Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
"Ya ampun, bisakah kau berhati-hati sedikit?"
Luna berusaha menahan amarahnya yang terasa meledak saat gaun putih yang ia kenakan, terkena tumpahan anggur dari bahu hingga ke bawah pinggang oleh seorang pria di depannya.
Kini gaun putih itu tak hanya basah, melainkan juga memperlihatkan bekas warna merah di titik tumpahan dan sekitarnya. Sementara pria yang menumpahkan anggur itu hanya memasang ekspresi santai. Bahkan rasa bersalah pun sepertinya tidak ada. Luna mengenali orang yang terkenal angkuh itu adalah CEO dari sebuah perusahaan Furnitur besar. Aria Pamungkas, ia beberapa kali mendengar namanya di kalangan sesama pengusaha.
Awalnya Luna mengira soal sifat angkuh pria itu hanya gosip dari orang-orang yang mungkin tidak menyukainya. Namun, malam itu ia merasa sudah bisa menilai sendiri bagaimana kebenaran soal gosip tersebut.
"Aku tidak sengaja. Jika kau mau, aku bisa membayar ganti rugi beberapa kali lipat dari harga gaunmu."
Pria dengan raut seperti serigala itu nyatanya memang tidak merasa bersalah sedikitpun. Meski orang-orang di sana menatap pada mereka.
"Aku tahu kau orang kaya. Tapi sayang sekali etikamu sangat kurang." Luna menatap lurus pada mata pria itu.
Aria mengangkat satu alisnya yang tebal, seraya balas menatap pada wanita itu. Perasaannya sedikit terusik dengan kata-kata barusan. Sorot manik hitam setara dengan warna rambutnya mulai menajam. Belum pernah ada wanita yang berani melawan atau mengatainya seperti demikian.
"Pak, kita sedang di tempat ramai-" Pria di samping Aria yang merupakan sekretarisnya, mencoba untuk melerai. Namun tangan Aria lebih dulu terangkat, mengisyaratkan agar diam dulu.
Tetapi tatapan Aria tak lepas satu detik pun dari Luna. Dan Luna sendiri tampak tidak takut sama sekali dengan pria di depannya. Tidak peduli siapa orang tersebut. Baginya semua orang itu sama saja. Sama-sama manusia dan setara.
Meski tidak kenal akrab, Luna tetap tidak suka dengan kelakuan orang yang angkuh seperti Aria.
Orang-orang yang melihat mereka mulai cemas dengan kemungkinan situasi lebih buruk.
"Kak, ini tempat umum. Ayolah kita pergi saja. Demi aku."
Remaja laki-laki berusia sembilan belas tahun berbisik pada Luna seraya mencoba menarik tangan sang kakak dengan hati-hati. Fero tahu bahwa sangat berbahaya jika kakaknya sedang marah. Tapi kali ini ia akan berusaha untuk membujuknya sebisa mungkin.
Dan untungnya berhasil. Luna mau mendengarkan adiknya dan perlahan meninggalkan pria yang bersitegang dengannya. Meski raut wajahnya masih menunjukan bahwa ia tetap menantang pria itu.
Orang-orang mulai merasa lebih lega saat itu. Karena acara peresmian hotel sudah menjadi menyebalkan bagi Aria, maka ia pun memutuskan untuk segera meninggalkan tempat tersebut.
"Hei, menurutmu siapa yang akan menang jika mereka berdua meneruskan yang tadi?" Seorang tamu mencolek temannya sambil masih memandang kepergian Aria dan sekretarisnya dari aula besar itu.
"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja kita tidak tahu karena mereka gagal berdebat. Bu Luna juga tidak kalah hebat dalam berdebat. Kecuali ..." Temannya menimpali seraya memasang ekspresi menggoda.
"Kecuali apa?"
"Tidak jadi. Sudahlah, kita pulang juga."
.
"Dia tidak selevel denganku. Hanya seorang pemilik restoran," ujar Aria.