Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Perselingkuhan Panas, Aku Dan Majikanku

Perselingkuhan Panas, Aku Dan Majikanku

Wafiq.K.A

5.0
Komentar
150
Penayangan
14
Bab

"Yun, maaf saya boleh minta tolong sama kamu gak?" "Minta tolong apa, Pak? Ya ampun, Pak. Wajah Bapak pucat sekali." "Iya, Yun. Perut saya kembung, sepertinya saya masuk angin. Saya boleh gak minta tolong kamu buat kerokin saya?" "E... Tapi, Pak. Sa-saya..., Anu...," "Kamu keberatan ya, Yun? Ya sudah, nggak apa-apa kalau kamu memang nggak bisa. Saya nggak bakalan paksa kamu, saya paham kok, Yun." "Memangnya Ibu kemana, Pak?" "Biasalah, Yun. Kemana lagi, Ibu sedang arisan dengan teman-temannya. Palingan pulangnya juga tengah malam, lagian kalau kamu tahu sendiri kan kalau saya dan Ibu sedang nggak baik-baik saja?" "Ah, iya saya mengerti, Pak. Um ya sudah, kalau begitu saya bantu kerokin ya, Pak. Saya kasihan sama Bapak. Emp, Bapak mau kerokan dimana, Pak?" "Kalau di kamar saya, kamu keberatan gak, Yun?" Deg!

Bab 1 Episode 1 : Suami Yang Selalu Dicampakan

"Sayang, kamu sudah tidur, ya?" Ares mencoba membangunkan sang istri dengan suara yang sangat lemah lembut di tengah malam. Namun sang istri hanya bergumam rendah, seraya menepis tangan Ares dari bahunya dengan sedikit kasar.

"Apaan sih, Mas! Aku ngantuk!" gumam Wulan sambil berdecak kesal, tetapi sepasang matanya yang masih terpejam.

"Mas lagi kepengen, kamu bisa 'kan layani Mas malam ini? Sebentar saja, please." pinta Ares dengan nada memohon dan selembut mungkin.

Wulan langsung membuka matanya, ia mendelik sinis ke arah sang suami, kemudian ia pun langsung beringsut duduk dengan ekspresi yang terlihat kesal.

"Kamu tuh jadi suami nggak pengertian sama sekali, ya! Aku tuh capek, Mas! Kamu tahu kan kalau seharian ini aku banyak sekali sesi pemotretan? Aku butuh istirahat, dan besok aku harus kerja lagi! Aku tuh nggak mau kalau aku sakit gara-gara kurang tidur! Ngerti?!" tutur Wulan dengan sengit.

"Mas kan sudah pernah bilang sama kamu untuk berhenti bekerja, apa penghasilan yang Mas dapatkan selama ini kurang untuk kamu, hem?" Ares berbicara dengan penuh kesabaran.

"Ini bukan tentang uang, Mas! Ini tentang mimpiku dan segalanya! Jadi kamu gak berhak untuk mengatur-atur pekerjaan aku! Sudahlah, aku capek! Aku nggak mau berdebat sama kamu! Aku mau tidur!" Wulan yang jengkel pun kembali merebahkan diri di atas tempat tidur, tetapi dengan posisinya yang masih memunggungi Ares.

"Iya, Mas ngerti, kalau kamu memang nggak mau melayani Mas ya sudah, nggak apa-apa kok. Maafin Mas ya karena Mas malah ganggu tidur kamu." Ares meminta maaf dengan setulus hati, namun Wulan sama sekali tak menanggapi dan memilih untuk tidur kembali dengan perasaan yang masih jengkel pada sang suami.

Saat itu, Ares hanya bisa menghela nafas pendek dan ia pun kembali merebahkan dirinya di atas tempat tidur dengan hati yang lapang. Ares menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang teramat miris, sambil sesekali melirik punggung Wulan yang selalu membelakanginya ketika sedang tidur bersamanya.

Wulan memang selalu bersikap dingin padanya, selama tiga tahun membina rumah tangga, sang istri memang tak pernah berubah. Ares sadar bahwa pernikahan yang ia bina selama ini karena sebuah perjodohan. Tetapi meskipun demikian, ia sangat begitu sayang pada Wulan. Meskipun ia tahu bahwa kenyataan yang sebenarnya Wulan mungkin belum bisa mencintainya sebanyak ia mencintai Wulan selama ini.

Bahkan untuk berhubungan intim pun Ares harus meminta izin lebih dulu pada sang istri, dan itu juga belum tentu ia akan mendapatkannya. Mungkin karena itulah mereka sampai sekarang belum bisa dikarunia seorang anak.

Dan selama tiga tahun ini, Ares memang sangat kurang mendapatkan nafkah batin dari sang istri dan juga sangat kurang mendapatkan perhatian darinya. Bahkan hubungan intim yang pernah terjadi diantara mereka selama tiga tahun ini ternyata bisa dihitung jari. Tetapi lagi-lagi Ares harus bersabar sebab ia yakin kalau Wulan pasti akan berubah.

Kemudian malam itu, Ares pun memutuskan untuk tidur kembali, meskipun dengan hati yang berat dan sedih.

*****

Siang harinya...

Teng... Tong... Teng...

"Permisi?!" teriak seorang gadis kampung yang menenteng tas baju, tepat di depan gerbang rumah seraya menekan bel.

Teng... Tong... Teng...

Gerbang itu sedari tadi sama sekali tak kunjung dibuka dan tentu saja hal itu membuat gadis yang bernama Yuyun itu sedikit tak sabaran.

Kepalanya menengadah, ia melihat matahari yang sudah semakin meninggi dan juga cukup terik. Ia menelan salivanya yang terasa mulai kering, bahkan peluh keringatnya pun tak berhenti mengucur. Sesekali ia menyeka peluh keringatnya di kening dengan punggung tangannya.

"Apa mungkin nggak ada orang satupun ya di rumah ini? Mana panas sekali lagi cuaca hari ini!" Yuyun bermonolog dan mulai mengeluh.

Kemudian Yuyun pun mencoba melongokan kepalanya pada sela-sela teralis gerbang. Berharap ia bisa melihat penghuni rumah keluar untuk membukakan pintu gerbang.

Teng... Tong... Teng...

"Permisi?!"

"Iya tunggu sebentar!" seseorang menyahut dari kejauhan, tentu hal itu akhirnya bisa membuat Yuyun bernafas lega.

"Ah, akhirnya ada juga yang nyaut." ucap Yuyun bersyukur.

Seorang pria paruh baya berbadan kekar yang dibalut dengan pakaian seragam hitam putih datang menghampiri, tampak seperti seorang security. Yuyun melempar senyum, menunjukan sikap sopan serta sikap ramahnya.

"Siang, Pak?" sapa Yuyun.

"Siang juga. Maaf Mbak cari siapa, ya?" tanya sang security.

"Saya Yuyun, ART baru disini pengganti Mbok Darmi. Bapak pasti sebelumnya sudah dihubungi Mbok Darmi, 'kan?" jelas Yuyun dengan sesopan mungkin.

"Oh iya, iya. Saya tahu, jadi kamu yang bernama Yuyun itu ya?"

"Iya, Pak."

"Boleh saya lihat KTP nya?"

Yuyun mengangguk antusias, kemudian ia pun merogoh dompet dari dalam tasnya. Lalu memberikan benda pipih tersebut pada si security.

"Oke, Mbak boleh masuk. Saya bukain pintunya dulu ya, Mbak."

"Baik, Pak." Yuyun mengangguk, sambil menyunggingkan senyum.

Tak berangsur lama sang security itu pun langsung membuka gembok dan mendorong pintu gerbang sebagian-mempersilahkan Yuyun untuk masuk.

"Ayo, masuk, Mbak. Mari saya antar ke dalam."

"Terimakasih, Pak."

"Iya, sama-sama."

Yuyun dan security itu pun masuk ke dalam rumah, sedari tadi Yuyun sama sekali enggan mengalihkan pandangan dari suasana rumah megah itu. Berulang kali ia berdecak kagum karena untuk pertama kalinya ia bisa menginjakan kaki di sebuah rumah yang tampak seperti istana.

"Ibu sama Bapak nggak ada di rumah, mereka masih pada kerja. Biasanya mereka pulang malam." jelas si security.

Yuyun hanya manggut-manggut mengerti mendengar informasi dari si security tersebut.

"Nama saya Manto, panggil saja Aliando." lanjut si security yang ternyata bernama Pak Manto, seraya terkekeh.

"Aduh kok bisa begitu sih, Pak? Nama asli dan nama panggilan malah bagusan nama panggilan, hehe."

"Bercanda dikit, biar makin akrab, Mbak." seloroh Pak Manto.

"Pak Manto bisa saja," komentar Yuyun, seraya tersenyum ringan.

"Oh ya, ini kamar Mbak. Mbak istirahat saja dulu ya, jangan langsung buru-buru kerja. Kalau mau makan tinggal makan, disini bebas kok, majikannya baik dan nggak pelit."

"Oh begitu ya, Pak. Baik, Pak. Terima Kasih sebelumnya ya, Pak." ucap Yuyun dengan sopan.

"Iya, sama-sama. Kalau ada apa-apa kamu bisa panggil saya di pos depan, kalau begitu saya permisi dulu ya, Mbak." pamit si security.

"Iya, Pak."

Setelah si security itu berlalu, Yuyun pun langsung membuka pintu kamar. Ia melihat suasana kamar dengan sepasang matanya yang terlihat berbinar takjub. Sebuah kamar khusus untuknya sebagai seorang ART, dan seketika saja senyumannya pun langsung merekah. Ia tak percaya bahwa kamarnya yang sekarang lebih bagus daripada kamarnya yang berada di kampung.

Yuyun duduk di tepi ranjang, tangannya mengusap sprei yang terasa lembut di tangan, sprei selembut sutra. Bahkan ketika ia duduk di tepi ranjang saja bokongnya sudah merasa sangat nyaman, sebab kasurnya terasa sangat begitu empuk layaknya ia yang sedang menduduki sebuah balon.

"Wah, kasurnya empuk sekali. Beda dengan kasurku yang di kampung, kasur di kampung keras seperti batu kalau sedang di duduki seperti ini. Bahkan bokongku saja sering kesakitan, tapi kasur disini beda, malah bikin nyaman, hihi." kekeh Yuyun seraya membungkam mulutnya tak percaya bahwa ia bisa mendapatkan fasilitas mewah seperti ini sebagai seorang ART.

Kemudian ia pun langsung merebahkan dirinya di atas tempat tidur seraya menghela nafas panjang, dan ketika ia melirik ke arah ujung atap ia melihat ada sebuah AC di sana.

"Wah, ada AC nya juga. Kebetulan sekali aku lagi kegerahan," Yuyun cengengesan, kemudian ia pun langsung bangkit untuk mengambil sebuah remot AC yang menempel di dinding. "Kamar buat ART saja bisa semewah ini, bagaimana kalau aku jadi Nyonya besar sungguhan suatu hari nanti, pasti aku bisa menikmati semua fasilitas mewah seperti ini setiap hari." Yuyun terkikik geli ketika ia membayangkan semua itu, kemudian ia pun kembali merebahkan tubuhnya setelah ia menekan tombol remot AC.

Sejuknya AC ternyata malah membuatnya langsung mengantuk. Ia menguap lebar, rasa lelah bercampur menjadi satu dengan rasa kantuk hingga membuat sepasang matanya terpejam perlahan dan membuatnya terlelap dengan begitu mudahnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku