Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Sederhana untuk Mr. Dominant

Cinta Sederhana untuk Mr. Dominant

Marina Kalandra

5.0
Komentar
6
Penayangan
5
Bab

Gendis Laksmita, gadis cantik yang merupakan bunga desa di kampungnya. Ia memutuskan untuk kabur saat dirinya akan dinikahkan oleh Paman dan bibinya dengan seorang rentenir untuk melunasi hutang-hutang mereka. Namun ia tidak menyangka keputusannya untuk kabur, membawanya ke dalam masalah baru. Dirinya yang begitu polos, malah terjebak dengan seorang Erlangga Danuarta. Sayangnya, Erlangga bukan orang biasa saja, ada sisi gelap yang hanya diketahui oleh seorang Gendis secara tidak sengaja. Akankah Gendis dibiarkan begitu saja, ataukah dia terjebak dalam circle seorang Erlangga Danuarta, seorang lelaki dengan sejuta pesonanya?

Bab 1 1. Calon Pengantin yang Kabur

Gendis berlari mengejar waktu, berharap fajar tak kunjung datang untuk menghentikan usahanya. Ia tak ingin usaha kabur dari pernikahannya, gagal begitu saja. Keputusan pamannya menerima lamaran seorang rentenir yang bernama Karta, tidak dapat ia terima begitu saja. Gendis memilih berusaha untuk mencari uang sebanyak mungkin untuk melunasi hutang mereka pada rentenir tersebut.

Selesai malam midodareni, ia tak langsung terlelap tidur. Mengemas semua barang yang dibutuhkannya serapi mungkin. Tak lupa ia juga sudah membeli nomor ponsel baru untuk menghubungi sahabatnya yang tinggal di Ibu Kota.

Ia terus berlari mengitari pematang sawah dan ladang. Senyum terbit di wajah cantiknya, melihat mobil bak berisi dan para petani yang akan membawa sayuran menuju ke Ibu Kota. Ia bersembunyi di balik pohon besar. Setelah suasana aman, barulah ia berusaha masuk ke dalam bak mobil berisi keranjang-keranjang sayur tersebut. Untung saja kehadiran Gendis tidak disadari oleh para petani tersebut.

Gendis mencari posisi yang nyaman untuk tidur selama dalam perjalanan. Tak lupa ia terus memakai masker untuk menutupi wajahnya. Sepanjang perjalanan ia terus tertidur lelap. Hingga akhirnya mobil tersebut berhenti di sebuah pasar.

Suara keramaian pasar membangunkan tidur nyenyak Gendis. Gadis itu mengintip dari balik terpal yang menutupi bak mobil tersebut. Ia menaikkan sedikit terpal tersebut dan berusaha memotret plank bertuliskan "PASAR MINGGU". Ia kemudian mengirimkan foto tersebut pada Susanti. Sahabat karibnya yang sudah lama mengadu nasib di Ibu Kota.

BRAK

Pintu kap mobil buka begitu saja oleh pemilik mobil bak tersebut. Gendis tersenyum menatap sang pemilik mobil yang terkejut melihat keberadaan Gendis dalam bak mobil tersebut.

"Assalamualaikum, selamat pagi Pak De. Terima kasih tumpangannya," ucap Gendis sambil tersenyum dan berlalu pergi begitu saja.

"Hei tunggu. Bukankah kau gadis yang akan dinikahi Juragan Karta!" teriak orang tersebut.

Gedis menoleh terkejut. Mengetahui orang tersebut mengenalinya, ia kemudian berlari menjauhi mobil bak tersebut. Setelah cukup jauh berlari, ia berhenti dengan nafas terengah-engah. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri melihat keadaan di sekitarnya. Beruntungnya pemilik mobil tersebut tidak mengejarnya.

"Syukur... syukur... Pak De itu tidak mengejarku," ucap Gendis sambil mengusap dadanya.

Ia kemudian mencari tempat untuk duduk dan beristirahat. Dikeluarkannya sebotol air putih yang sengaja dibawa dari rumah. Bahkan gendis juga sempat memasukkan beberapa kue sisa acara semalam ke dalam sebuah kotak. Sambil menikmati bekal yang dibawanya, ia kemudian menekan panggilan pada Susanti, sahabatnya yang merantau di Jakarta. Ia berencana untuk menumpang sementara, hingga keadaan memungkinkannya untuk keluar dari persembunyian.

"Halo, Assalamualaikum Santi," ucap Gendis.

"Walaikumsalam, Dis kamu beneran kabur ini?" tanya Susansi yang masih tak percaya.

"Ya iyalah San. Kamu rela sahabatmu yang ayu ini jatuh ke dalam pelukan kakek-kakek tua itu!" jawab Gendis yang kemudian menengguk air putih.

"Hehehe, marah-marah mulu. Kamu masih di Pasar Minggu?" tanya Susanti yang sedikit khawatir tentang keberadaan sahabatnya saat ini.

"Iya San, aku masih di sekitar pasar, habis lari-lari. Pak De yang punya mobil sayur mengenaliku sebagai calon pengantin Juragan Karta," jelas Gendis.

"Syukurlah kamu bisa lari dari kejaran mereka. Berjalanlah ke arah Stasiun Pasar Minggu sekarang! Naiklah kereta arah ke Bogor, nanti turun di Stasiun UI yah, aku sedang ada syuting di sana," jelas Susanti pada Gendis.

"Baiklah, setelah ini aku akan ke Stasiun, sampai bertemu San," jawab Gendis sambil mengemas tas miliknya.

"Hati-hati Dis, kabari aku terus. Assalamualaikum," ucap Susanti menutup panggilan.

"Ya terima kasih. Walaikumsalam," jawab Gendis.

Ia kemudian membuka aplikasi peta yang ada di dalam ponsel miliknya untuk mencari jalan menuju ke Stasiun Pasar Minggu. Ia tersenyum puas ternyata letaknya tidak jauh dari tempatnya berpijak saat ini. Tak lupa ia juga mencari cara untuk menaiki kereta tersebut di internet. Walaupun berasal dari kampung, Gendis mampu memanfaatkan teknologi yang ada sebaik mungkin. Setelah memperoleh informasi yang ia perlukan, ia memasukkan ponselnya ke dalam tas miliknya kembali.

Gendis kemudian bangkit dan menjinjing tas miliknya. Ia sengaja menggendong tas di dadanya, demi menjaga keamanannya di dalam kereta nantinya. Gendis tidak ingin mengalami hal-hal buruk yang sering terjadi seperti adegan dalam sinetron-sinetron. Menjadi korban copet ataupun korban pelecehan di dalam kereta. Ia kemudian berjalan ke arah stasiun.

Gendis kini sudah berada di dalam kereta ke arah Bogor, seperti arahan yang Susanti berikan. Ia berhasil membeli tiket dengan mudah dan masuk ke dalam peron tanpa canggung. Ia terus mengamati layar yang tertera di setiap gerbong agar dapat turun di tempat yang tepat. Ia juga terus fokus mendengarkan keterangan dari operator mengenai stasiun kereta. Hingga akhirnya ia berhasil turun di Stasiun UI, seperti permintaan Susanti.

"Santi, aku sudah berada di Stasiun UI," ucap Gendis dalam pesan yang ia kirimkan pada Susanti.

"Oke tunggu aku sebentar," jawab Susanti.

Gendis merasa lebih tenang, ia benar-benar terlepas dari kejaran orang-orang yang mengetahui siapa ia sebenarnya. Ia berharap semoga orang-orang yang mengenal Juragan Karta tidak mengejarnya lagi.

Dari kejauhan terlihat gadis seusia dengannya melambaikan tangan ke arahnya. Gendis tersenyum menyambut kedatangan gadis tersebut. Dialah Susanti, sahabat karib Gendis dari kecil. Susanti yang mendapat beasiswa memilih untuk tinggal di Kota. Ia kuliah sambil bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya karena tidak sepenuhnya ditanggung oleh beasiswa.

"Santi..." teriak Gendis begitu girang sambil berlari menghampiri Susanti.

"Sssttt... jangan panggil aku Santi! Panggil aku Susan!" pinta Susanti berbisik di telinga Gendis begitu pelan.

"Memangnya kenapa? Bukankah itu namamu?" tanya Gendis dengan polosnya.

"Kelihatan tua, semuanya terbiasa memanggilku "Susan", mulai hari ini kau juga harus memanggilku Susan," jelas Susanti pada Gendis.

"Tua? Tanya Gendis keheranan. Tidak, menurutku nama itu bagus dan cocok untukmu Santi," lanjutnya.

"Kamu masih saja ngeyelan yah, aku pulang sendiri saja," ucap Susanti berlalu meninggalkan Gendis begitu saja.

"Susan tunggu!" panggil Gendis sambil mengejar Susanti.

Susanti tidak serius meninggalkan sahabatnya begitu saja. Walau bagaimanapun Gendis adalah sahabat yang butuh bantuannya saat ini. Ia sangat memahami karakter Gendis yang sangat polos. Susanti tidak ingin Gendis mengalami kesusahan selama pelariannya di Jakarta.

Mereka saat ini sudah berada di dalam angkot. Gendis terus mengikuti ke mana pun Susan pergi.

"San, kita mau ke mana lagi sekarang?" tanya Gendis sambil melihat jalanan dari jendala kaca.

"Ke kontrakanku Dis. Kau bisa tinggal di sana dulu untuk sementara. Apa kau sudah makan?" tanya Susan yang melihat Gendis tampak sedikit lemas.

"Aku sempat memakan sepotong kue yang kubawa dari rumah. Masih bisa bertahan sampai malam nanti," jawab Gendis dengan polosnya. Ia tidak ingin merepotkan Susan, mengingat uang yang dibawanya tidak banyak, hanya cukup untuk beberapa hari ke depan. Apalagi mengingat biaya hidup di Kota Jakarta sangat mahal, ia bertekad untuk tidak banyak merepotkan Susan.

"Jangan sungkan padaku Dis, aku tidak ingin kau sakit dan kita akan lebih repot nanti," ucap Susanti.

"Iya Aku mengerti, terima kasih Su... san..."

"Bagus!" jawab Susan sambil tersenyum dan mengacungkan dua jempolnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku