Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Sang Majikan
Pintu yang menghubungkan antara kamar tidur dan tempat menjemur pakaian kubuka dengan gerakan pelan. Aku baru saja keluar dari kamar mandi yang terletak di samping tempat menjemur pakaian.
Aku terkejut mendapati Kang Oded berdiri mematung, memandangiku yang baru saja masuk ke dalam kamar. Ia berdiri tegak di depan meja kamar. Meja satu-satunya dalam kamar sempit ini, tempat meletakkan rice cooker dan keranjang kecil berisi peralatan makan yang berbilang tak sampai sepuluh. Sepasang matanya memandang ke arahku dengan sorot mata yang sulit untuk kupahami. Kemudian bibirnya terbuka dan meluncurlah ucapannya.
“Kamu selingkuh, Dik?” Kang Oded menatapku lurus-lurus.
Aku yang hendak melangkah menuju lemari pakaian, tertegun. Kuusap anak rambut yang masih basah di dekat telinga.
“Kenapa Akang tanya begitu?” Aku tatap balik matanya. Langkahku menuju lemari plastik kecil berisi aneka pakaian menjadi terhenti.
“Ini buktinya!” Kang Oded mengacungkan ponselku. Mataku mengerjap sekali.
Ponsel itu aku tinggalkan di atas kasur ketika ke kamar mandi. Mungkin tadi sewaktu aku mandi, dibacanya isi pesan-pesanku kepada Mas Rudi. Tumben ia mengutak-atik ponselku, perhatian sekali. Biasanya aku jungkir balik pun ia tak mempermasalahkan.
Aku memang tak pernah menghapus pesan dan obrolan antara aku dan Mas Rudi. Aku membiarkan riwayat percakapan itu mengendap di alat komunikasiku. Ceroboh? Bukan. Aku sengaja melakukan itu karena merasa tak perlu menyembunyikannya dari Kang Oded. Mungkin di sudut hatiku yang terdalam, aku memang ingin Kang Oded menemukan pesan-pesanku kepada Mas Rudi, agar pernikahan hambar ini segera menemui titik akhir.
Suamiku, tak pernah mencurigai aku sedikitpun. Ia tak pernah tertarik mengetahui dengan siapa saja aku mengobrol di aplikasi pesan. Ia memang membatasi pergaulanku dengan para tetangga di lingkungan perumahan ini, tapi tak pernah memedulikan ponselku. Satu hal yang jelas, aku tak menyukai sikapnya yang terkadang abai terhadap kegiatanku dan terkadang amat membatasi ruang gerak pergaulanku.
Entahlah. Aku tak tahu pasti maksud dari sikapnya. Apakah ia memang tak punya rasa cemburu ataukah ia amat memercayaiku? Sulit bagiku untuk membedakan diantara kedua hal itu. Aku menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang.
“Akang baca isi pesanku buat Mas Rudi? Baguslah jika Akang sudah tahu,” kataku santai, lalu menyandarkan punggung pada bantal yang kususun di atas kasur.
Tubuhku sangat penat. Sepulang bekerja sebagai buruh jahit di sebuah pabrik konfeksi, aku hanya ingin beristirahat setiap kali selepas jam kerja. Duduk seharian menghadapi mesin jahit dan menjahit aneka gaun dan blus membuat pinggangku rasanya kaku dan kram.
“Dik, sejak kapan kamu berubah?” Kang Oded menatapku penuh luka. Tak terdengar nada marah dalam suaranya.
“Sudah sejak lama, Kang. Akang saja yang tidak pernah perhatian,” jawabku penuh perasaan, puas akhirnya bisa mengatakan kegondokanku terhadap sikapnya selama ini.
“Padahal aku selalu percaya kamu, membebaskan kamu ketika ingin ini dan itu ....” Bahu Kang Oded turun dan suaranya menjadi lirih.
“Ya, Aku memang dibebaskan untuk berbuat apa saja. Tapi Akang juga kurang perhatian dan kasih sayang sama aku,” balasku dengan suara yang semakin melengking.
Sudah lama aku menantikan saat ini. Momentum konfrontasi terbuka yang tidak lagi menyediakan ruang buat menutupi dan memendam sesuatu. Biarlah malam ini aku ungkapkan semua kekesalan dan unek-unekku selama menikah dengannya. Biar tuntas semua rasa. Malam ini akan menjadi puncak dari titik klimaks pernikahan kami.
“Ketika kamu ingin kerja, Akang perbolehkan. Apa itu kurang perhatian?” tanya Kang Oded keheranan.