe.

Semoga keluarga dikampung suka dengan corak yang kupilih. Dan semoga ukurannya tidak kekecilan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bana

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku