Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
KEPINCUT PAPA MUDA

KEPINCUT PAPA MUDA

LucioLucas

5.0
Komentar
6.4K
Penayangan
72
Bab

"Anak-anak manis, kalian tidak apa-apa?" Kedua anak kembar itu mendongak, wajah mereka sudah dibasahi hujan dan air mata. Mendadak, kedua anak itu berteriak keras sambil memeluk Althea. "Mamaaaa...!!" "Wait... Mama? Siapa Mama?" "Eh, tunggu. Kalian siapa?" tanyanya bingung. "Oh, ada mamanya. Bagaimana kerja kamu jadi jadi orang tua, hah! Anak dibiarin hujan-hujan. Lihat, nih, saya hampir jatuh karena ngindarin anak itu!" Althea, seorang dokter muda mandiri yang tidak mengenal kata manja. Ia dibesarkan oleh orangtua tunggal, Mama-nya, setelah Papa-nya meninggal karena terlambat mendapat penanganan medis. Sang Papa adalah pekerja keras yang memilih meninggalkan kekayaan keluarganya dan hidup bersama Mama-nya. Setelah kepergian Sang Papa, Opa dari Papa-nya kembali datang untuk membawa Althea dan Mama-nya masuk menjadi bagian keluarga. Ketulusan dan kebaikan hati Althea dan Sang Mama membuat Opa-nya begitu menyayangi dan mempercayakan seluruh asset-nya untuk mereka kelola. Hingga di akhir hayatnya, Sang Opa mewariskan seluruh asetnya kepada keduanya. Hal ini menimbulkan konflik dengan Sang Tante serta sepupu-sepupunya. Kelembutan hati Althea membawanya bertemu dengan sepasang anak kembar yang telah ditinggal meninggal oleh Mama-nya sejak kecil. Rasa senasib karena harus hidup dengan orangtua tunggal, membuat Althea sangat memahami kesepian anak-anak itu. Terbukti dengan begitu mudahnya ia dekat dan sayangnya Althea pada kedua anak kembar – anak tetangganya itu. Kedekatannya dengan anak-anak itu membuat mereka merasa aman dan bergantung pada Althea. Siapa sangka, kasih sayangnya pada anak-anak itu membawanya pada kisah cinta yang tidak biasa namun tetap indah. Sementara itu Evander, duda keren beranak dua, tidak pernah menyangka bahwa usahanya untuk membentengi diri dari wanita demi anak-anaknya, justru dibuat kembali merasakan jatuh cinta seperti anak remaja oleh seorang wanita unik. Kisah cinta mereka tidak semulus jalan tol, juga tidak secantik taman bunga, tapi cukup menggemaskan dan penuh tantangan.

Bab 1 KPM - 1

Surabaya di pagi hari, sekalipun cuaca cerah dan udara masih menyisakan kesegarannya. Langit terlihat biru dengan gumpalan lembut berwarna putih yang menggantung serta sinar matahari yang menghangatkan. Masih pukul 07.00, belum terlalu siang namun geliat kota sudah mulai tampak.

Di sisi Barat kota, ada komplek perumahan sederhana yang umum dihuni para pekerja industry. Memang di wilayah Barat kota ini masih berbatasan langsung dengan kawasan industry yang padat di kabupaten tetangganya. Komplek perumahan sederhana yang berada di ujung Barat kota, dengan fasilitas kesehatan yang masih kurang, karena untuk mencapai Rumah Sakit terdekat saja membutuhkan waktu 30 menit berkendara dengan kecepatan tinggi.

Tepat di depan gerbang perumahan, berdiri sebuah bangunan berarsitektur modern minimalis dengan dominasi warna putih. Pada pintu masuk terdapat papan nama besar yang menunjukkan nama sebuah Klinik Kesehatan. Sebuah klinik sosial yang Althea dirikan bersama beberapa temannya, sederhana saja dan melayani pasien-pasien yang tidak memiliki biaya.

Pasien mulai berdatangan baik anak-anak maupun lansia, siap untuk mendapat perawatan tanpa memikirkan biaya yang besar. Klinik ini adalah impian Althea sejak kecil, tepatnya sejak Papanya meninggal tanpa mendapatkan perawatan karena keterbatasan biaya. Dan takdir berkata lain, setahun sejak kematian Papanya, Opa dari pihak Papanya yang tidak pernah ia kenal sebelumnya hadir dalam kehidupannya dan merubah seluruh jalan hidupnya.

Kembali ke masa kini. Di bagian depan bangunan berlantai tiga ini, terdapat beberapa kursi panjang yang disediakan untuk para pasien yang menunggu giliran diperiksa. Dilengkapi dengan meja pendaftaran dan sarana pendaftaran yang lengkap, membuat antrian tidak perlu menunggu lama.

Beberapa pasien yang sudah mendapatkan nomor pemeriksaan sedang duduk di depan beberapa ruang periksa, dan beberapa yang lain di antaranya sedang melakukan pengecekan tekanan darah dan timbang badan di meja depan ruangan dokter.

Klinik itu dibangun dari hasil patungan Althea – yang disponsori oleh sang Opa – dan tiga orang temannya yang sama-sama bersekolah di bidang kedokteran. Mereka sudah berkawan karib sejak awal pendidikan kedokteran di Kota Pahlawan itu. Althea sendiri adalah seorang Dokter Spesialis Anak. Ia dan teman-temannya memilih menjadi seorang tenaga medis relawan di Klinik itu, selain menjalani dinas di Rumah Sakit Swasta ternama di wilayah barat kota.

Althea duduk sambil menegakkan punggung, menatap wanita awal pertengahan yang datang bersama sepasang anak di depannya. Keduanya berusia kisaran awal 20-an tahun. Tatapan kesal ia layangkan ke mereka bertiga bergantian. Saat ini prakteknya sedang ramai, dan ia kehilangan banyak waktu karena ketiga tamunya. Sebenarnya, bisa saja Althea mengabaikan tamu-tamunya ini, sayangnya, ia tidak suka ada keributan.

"Kamu harus bantu gugurin janin ini!" Si wanita itu berkata dingin dan angkuh. "Kamu pasti kenal sama Dokter Kandungan di sini kan!"

Althea mengangkat bahu. "Nggak tahu."

"Apa katamu?" Wanita itu melotot. "Ingat, ya! Kamu bisa jadi Dokter begini itu karena uang Papaku. Kamu harusnya tahu diri! Kamu dan Mamamu itu sama saja, nggak punya malu!"

Althea bangkit dari kursi dan bersedekap. "Aku nggak peduli kalian mau ngomong apa. Aku bisa jadi Dokter karena karena beasiswa, bukan karena uang Opa. Asal kalian tahu selama ini Mama aku yang telah merawat Opa sampai tutup usia, kemana kalian saat Opa masih ada? Datang untuk meminta warisan, hah!"

"Hah, emang bener, ya, gosip. Kalau anak perempuan yang dibesarkan sama Ibu dari panti asuhan itu, emang suka jelek sikap sama sifat. Buktinya sekarang! Jelas-jelas kami cucu kandung Opa, tapi selalu kamu persulit kalau kami butuh sesuatu. Padahal kamu bisa masuk Universitas itu kan karena uang dan koneksi Opa!" Si anak perempuan membuka suara dengan lantang.

Althea tersenyum kecil, mengabaikan hinaan itu. la sudah terbiasa diperlakukan kasar setiap kali bertemu mereka. Selama ini, ia selalu sabar karena mamanya yang meminta. Kini, ia sendirian dan tidak akan menyerah begitu saja. Tante dan para sepupunya ini memang tidak pernah bersikap baik, bahkan sejak dahulu ketika kakeknya masih ada. Mereka menganggap ibunya-lah yang telah mempengaruhi sang ayah untuk meninggalkan keluarga mereka, dan memilih hidup sederhana dengan ibunya.

"Opa kamu, Opa aku juga. Beliau tetap orangtua Papa aku, sekalipun kalian menentang pernikahan Papa dan Mama. Selama Opa hidup kalian hanya berfoya-foya, nggak peduli pada kesehatan Opa! Mama aku yang telah merawat Opa, sejak kami dibawa kembali ke rumah besar! Jadi, salah siapa kalau Opa lebih mempercayakan warisannya pada kami?" Althea berkata tegas dan penuh penekanan.

Mereka terdiam tapi tidak ada yang beranjak. "Selama belasan tahun ini, Mama aku berjuang sendirian tanpa bantuan kalian. Kalian hidup enak menggunakan uang Opa, dan baru datang setelah Opa mencabut hak waris kalian. Sekarang, anak perempuan kamu hamil nggak ada suaminya, trus mau minta aku carikan tukang gugurin kandungan? Gila aja kalian!"

Si anak laki-laki yang semula terdiam, berdehem membenahi kera kaosnya dan maju. "Kak, tolong jangan emosi dulu. Mari kita bicarakan masalah ini baik-baik."

"Clay! Tutup mulut kamu! Dia itu lagi ngehina-hina kita, ko kamu malah manggil dia, Kak sih." Si anak perempuan menarik lengan kaos adiknya. "Mundur, biar aku yang hadapi Perempuan ini."

Dua gadis itu kini berdiri berhadapan, Althea menolak untuk tunduk pada perempuan yang tingginya beberapa centi di bawahnya itu. Susah payah ia berjuang mengejar beasiswa dan menjadi mahasiswa berprestasi. Ia bangun karir Dokternya dengan keringat dan air matanya. la tidak akan melanggar sumpah Hipokrates-nya, sekalipun berada di bawah ancaman keluarganya. Meskipun mereka yang berdiri di depannya ini tidak pantas disebut sebagai keluarga.

"Mau apa, kamu, hah? Ngajak rebut di sini?" la meraih pergelangan tangan dan mengikat rambutnya. "Sebaiknya, kalian pergi sebelum security dan teman-teman aku datang!"

"Aku nggak takut!"

"Calista! Tahan diri!"

Sang ibu maju, menarik anak perempuannya dan berdiri berhadapan dengan Althea. Wanita itu tersenyum mengejek.

"Kamu tahu nggak, Opa bilang apa soal kamu? Katanya, kamu dan mama kamu yang nggak jelas asal usulnya itu yang tidak pernah diterima dalam keluarga besar kami! Kamu tidak tahu itu, 'kan? Mama kamu menikah dengan Papa kamu tanpa restu Opa, saat Opa tahu ia mengusir Papa kamu dari keluarga kami. Jadi, kamu masih anggap Mama kamu perempuan baik-baik? Kamu salah!"

Althea mengepalkan tangan, merasa geram. Tidak masalah mereka mau menghinanya soal apa, tapi ia tidak akan terima kalau menyangkut Mamanya. Lagipula itu adalah masa lalu, Opa bahkan sudah meminta maaf langsung kepadanya dan Mamanya di depan makam sang Papa. Dahulu memang Opa tidak setuju dengan pernikahan Papa dan Mama, namun kemudian Opa menyesal dan mencari keberadaan mereka meskipun terlambat untuk bertemu Papa kembali.

"Keluar kalian dari sini, atau aku panggilkan security!"

"Kamu berani sama kami!" Calista berteriak.

"Kenapa nggak? Maju barengan, biar sekalian bonyoknya!"

Althea menekuk kaki, siap-siap untuk memukul. Pintu ruangan terbuka, seorang pria berpotongan tegap dan berambut cepak datang dan menatap mereka dengan menaikkan sebelah alis.

"Kalian berisik sekali, di luar lagi banyak pasien. Dokter Althea, aku sudah panggil polisi dan sedang dalam perjalanan kemari."

"Maa, kita pulang." Clay menarik tangan mamanya. "Jangan sampai dibawa ke kantor polisi lagi. Ayo!"

Rania menggeram marah, menatap Althea penuh dendam. "Aku akan datang lagi, sampai kamu mau nurutin perintah aku! Camkan itu, Jalang!"

Althea melotot. "Aku tidak akan kalah sama tukang ribut macam kalian, dasar freak!"

Clay menarik tangan sang mama dan kakaknya untuk segera angkat kaki. Masih dengan menggumamkan sumpah serapah, mereka meninggalkan klinik itu. Clay memberikan senyuman canggung dan menundukkan kepala sebagai bentuk pamitnya pada sang kakak sepupu.

Sepeninggal mereka, Althea terduduk di kursi kerjanya dan mengusap wajah. Mood-nya memburuk setelah bersitegang dengan tante dan sepupunya. Bukan kali ini saja mereka bersitegang untuk masalah-masalah sepele, hanya saja kali ini berbeda kondisinya.

"Sudah tahu bakalan berantem. Ngapain masih mau ditemuin Dok?" ucap si pria tadi yang ternyata anggota security di klinik itu.

"Aku juga nggal tahu bakalan gini. Sial! Mereka ngata-ngatain Mama aku lagi."

"Dokter nggak percaya gitu aja kan?"

Althea menatap pria itu lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu, tapi kenyataannya emang Papa Mama aku menikah tanpa restu, tapi itu dulu. Sekarang bahkan almarhum Opa sudah meminta maaf langsung kepada kami. Aku butuh minum."

la membuka lemari pendingin di ruangan itu dan meraih sebotol air mineral dingin, bangkit dari kursi kerjanya menuju jendela ruang kerjanya yang tidak tertutup. Ia membiarkan cairan dingin itu mengalir dalam tenggorokannya, mendinginkan perasaannya yang memanas setelah pertemuan dengan keluarganya tadi.

"Mama Dokter bagaimana?" tanya pria itu.

"Mama aku jauh lebih kuat, beliau yang meminta aku untuk selalu sabar menghadapi orang-orang itu. Sejak kecil Mama sudah terbiasa menerima perlakuan kasar tante, anehnya kalau ada Opa tante nggak akan bersikap kasar sama Mama"

Pria itu menghampiri Althea dan berucap dengan nada menghibur. "Jangan sedih lah, Dok. Dokter itu nggak cocok kalau jadi orang sedih."

Beranjak meninggalkan ruangan, pria itu membalikan badan karena teringat sesuatu. "Oya Dok, nanti malam ada jamuan makan malam para Dokter. Di Roof Top Resto Hotel Whestern. Undangan Dokter aku titipkan ke Dokter Gania tadi."

Althea menoleh. "Perasaan tiap mau weekend selalu ada yang mengundang makan malam, siapa lagi kali iní?"

"Dokter Diana. Beliau syukuran pengangkatan Dokter Spesialis THT di Rumah Sakit Mitra Sehat, kami juga tadi dapat bingkisan syukuran Dok. Dokter nanti tinggal datang buat berseneng-seneng. Dokter Tamara dan Dokter Yolanda juga mau ikut. Banyak Dokter Muda juga katanya Dok."

Althea mengangguk, menandaskan air putihnya sampai habis lalu bersiap kembali untuk menerima pasien selanjutnya. Prakteknya saat ini sedang ramai, polusi udara sangat buruk sehingga banyak anak yang terserang ISPA. la tidak akan membiarkan mood-nya lebih rusak setelah bertemu dengan tante dan kedua sepupunya, karena banyak anak yang membutuhkan bantuannya.

Sayangnya, niat tidak sejalan dengan kenyataan. Ucapan sang tante, Rania, yang mengatakan kalau Mamanya bukan wanita baik-baik, benar-benar membuatnya sakit hati dan sedih secara bersamaan. Ia tidak perlu mencari pembenaran, karena baginya sejak Opa menemukan mereka dan meminta maaf langsung, masa lalu diantara mereka sudah selesai. Ucapan Rania yang menari-nari di dalam pikirannya, coba ia lupakan.

Untunglah, masih ada jamuan makan malam ini untuk didatangi, setidaknya ia bisa menghabiskan waktu dengan bersenang-senang dan menambah kolega Dokternya. Mungkin itu adalah cara terbaik untuk melupakan tentang kekesalan dan kekecewaan yang ia alami. Ia mengepalkan tinjunya dan bersumpah untuk menikmati malam ini dengan sepenuh hati.

la akan mengenakan pakaian terbaiknya dan berangkat ke jamuan makan malam. la mengobrol dan bersenda gurau dengan teman-temannya. Semakin banyak topik obrolan yang mereka bicarakan, semakin jauh ia merasa dari kegagalan dan kesedihannya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh LucioLucas

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku