/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
Langit Jakarta memudar menjadi rona jingga dan ungu, bias cahaya senja menembus jendela apartemen yang selama ini Naira sebut rumah. Di balik tirai tipis, hiruk pikuk kota perlahan mereda, namun di dalam hati Naira, badai emosi justru baru saja dimulai. Sudah sembilan tahun berlalu sejak ia mengikat janji suci dengan Danang, seorang duda beranak satu. Sembilan tahun. Angka itu terngiang di benaknya, setiap digitnya mengukir luka dan kekecewaan yang kian mendalam.
Naira bukan gadis yang mengharapkan kemewahan atau popularitas. Ia hanya mendambakan sebuah keluarga-tempat di mana ia bisa mencurahkan cinta, merasa aman, dan dicintai kembali. Ketika ia bertemu Danang, seorang pria yang tampak matang dan bertanggung jawab, dengan tatapan sendu dari putranya, Arka, yang baru berusia tiga tahun, hati Naira langsung tergerak. Ada semacam panggilan batin, sebuah naluri keibuan yang tak terbantahkan, yang mendorongnya untuk melangkah maju. Ia melihat potensi kebahagiaan, secercah harapan untuk membangun fondasi yang kuat di atas puing-puing masa lalu mereka.
Pernikahan mereka, bagi Naira, adalah sebuah komitmen suci yang diemban dengan sepenuh jiwa. Ia tak hanya menikahi Danang, ia juga menikahi seluruh paket kehidupan Danang, termasuk putranya. Sejak hari pertama, Naira telah memutuskan untuk menjadi ibu terbaik bagi Arka. Ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan kesukaan Arka, memilihkan pakaian, mengantar-jemput sekolah, menemani belajar, bahkan mendongeng sampai Arka tertidur pulas. Setiap batuk kecil Arka membuatnya panik, setiap demam Arka membuatnya terjaga semalaman. Ia membelikan Arka mainan, buku cerita, dan segala sesuatu yang bisa membuat senyum mungil itu merekah. Naira selalu ada, selalu siap, selalu mencintai tanpa syarat. Ia bahkan rela mengesampingkan mimpinya sendiri, ambisinya yang dulu begitu membara di bidang desain grafis, demi fokus sepenuhnya pada perannya sebagai istri dan ibu tiri.
Namun, pengorbanan sebesar itu tak pernah berbalas. Seiring waktu, Naira mulai merasakan dinding tak kasat mata yang semakin menebal di antara dirinya dan keluarga barunya. Danang, yang dulu tampak begitu perhatian dan penuh harapan di awal pernikahan, perlahan berubah. Senyumnya kian jarang terukir untuk Naira. Tatapannya, jika pun bertemu, terasa hampa, seolah Naira hanyalah bayangan yang melintas. Percakapan mereka menjadi formal dan transaksional, berputar di sekitar tagihan, jadwal Arka, atau keperluan rumah tangga. Tak ada lagi obrolan hangat tentang hari mereka, impian masa depan, atau sekadar lelucon ringan yang dulu sering membuat Naira tertawa lepas. Helaan napas Danang ketika Naira mencoba memulai topik yang lebih personal terasa seperti tamparan dingin, mengisyaratkan ketidaknyamanan atau bahkan kebosanan.
"Sudah malam, Naira. Aku lelah," adalah kalimat yang sering ia dengar ketika Naira mencoba mendekat, entah untuk memeluk atau sekadar meraih tangannya. Keintiman fisik hampir lenyap sama sekali, dan keintiman emosional telah lama mengering. Naira merasa seperti patung hidup di rumahnya sendiri, di samping suaminya sendiri.
Lebih menyakitkan lagi adalah sikap Arka. Anak yang Naira rawat dengan sepenuh hati, yang ia gendong ketika sakit, yang ia temani tidur ketika takut gelap, tumbuh menjadi remaja yang dingin dan acuh tak acuh. Arka kini berusia dua belas tahun, di ambang masa remaja, namun sikapnya kepada Naira tak pernah berubah, bahkan cenderung memburuk. Ia jarang menatap mata Naira, jawabannya seringkali hanya anggukan atau gelengan kepala. "Ya," "Tidak," "Terserah," adalah kata-kata yang paling sering keluar dari mulutnya saat berbicara dengan Naira. Ia lebih sering mengunci diri di kamar, bermain game, atau berbicara di telepon dengan teman-temannya. Jika terpaksa berinteraksi, Arka akan mengeluarkan daftar permintaan-makanan kesukaannya, uang jajan tambahan, atau izin untuk keluar. Tak ada ucapan terima kasih, tak ada senyum tulus, apalagi pelukan. Naira tahu, Arka tak pernah menganggapnya sebagai ibu. Baginya, Naira hanyalah orang dewasa yang kebetulan ada di rumah, semacam pengurus rumah tangga berbayar tanpa gaji.
Pernah suatu kali, Naira mencoba membahas hal ini dengan Danang. "Danang, aku merasa Arka semakin jauh. Apa ada yang salah denganku? Atau mungkin kita bisa bicara dengannya bersama?" tanyanya lembut, penuh harapan.
Danang hanya mengangkat bahu tanpa menoleh dari layar laptopnya. "Namanya juga anak-anak, Naira. Remaja. Nanti juga berubah sendiri."
"Tapi dia bahkan tidak pernah mau makan malam bersama kita, Danang. Dia tidak pernah bercerita apa pun padaku," Naira mencoba lagi, suaranya sedikit bergetar.
Danang menghela napas panjang, akhirnya menoleh, namun tatapannya tak mengandung simpati. "Sudahlah, Naira. Jangan dilebih-lebihkan. Arka baik-baik saja. Kamu ini terlalu perasa."
Kalimat itu, "Kamu terlalu perasa," adalah mantra yang sering digunakan Danang untuk membungkam setiap keluhan, setiap rasa sakit yang Naira coba utarakan. Seolah-olah perasaannya tidak valid, seolah-olah ia berlebihan. Perlahan, Naira belajar untuk menelan setiap rasa sakitnya sendiri, menyimpannya di dalam peti rahasia di sudut hatinya yang terdalam.
Setiap malam, Naira akan duduk di tepi ranjang, menatap bayangannya di cermin. Mata yang dulu memancarkan cahaya kini terlihat lelah, kantung mata menghitam, dan senyum yang dulu sering menghiasi bibirnya kini terasa asing. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri, "Apa yang salah denganku? Apa aku tidak cukup baik? Kenapa cinta yang kuberikan tak pernah kembali?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar, menggerogoti harga dirinya sedikit demi sedikit.
Terkadang, ia mencoba mencari alasan. Mungkin Danang sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin Arka sedang dalam fase remajanya. Mungkin ia hanya harus lebih bersabar, lebih berusaha. Namun, waktu terus berjalan, bulan berganti tahun, dan tidak ada perubahan. Hanya ada pengabaian yang semakin pekat, seolah Naira adalah furnitur usang di rumah itu, yang keberadaannya hanya disadari saat dibutuhkan, lalu dilupakan kembali.
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Naira bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Danang dan Arka: roti bakar, telur orak-arik, dan jus jeruk segar. Ia meletakkannya di meja makan yang rapi, dengan piring dan gelas yang tersusun apik. Kemudian, ia membangunkan Arka.
"Arka, bangun, sayang. Sarapan sudah siap," Naira memanggil lembut dari ambang pintu kamar Arka yang terbuka sedikit.
Arka hanya menggeliat di balik selimut. "Nanti," gumamnya.
Naira masuk perlahan, duduk di tepi ranjang. "Ayolah, nanti terlambat sekolah. Ada telur orak-arik kesukaanmu."
"Nggak selera," jawab Arka tanpa membuka mata.
Hati Naira mencelos, namun ia berusaha tersenyum. "Setidaknya minum jusnya, ya? Atau mau Mama bawakan ke kamar?"
"Nggak usah. Aku nanti ambil sendiri," Arka akhirnya membuka mata, menatap Naira sekilas dengan tatapan kosong, lalu kembali memejamkan mata.
Naira menghela napas. Ia tahu artinya "nanti ambil sendiri" berarti Arka tidak akan menyentuh sarapan yang ia siapkan. Sama seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Ia keluar dari kamar Arka dengan langkah gontai, melewati Danang yang sudah rapi dengan setelan kantornya, membaca koran di meja makan.
"Arka belum bangun?" tanya Danang, tanpa menoleh dari koran.
"Sudah, tapi dia bilang tidak selera makan," jawab Naira, berusaha menahan kekecewaan dalam suaranya.
"Anak itu memang begitu. Jangan terlalu dipikirkan," Danang menyeruput kopinya.
Naira hanya diam. Ia mengambil piring Danang yang sudah kosong, mencucinya, lalu membersihkan meja. Tak ada ucapan terima kasih dari Danang, tak ada tatapan apresiasi. Seolah-olah semua itu adalah kewajibannya yang tak perlu dibalas dengan apa pun.
Malam yang Mengerikan
Kehidupan Naira terus bergulir dalam rutinitas yang monoton, diwarnai oleh kebisuan dan ketidakpedulian. Ia menghabiskan hari-harinya mengurus rumah, menunggu Danang pulang, dan sesekali mencoba mendekati Arka yang semakin tertutup. Senyumnya pudar, tawanya jarang terdengar, dan matanya semakin sering menatap kosong ke kejauhan.
Puncaknya tiba pada suatu malam, malam yang akan menghantuinya selamanya. Hari itu adalah hari kerja yang panjang bagi Danang, dan Arka sedang menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Naira sendirian di apartemen yang luas itu. Ia merasa sedikit lega bisa menikmati keheningan, meskipun keheningan itu seringkali justru memperkuat rasa kesendiriannya.
Sekitar pukul sebelas malam, saat Naira sedang membaca buku di ruang tamu, ia mendengar suara ketukan keras di pintu depan. Jantungnya berdebar. Siapa yang datang selarut ini? Danang biasanya pulang dengan kunci sendiri, dan ia tidak sedang menunggu siapa pun.
"Halo? Siapa di sana?" panggil Naira ragu, mendekati pintu.
Tidak ada jawaban, hanya ketukan yang semakin keras, disertai suara geraman rendah. Firasat buruk menyelimutinya. Ia meraih ponselnya, berniat menghubungi Danang, namun saat tangannya menyentuh gagang pintu, pintu itu tiba-tiba terbuka paksa dengan suara berdebam keras.
Seorang pria besar dan berbau alkohol berdiri di ambang pintu, matanya merah menyala. Wajahnya asing, namun Naira mengenali seragam kurir yang dikenakannya, meskipun sudah compang-camping. Pria itu adalah kurir yang tadi siang mengantarkan paket untuk Danang, yang sempat Naira tegur karena terlalu lama memarkir motornya di depan pintu.
"Jadi ini rumahmu, ya, Nona sombong?" Pria itu menyeringai, menunjukkan gigi kuningnya. "Tadi siang sok berani melarang-larang saya, sekarang rasakan!"
Naira terkesiap, mundur selangkah demi selangkah. Ketakutan merayap di seluruh tubuhnya. "Anda mau apa? Keluar dari rumah saya! Saya akan panggil polisi!" teriaknya, suaranya bergetar hebat.
Pria itu tertawa mengejek, lalu melangkah maju, mendorong Naira hingga ia terhuyung dan terjatuh di lantai marmer ruang tamu. Ponselnya terlepas dari genggaman, terlempar jauh. "Panggil polisi? Sebelum itu, mari kita bersenang-senang dulu, Nona."
Naira merangkak mundur, berusaha menjauh dari pria itu, namun tangannya ditarik paksa. Pria itu mencengkeram pergelangan tangannya, menyeretnya dengan kasar. Rasa sakit menjalar di lengan Naira, namun rasa takut jauh lebih besar. Ia berteriak, berontak, dan mencoba menendang.
"Tolong! Tolong!" teriak Naira sekuat tenaga. Ia tahu apartemen mereka cukup terisolasi, tetangga jarang ada yang dekat, namun ia tetap berteriak, berharap ada keajaiban.
Pria itu menyeretnya ke arah kamar tidur. Naira melawan sekuat tenaga, kuku-kukunya mencakar lengan pria itu, ia menggigit tangannya, namun tak ada gunanya. Kekuatan pria itu jauh melebihi dirinya. Bajunya robek, rambutnya acak-acakan. Air mata membasahi pipinya, bercampur dengan ketakutan yang mencekam.
Dalam keputusasaan yang luar biasa, terlintas di benak Naira bahwa ia harus menghubungi Danang. Danang adalah suaminya, pelindungnya. Ia adalah ayah dari Arka. Ia pasti akan datang menolongnya. Dengan sisa tenaga, Naira berteriak ke arah pintu yang terbuka, "Danang! Arka! Tolong! Siapa pun!"
Ia bahkan berhasil merangkak menuju telepon rumah yang ada di lorong. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor Danang. Nada sambung berbunyi, berulang kali, namun tidak ada jawaban. Naira terus mencoba, mencoba nomor Danang, lalu mencoba nomor Arka. Di tengah serangan yang mengerikan itu, ia melihat ponselnya sendiri, yang terlempar tak jauh, layarnya menyala, menunjukkan panggilan masuk dari Danang. Ia mencoba meraihnya, namun pria itu menendang ponselnya, menjauhkannya.
"Tidak ada yang akan menolongmu, Nona!" Pria itu tertawa kejam. "Suamimu itu tidak peduli, dan anak itu pasti sedang sibuk bermain."
/0/25076/coverorgin.jpg?v=12001f1cee1d32f57b78dd7e7ed03466&imageMogr2/format/webp)
/0/3113/coverorgin.jpg?v=e760d12db1e35bdd078df92d01953442&imageMogr2/format/webp)
/0/2578/coverorgin.jpg?v=ad31ffd413ad0812791fe8faddb2fba3&imageMogr2/format/webp)
/0/3932/coverorgin.jpg?v=0e554cf90326848b7e7e02c72af4a172&imageMogr2/format/webp)
/0/14584/coverorgin.jpg?v=20250123120138&imageMogr2/format/webp)
/0/27010/coverorgin.jpg?v=86da652b394a41adaee1da3a56cac712&imageMogr2/format/webp)
/0/29161/coverorgin.jpg?v=15008b67ea5914b9bcf64e0b495c70e6&imageMogr2/format/webp)
/0/18161/coverorgin.jpg?v=20240531182228&imageMogr2/format/webp)
/0/5943/coverorgin.jpg?v=20250121171904&imageMogr2/format/webp)
/0/13466/coverorgin.jpg?v=20250123145256&imageMogr2/format/webp)
/0/24383/coverorgin.jpg?v=72ed771d7958beee676123b9e7ed4c83&imageMogr2/format/webp)
/0/24906/coverorgin.jpg?v=20250627182916&imageMogr2/format/webp)
/0/27202/coverorgin.jpg?v=20251019182513&imageMogr2/format/webp)
/0/12383/coverorgin.jpg?v=13a484c9a1f813a631c3a02ead7dde9f&imageMogr2/format/webp)
/0/18382/coverorgin.jpg?v=20250327150949&imageMogr2/format/webp)
/0/27693/coverorgin.jpg?v=e2f84f3599fbcdd647ee2cff4ce0cd7e&imageMogr2/format/webp)
/0/15607/coverorgin.jpg?v=4ea4412a0db5cc7531fe9cbac6180c61&imageMogr2/format/webp)
/0/24262/coverorgin.jpg?v=d429ea85c8fd7e620072a4fd1bb1787e&imageMogr2/format/webp)
/0/25081/coverorgin.jpg?v=20250909182432&imageMogr2/format/webp)
/0/29180/coverorgin.jpg?v=37718d569ab1621ce3b76543300ebe2c&imageMogr2/format/webp)