Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rahasia Antara Aku dan Kakak Ipar

Rahasia Antara Aku dan Kakak Ipar

Farasha

5.0
Komentar
4.4K
Penayangan
31
Bab

Kayla, gadis berusia 19 tahun yang harus mengalah demi kakaknya dan terpaksa menjalin hubungan baru dengan laki-laki lain tanpa ada rasa cinta demi menutupi perasaannya. Rendy tahu tidak mudah menaklukkan hati Kayla yang telah dimiliki oleh laki-laki lain. Namun kenyataan pahit harus Rendy terima disaat sebuah kebenaran terungkap. Laki-laki itu Gibran, suami dari sahabatnya Lyla kakak kandung Kayla. Lyla tidak pernah tahu jika adik dan suaminya pernah menjalin hubungan bahkan Gibran dan Kayla masih menyimpan semua kenangan manis saat mereka bersama. Namun Rendy bertekad akan menghapus kisah masa lalu Kayla bersama Gibran. Rendy tidak akan membiarkan Kayla menjadi orang ketiga dalam rumah tangga sahabatnya Lyla. Berhasilkah Rendy meluruskan benang kusut cinta segi empat diantara mereka? Ataukah menyerah dalam persimpangan jalan cinta yang sangat menyakitkan?

Bab 1 1. Dia yang Kucinta

"Nduk menjadi seorang wanita itu harus kuat dan bisa menjaga diri, karena seorang wanita itu akan selalu menjadi sasaran fitnah dunia, jika masih gadis ia harus bisa menjaga kehormatan kedua orang tua terutama ayahnya, dan bila sudah berstatus sebagai istri maka suami adalah pakaiannya. Jadi, di mana ia berpijak, wanita akan membawa beban berat yang harus ia pikul setiap saat. Laki-laki pun demikian, memiliki tanggung jawab yang sangat besar, seorang laki-laki tidak akan bisa masuk surga sebelum mampu menjaga 3 wanita dalam hidupnya, ibu yang melahirkannya, istri, dan anak perempuannya. Menjaga dalam hal agama, jika seorang anak perempuan ke luar rumah tanpa menutup aurat maka semakin dekat pula ayahnya memasuki pintu neraka."

"Ayo Kayla keburu malam, nanti ibu kamu khawatir! apalagi pacarmu Rendy tadi bilang nitip kamu ke aku kan!" rengek Faza yang berhasil membuyarkan lamunanku. Begitulah Kak Rendy seperti radar yang selalu mengikuti keberadaanku jika sedang tak bersamanya, dia tidak akan segan-segan menelpon siapa pun orang yang sedang bersamaku.

"Iya, ayo pulang, dasar cerewet," jawabku dengan santai sambil membereskan mukena lalu menaruh di tempat semula. Baru saja aku mengikat salah satu tali sepatuku tiba-tiba sebuah suara menyapa, seketika hatiku berdesir karena mengenali pemilik suara itu. Suara yang masih sering kurindukan selama tiga tahun terakhir.

Deg deg deg... Jantungku berpacu lebih cepat, suara itu terdengar sangat nyata, aku tidak berani mengangkat kepala. Pandanganku hanya tertuju pada sepasang sepatu sport putih tepat di hadapanku.

"Hallo Kayla, apa kabar?" Suara itu kembali memecah lamunanku. Kepalaku masih tertunduk kaku, memainkan tali sepatu yang memang sudah rapi untuk mengulur waktu agar segera tersadar dari halusinasiku.

"Kayla, kamu ini ya dari tadi ngikat sepatu nggak kelar-kelar sih!" Suara kesal Faza menyadarkanku meskipun hanya kuanggap angin lalu.

"Bismillah!" kuucap dalam hati sambil mencoba mereda detak jantungku yang memberotak, aku bahkan bisa mendengar detak keras jantungku sendiri atau mungkin saja Faza dan laki-laki di depanku juga mendengarnya, tapi aku tak peduli, jika benar laki-laki itu adalah Kak Gibran maka menghilang adalah pilihan terbaik saat ini.

Kuangkat kepalaku perlahan sembari mencubit lenganku sendiri, "au," lirihku saat netra kami bertemu. Dia nyata, laki-laki di depanku adalah Kak Gibran, laki-laki yang mengajarkanku tentang rasa cinta dan kecewa secara bersamaan.

"Kay siapa cowok ganteng ini?" bisik Faza sambil mencubit lenganku yang masih membeku, seketika dunia yang kupijak seolah terhenti berputar.

Aku berdeham untuk membunuh kebekuan sekaligus rasa canggungku. Kulirik Faza yang sedang terpesona dengan rupa elok Kak Gibran, sama persis sepertiku ketika pertama kali berkenalan dengannya dulu, tidak bisa kupingkiri seolah ada magnet kuat yang menghisapku masuk ke dalam pesonanya. Siapan pun yang melihatnya pasti bisa menebak dia bukan asli orang Jawa Timuran, kulitnya putih bersih, hidung bangir, wajah baby face, serta senyum ramah yang selalu ia berikan keada orang yang dikenalnya.

Aku segera memutus kontak mata kami lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku takut kalah dan terjebak kembali dalam cintanya karena kini ada hati yang harus aku jaga.

"Lama nggak bertemu, kamu sekarang terlihat lebih dewasa dan cantik!" pujinya yang seketika membuat wajahku merona.

"Makasih Kak, kakak gimana kabarnya?" Balasku tanpa berani memandang wajahnya.

"Alhamdulillah baik," balasku kembali dengan singkat sembari memberanikan diri menatapnya.

Deg. "Aduh... senyum itu." Sadar Kayla, rutukku dalam hati.

"Maaf Kak aku buru-buru pulang," jawabku memotong pembicaraan karena aku sudah tidak tahan berlama-lama berdekatan dengannya.

"Ok, aku minta nomor WhatsApp kamu, nanti malam aku hubungi!" sahutnya masih menatapku lekat.

"Ta tapi Kak!" ucapku dengan terbata.

"Mbak aku boleh minta nomor WhatsApp Kayla?" Ucapnya pada Faza karena aku masih terdiam Kak Gibran langsung memintanya ke Faza yang sedari tadi berada di sampingku.

"Ini!" Faza menyodorkan ponselnya pada Kak Gibran dan dia segera menyimpan nomor WhatsApp_ku.

Aku tersenyum padanya sambil menarik tangan Faza meninggalkan Kak Gibran menuju ke arah parkiran masjid.

"Ayo buruan cabut!" Perintahku pada Faza yang kini telah duduk di hadapanku.

"Iya ya," gerutu Faza sembari menyalakan mesin motor lalu segera pergi.

***

"Besok aku ingin bertemu, kamu ada waktu kan Kay? Kalau nggak bisa aku saja yang nyamperin ke kampus kamu."

"Aku cuma ingin bicara, menyelesaikan kesalah-pahaman di antara kita dulu."

"Please..!"

Kubaca pesan WhatsApp berantai dari Kak Gibran berulang-ulang dengan perasaan bimbang antara menerima atau menolak ajakannya untuk bertemu. Berselang satu jam aku akhirnya memberanikan diri membalas pesannya.

"Iya Kak, besok bertemu di kampusku jam 3 sore, kebetulan aku hanya ada satu kelas."

Ku hempaskan tubuhku di atas ranjang sembari menghela nafas panjang lalu menghembuskan perlahan setelah menjawab pesannya. Debaran itu masih ada dan nyata.

Semalaman aku terjaga, bayangan wajah Kak Gibran tak jua mau pergi dari pikiranku, semakin kupejamkan mata maka semakin lekat senyumannya. Tetapi hatiku juga tak bisa berbohong jika aku pun mendamba bertemu dengannya lagi.

"Kay cowok ganteng kemarin siapa hayo? aku mencium sesuatu yang nggak baik ini," selidik Adel dengan seringai aneh sembari mengendus-endus seperti kucing ke arahku.

"Apaan sih kamu, lihat kek kucing aja," protesku sembari menjauhkan wajahnya dariku.

"Teman! Puas!" Jawabku singkat lalu melanjutkan langkahku menuju arah gerbang ke luar kampus.

"Tapi kata Faza kamu nervous banget kemarin pas ketemu dia di masjid!" Sambung Adel kembali karena merasa belum puas dengan jawabanku.

"Ehem aku juga pengen tau nich kayak ya seru!" Tiara mulai kepo dan ikut mencecarku dengan pertanyaan yang sama dengan Adel.

"Dia Kak Gibran." Akhirnya dengan berat hati aku mengakui bahwa Kak Gibran adalah cinta pertamaku.

"Apa!" Jawab mereka serempak dengan ekspresi terkejut.

"Hai, pasti ngomongin cowok ganteng kemarin ya?" potong Faza yang tiba-tiba sudah bergabung setelah menuntaskan hajatnya dari kamar mandi sembari merangkul bahuku dan Adel bersamaan.

"Terus Rendy mau kamu ke manakan Kay! Udah buat aku aja cowok kemarin," sambung Faza yang langsung mendapat tonyoran di kepalanya dari Tiara.

"Apaan sih Ra! kamu belum lihat orangnya sih, aku yakin kalian berdua pasti klepek-klepek, ganteng pakek banget!" Terang Faza dengan kesal sembari meringis menerima tatapan tajam dua sahabatnya. Faza memang sudah memiliki kekasih namun mereka menjalani hubungan jarak jauh karena berbeda kampus. Mereka sudah berpacaran sejak duduk di bangku SMA hingga sekarang.

"Kalau Kayla milih tuh cowok aku rela menerima hibah pacar kamu, Rendy juga kan ganteng, baik, daaann tajir," puji Tiara dengan senyam-senyum sendiri.

"Dasar jomblo basi," balas Faza sembari mencubit pipi Tiara dengan gemas.

Belum selesai obrolan absurd itu berakhir seorang laki-laki dari kejauhan melambaikan tangan ke arahku.

"Sob's aku jalan dulu ya!" ucapku lalu segera pergi meninggalkan mereka bertiga yang seketika membeku. Langkahku terasa begitu ringan saat mendekati laki-laki tampan yang sudah menungguku dengan senyuman hangatnya. Senyuman yang selalu aku rindukan. Duniaku seolah berhenti berputar. Dia adalah cinta pertamaku, Muhammad Gibran Al-Farabi.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Farasha

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku