Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Sebelum baca klik berlangganan dulu ya
****** ******
AKU BUKAN PEMBANTU KALIAN
"Rin, buruan dong masaknya! Laper banget nih aku. Kamu nggak dengar dari tadi Kayla nangis terus? Ya karena aku lapar jadi ASI ku kan jadi encer. Cepetan dong masaknya!"
Pagi ini, kakak iparku, Kak Sarah kembali mengomel. Padahal jam di dinding masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, masih terlalu dini juga untuk sarapan pagi. Meski kutahu dia memang saat ini juga sedang menyusui putra bungsunya-Bobby-yang saat ini masih berusia satu tahun. Sedangkan selepas shalat subuh aku sudah membuatkan segelas susu hangat untuknya, Mas Dimas dan dua putrinya kembarnya, Dewi dan Devi yang kini berusia lima tahun.
"Iya cepetan dong Tante, Devi juga lapar banget nih," ucap Devi yang diamanini pula oleh saudara kembarnya, Dewi.
Sebetulnya kedua keponakanku ini sangatlah cantik. Rambut lebat, bermata coklat, hidung mancung dan berkulit putih bersih, namun sayang Mbak Sarah tak pernah perhatian pada mereka, hingga penampilan mereka kelihatan dekil. Tak jarang akulah yang memandikan mereka dan mendandani mereka, padahal di usia segitu harusnya mereka sudah bisa mandiri.
Entah didikan seperti apa yang diberikan oleh Mbak Sarah dan Mas Rusli pada mereka berdua, hingga mereka tumbuh menjadi anak yang malas, manja dan berbuat apapun sesuka hatinya.
"Sabar ya sebentar lagi mendidih, kalian mandi dulu sana. Nanti pas selesai mandi makanannya pasti sudah matang," bujukku pada mereka.
"Malas banget ih pagi-pagi kok mandi. Mending nonton tivi, yuk Dev kita nonton tivi dulu. Jangan lama-lama ya Tante!" Kali ini gantian Dewi lah yang berujar padaku.
Pemandangan seperti ini sudah tujuh bulan terakhir terjadi di rumahku. Sejak Mbak Sarah dan keluarganya pindah ke rumah ini. Mereka tinggal di sini karena memang sudah tak memiliki tempat tinggal lagi. Mas Rusli yang seorang pemborong bangkrut karena telah di tipu temannya senilai ratusan juta, padahal uang tersebut adalah pinjaman dari banyak tempat. Dengan terpaksa akhirnya mereka menjual semua aset dan rumah untuk mengembalikan semua pinjaman itu.
Sementara rumah peninggalan mertua sudah di jual dua tahun yang lalu, dan hasil penjualannya di bagi dua, untuk Kak Sarah dan juga suamiku. Namun pembagian itu sedikit tak adil, suamiku hanya mendapat tiga puluh persen saja dari hasil penjualan rumah itu. Dari hasil uang itu dan sedikit tabungan, kami membangun rumah ini. Rumah mungil di tanah peninggalan orang tuaku, dengan tiga kamar tidur di dalamnya.