Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Rumah mungil itu hanya dihiasi cahaya lilin. Tak ada lampu penerangan, karena pemilik rumah tak mempunyai cukup uang untuk membeli token listrik. Untungnya dia memiliki tetangga yang baik hati, bersedia memberikan air dua ember besar, untuk bekal memasak dan mandi. Karena listrik mati, otomatis mesin air pun tak menyala.
Tetangganya sudah sangat baik beberapa kali memberikan pinjaman uang untuk membeli listrik ataupun yang lainnya. Hanya saja ia tak mau terlena dengan bantuan tetangga kanan kirinya. Meskipun janda dengan seorang anak yatim, ia tetap harus bisa mandiri, tidak ingin menyusahkan orang lain.
"Mama...susu!" pinta sang putri yang berusia dua tahun, kini terbaring lemah karena badannya panas.
"Sebentar ya, Dek. Mama buatkan, ade di sini aja ya, ga usah ikut ke dapur," ujar Tara pada putrinya.
" Tapi delap," cicit Sofia, nama balita itu.
" Ade'kan hebat, di sini saja ya."
Sofia mengangguk tapi tatapannya tak lepas dari mamanya yang berada di dapur. Anak seusia Sofia pasti takut jika mati lampu. Sofia tiduran di bangku ruang tamu karena masih sore sebenarnya, masih jam tujuh malam. Ia belum mengantuk, hanya saja kepalanya sakit dan dia sedikit demam. Tara kembali dari dapur dan memberikan susu pada Sofia. Balita cantik itu meminumnya dengan cepat.
"Uueekk...." Sofia tiba-tiba memuntahkan semua susu yang baru saja habis dia minum. Tara kaget dengan sigap memijat punggung Sofia agar semua muntahnya keluar. Setelah itu Tara ke dapur untuk membersihkan muntahan anaknya.
Air matanya menetes. Obat demam anaknya tersisa sekali lagi untuk diminum malam ini, untuk besok ia tak punya persediaan obat.
" Maaf mama." ucap anaknya pelan. Tara tersenyum dikeremangan cahaya lilin.
"Ga papa kok sayang, kan Fia lagi sakit." Tara menenangkan. Sambil memijat kaki anaknya menceritakan tentang hewan kesukaan anaknya yaitu kelinci.
****
"Mas... Mbak Tara ga kita kabari dulu, kalau kita mau ke rumahnya?" tanya Meilisa pada suaminya.
"Ga usah Dek, dadakan saja. Nanti malah dia repot nyiapin ini itu, kasian," ujar Henry Zakaria, suami dari Meilisa. Atau biasa dipanggil Zaka.
Zaka melajukan mobilnya dengan pelan saat memasuki pelataran perumahan. Terlihat beberapa anak-anak main di jalanan depan rumah mereka.
"Sudah rame ya Mas. Padahal waktu almarhum Rahman baru membeli rumah di sini, masih sepi," komentar Mei pada suaminya.
" Iya De, namanya rumah murah, cepetlah diserbu orang." sahut suaminya, kini memasuki blok N menuju rumah janda temannya.
"Mas kok gelap rumahnya mba Tara?"
"Eh..iya, orangnya pergi kali ya."
"Tapi itu sepedanya ada, ada cahaya lilin juga kayaknya, " sahut istrinya. Zaka memarkirkan mobil sedannya tepat di depan rumah Tara. Mereka turun dengan tergesa. Samar-samar terdengar suara Tara yang sedang mendongengkan kisah untuk anaknya.
"Assalamualaikum," seru Zaka dan Mei
"Wa'alaykumussalam," sahut Tara berdiri dari duduknya dan membuka pintu.
" Eh...Mbak Mei, Mas Zaka. Ayo masuk!" ajak Tara canggung karena rumahnya gelap sendiri, sedangkan tetangga kanan kirinya lampu rumahnya menyala.
Zaka dan Mei duduk menatap Fia yang sedang terbaring lemah.
"Fia sakit, Nak?" tanya Zaka. Anak itu mengangguk.
"Sakit apa Fia, Mbak Tara?" tanya Mei saat Tara kembali dari dapur dengan membawa dua cangkir teh dia atas nampan.
" Mungkin masuk angin, Mbak. Ayo diminum!"
" Maaf ya, minum dalam gelap-gelapan." Tara nyengir kuda untuk menutupi rasa malu dan sedihnya.
"Kenapa gelap-gelapan Mbak?" tanya Mei.
"Mama da ada uit bi listik." oceh Fia sambil memegang bonekanya.
"Fiaaa..." Tara menginterupsi ucapan anaknya.
Zaka dan Mei terhenyak, ga menyangka bahwa janda temannya ini begitu kesulitan keuangan. Tampak Zaka mengeluarkan ponselnya, menatap istrinya seakan meminta izin. Mei mengangguk.
"Berikan nomor token listriknya Mbak!" ucap Zaka.
" Eh..ga usah jadi ngerepotin Mas, besok saya baru mau beli." Tara salah tingkah, bingung sendiri harus bagaimana lagi.