Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Kepergianmu meninggalkan luka menganga dalam diriku. Ada ruang kosong, yang entah sampai kapan bisa sembuh. Apa boleh buat. Aku tahu banyak yang berlari membawa luka dalam dirinya. Dan mungkin bagiku, aku harus berlari dengan luka dalam diriku. Apa pun, hidup harus berjalan.
Masih segar dalam ingatanku pertemuan kita yang pertama di gedung dekat pojok asrama mahasiswa. Dulu, mungkin aku pernah berterima kasih kepada Dena yang membuatku bingung, karena salah memberi nomer asramanya. Karena tanpa kebingunganku dengan nomer itu, mungkin kita tidak akan pernah berkenalan. Aku benar-benar takut ketika itu, kalau-kalau aku salah alamat. Dan, nasiblah yang menentukan hanya ada kita berdua di ujung jalan itu, hingga aku tak punya tempat bertanya selain kamu.
Mungkin bagimu, tidak lama waktu yang kita lalui, tapi bukan berarti tidak banyak pula kenangan yang kita lakukan.
Empat tahun bukan waktu sebentar bagiku.
Apalagi, undangan pernikahan milik kita sudah tersebar hampir ke seluruh kerabat dan handai taulan.
Satu minggu sebelum tanggal pernikahan.
Sungguh, aku tak pernah menyangka akan membaca rangkaian kalimat, pesan yang kau kirim, berita yang tak terduga darimu. Sungguh pengecut! Bahkan kamu tidak berani bicara langsung pada keluarga besarku.
"Maaf, sepertinya kita belum berjodoh, aku telah khilaf dan berbuat kesalahan fatal. Dena sedang mengandung anakku. Padahal aku baru sekali melakukan itu dengannya. maafkan aku."
Lucu.
Sangat lucu!
BARU SEKALI! Kau pikir ini ajang uji coba! Dasar ba*ingan busuk!
Semudah itu kamu mempermainkan hati sekaligus mempermalukan keluargaku.
Kenangan itu mungkin sudah lama dihapus dari memori milikmu. Namun, lukanya masih bisa aku rasakan, bahkan hingga detik ini - hampir lima tahun setelah luka itu diukir di hatiku- membuat aku takut untuk percaya bahwa ada sebuah perasaan yang bernama cinta.
Hanya dalam beberapa bulan setelah kamu membatalkan acara pernikahan kita, aku menerima undangan pernikahanmu dengan Dena.
Yang lebih lucu dan gila! Kamu berani mengundangku! Undangan berwarna emas yang sama persis dengan desain undangan yang kita pilih.
Entah dimana kamu simpan otak dan hati nuranimu!
***
"Azzura! Hei, hallo?"
Pak Aydan mengayun-ayun telapak tangan di depan wajah Azzura -asisten pribadinya- yang sedang melamun.
Buru-buru gadis cantik itu mengalihkan pandangannya dari layar komputer. "Oh, eh. Ya, Pak? Ada perlu apa, ya? Kopi, teh atau air mungkin?" imbuh Azzura buru-buru mengembalikan konsentrasi. Sementara Pak Aydan -bosnya- sudah berdiri sembari berkacak pinggang, matanya setengah membulat.
"Aduh Ra! Kamu lagi kerja, lho! Tolong jangan ngelamun aja. Tuh, tuh ini masih belum jam pulang, kan. Ayo, semangat! Kamu dibayar pake duit perusahaan, lho!" Aydan menunjuk-nunjuk arloji di pergelangan tangannya lalu bertepuk-tepuk tangan, seolah sedang memberi semangat Azzura supaya tidak melamun.
Bibir Azzura mencibir. "Haduh, Pak. Iya deh, iya. Maaf, barusan saya keinget mantan saya."
"Mantan? Tumben nyebutnya sopan, biasanya manggil kampret." Aydan terkekeh, "mana berkas yang tadi saya suruh print?"
tangannya terulur.
"Lagi sehat sayanya Pak, jadi berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang sopan." Azzura menyerahkan lembaran kertas yang sudah selesai dia cetak sejak lima menit lalu, "nih, Pak. Gara-gara kelamaan nungguin ngeprint ini, saya jadi hanyut terbawa perasaan."
Aydan tertawa, "eh, ngapain jadi nyalahin berkas punya saya. Ini calon duit tahu," Aydan mengambil berkas dari tangan Azzura, "hanyut ... hanyut, memangnya kamu aliran sungai. Sana beli kopi, sekalian kamu juga. Eh, ya, beliin si Santi juga, Johan juga, Riko tuh tanyain sekalian." Titah Aydan sembari berjalan keluar dari ruang kerja Azzura.
"Nggak sekalian beli-in buat satu divisi kita aja, Pak?" Azzura berdecak, pura-pura sebal.
Dari balik pintu ruang kerja, Aydan melongok, "boleh, boleh. Emang kamu bisa bawanya, Ra?"
"Pak! Please deh, saya nggak lagi pengen nambah dosa! Jangan bikin saya tambah marah, lho."
"He he he, iya deh, iya. Beli buat kamu sama saya aja. Sama Santi, deh. Biar dia nggak ngantuk."
"Nah. Gitu dong. Ya udah sana cepet dibaca itu berkas-berkasnya. Biar cepet cair, jadi duit! Jangan lupa, bonusnya lho, Pak."
Dari balik ruangannya, Azzura bisa mendengar bos-nya itu tertawa kecil, "iya bawel, udah sana cepet, kopi ... kopi!"
***
Azzura Leana, usianya yang hampir mendekati bilangan 25 tahun. Usia rawan pertanyaan kapan menikah dan berbagai sindirian halus seputar pernikahan.
Sebelum-sebelumnya, keluarga Azzura tidak pernah menyinggung dan bertanya perihal pernikahan, tapi belakangan, entah kenapa, mamanya mulai sering menodongnya dengan pertanyaan, "kapan calon mantu Mama, mau kamu bawa ke rumah?" atau di lain waktu, "Ra, sebentar lagi kamu mau dua puluh lima tahun, lho. Masak masih nggak pengin nikah?" Dan senjata pamungkas yang sering diucap sang Mama, "Ra, kita nggak tahu umur manusia. Sebelum meninggal, Mama pengin gendong cucu dari kamu."