Damar harus menerima paksaan Halimah untuk menikah dengan Dewi. Wanita yang tidak cantik menurut dia di kampung ini. Menurut Damar, Dewi tidak enak dipandang dengan tubuh gemuknya itu. "Sana jauh-jauh. Kamu bikin gerah aja." Damar mendorong Dewi menjauh darinya. Dia merasa sesak tidur satu ranjang dengan Dewi. "Sekarang aja diusir, tadi dibelai-belai," cibir Dewi. Damar tidak membalas ucapan Dewi. Dia melanjutkan tidurnya setelah puas menikmati istrinya itu. Instagram : yuni250330 Facebook : yaynuni
Damar terlihat ogah-ogahan memakai atasan batik yang telah disiapkan oleh ibunya, Halimah. Malam ini Damar dipaksa berpakaian rapi untuk pergi ke rumah seseorang yang sangat dibencinya dari dulu sampai sekarang.
Halimah mengetuk pintu kamar Damar yang masih saja tertutup dari setengah jam yang lalu, padahal mereka sudah ditunggu oleh beberapa kerabat yang lain.
"Cepet, Mar. Dari tadi ditunggu lama banget, udah kayak perempuan aja dandannya lama," omel Halimah dari balik pintu kamar Damar.
"Iya sebentar, Bu."
Damar kembali memeriksa penampilannya. Meskipun terlihat ogah pergi, tetapi penampilan tentu saja nomer satu.
Damar dulu sangat digilai oleh gadis-gadis di desanya ini. Jadi dia harus terlihat sempurna untuk menunjang semua itu. Ya, meskipun sekarang Damar tidak tau apakah dirinya masih menjadi fantasi para gadis di sini.
Damar membuka pintu kamar, ternyata Halimah masih ada di sana menunggu ia keluar. Halimah melihat penampilan Damar dari atas sampai bawah. Halimah hanya mengetuk-ngetuk telunjuknya pada dagu tanda puas melihat penampilan Damar.
Tentu saja Halimah bisa jumawa melihat ketampanan anaknya ini, turunan siapa lagi jika bukan dari dia dan suaminya. Untung saja Halimah dulu memilih suami yang tampan, jadi Damar bisa merasakan manfaatnya sekarang.
"Ini baru anaknya ibu. Ayo ke bawah, kita sudah ditunggu." Damar hanya mengikuti ibunya dari belakang.
Meskipun dengan penampilan sempurna seperti ini tentu saja wajah Damar tidak sempurna. Damar menekuk wajahnya meskipun sudah mendapatkan pujian tampan dari kerabatnya yang lain.
"Kamu ini kenapa, Mar? Muka sudah kayak baju gak disetrika aja," ucap pamannya.
Damar tidak menggubris itu, ia melangkah ke arah mobil yang akan membawa mereka. Membawa Damar ke neraka sebenarnya menurut dia.
"Udah semua hantarannya, Bu?" tanya Haryo pada Halimah.
Halimah mengangguk, Halimah sudah memastikan jika hantaran yang akan diberikan pada calon menantunya sudah dibawa semua.
"Astaghfirullah. Senja lupa masih di kamar," ucap Damar tiba-tiba. Damar langsung turun dan kembali ke kamar untuk mengambil Senja.
Senja itu adalah anak Damar yang masih berusia tujuh bulan. Kalian benar sekali, Damar sudah duda. Bahkan Damar menduda masih dua bulan yang lalu, tetapi ibunya sudah sibuk ingin menjodohkannya dengan alasan Senja butuh sosok ibu.
Kedua orang tua Damar hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan anak mereka.
"Itu Damar masih bilang tidak butuh istri, Pak. Bisa-bisa Senja kelaparan saat kita tinggal haji," gerutu Halimah.
Haryo dan halimah memang akan melaksanakan ibadah rukun Islam ke lima itu. Namun mereka tentu saja tidak bisa meninggalkan Damar sendirian mengurus cucunya, bisa-bisa Senja jadi kurus kering menurut Halimah. Jadi dengan terpaksa mereka menjodohkan Damar dengan anak sahabat mereka sebelum musim haji tiba.
Damar kembali masuk ke mobil dengan Senja di gendongannya. Bayi itu masih tidur dengan nyenyak, tidak terganggu sedikitpun dengan kebisingan di kediaman Haryo tadi.
"Ayo jalan, Pak. Masa calonnya besannya Mbak Juminah malah datang belakangan. Ini semua gara-gara kamu, Mar," omel Halimah lagi. Semua kerabat mereka sudah jalan terlebih dahulu, malah keluarga Haryo yang belakangan.
Damar hanya memonyong-monyongkan bibirnya sambil sesekali mencium pipi Senja yang masih terlelap. Damar tidak ingin mendebat ibunya, bisa panjang jika Damar membalas perkataan Halimah.
Sedangkan di tempat lain, gadis dengan bobot badan hampir 1 kwintal itu masih di rias oleh budhenya. Senyuman tidak luntur dari bibir Dewi sejak tadi, atau bahkan sejak Dewi tau akan dijodohkan dengan Damar. Tentu saja Dewi menerima perjodohan ini dengan senang hati, apalagi Damar merupakan pria incarannya mulai SMP.
"Sudah cantik, Nduk. Tinggal ganti pakai selopnya saja," ucap Widya yang merias Dewi. Dia sangat bangga dengan hasil riasannya di wajah Dewi. Ponakannya itu terlihat semakin cantik dan anggun sekarang. Namun memang dasarannya Dewi sudah cantik dari lahir, tetapi tertutupi dengan jiwa kelakiannya.
"Terima kasih, Budhe." Dewi berusaha memakai selop yang sudah dibelikan calon mertuanya itu, tetapi terasa sesak di kaki Dewi.
"Kenapa, Nduk?" tanya Widya yang melihat Dewi seperti memaksakan kakinya untuk masuk semua ke selop itu.
"Sesak, Budhe."
Widya mengambil selop itu dan memeriksa nomernya.
"Apa ini ukuran kaki kamu, Nduk. Setau budhe punya kamu empat puluh empat, ini hanya empat puluh dua," ucap Widya sambil menunjuk ukuran di balik selop itu.
Dewi hanya mendesah saja, pantas saja selop itu sangat sesak. Ini bukan ukuran kaki Dewi yang biasanya.
"Terus aku pakai yang mana, Budhe? Ini kan sudah macing dengan kebaya yang aku pakai," kata Dewi.
Dewi tidak bisa menyalahkan siapa-siapa saat ini. Apalagi selop itu adalah kiriman dari calon mertuanya yang ingin melihat Dewi memakai pakaian sama dengan Damar.
"Kamu pakai yang ada aja, Dew. Toh, tidak akan ada yang memperhatikan juga," usul Widya.
"Masalahnya Dewi tidak punya selop atau sandal perempuan budhe. Bagaimana, dong?"
Kini ganti Widya yang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Widya juga ikut bingung jika sudah begini.
"Budhe tanyakan dulu sama ibumu, ya." Dewi mengangguk dan Widya menemui Juminah untuk hal itu. Widya berharap Juminah memiliki solusi untuk hal itu.
Juminah membawa selop yang ia punya setelah mendengar aduan Widya. Juminah tadi masih memantau persiapan di depan dan di dapur, jadi tidak memperhatikan Dewi sama sekali.
"Kamu itu sudah disuruh diet, tetep aja ngeyel," omel Juminah.
Sepertinya Dewi dan Damar kompak mendapatkan omelan dari ibu mereka sore ini. Sungguh miris. Entah bagaimana dengan nanti waktu acara berlangsung.
Setelah drama tadi berlangsung kini keluarga Haryo sudah sampai di kediaman Juminah. Iring-iringan keluarga mereka memasuki pekarangan rumah Juminah dengan Damar diapit oleh Halimah dan Haryo. Sedangkan Senja saat ini digendong oleh saudara Damar yang lain.
Acara basa-basi sudah di mulai, kini Darto yang ditunjuk sebagai juru bicara keluarga Haryo sedang mengutarakan niat kedatangan mereka.
"Sugeng rawuh bapak lan ibu sekalian. Saya sebagai Pak Dhe dari anak kami yang bernama Dewi memasrahkan sepenuhnya keputusan ini pada Dewi. Dipersilahkan pada Dewi untuk memberikan jawaban." Santoso memberikan mik pada Dewi.
Dengan malu-malu Dewi menerima pengeras suara itu. Dewi menunduk sambil berkata, "Saya bersedia menjadi pendamping Mas Damar." Semua orang tentu saja senang dengan jawaban Dewi itu, terkecuali Damar.
Damar sudah merapalkan sumpah serapah dalam hatinya. Ingin rasanya Damar kabur dari sana membawa Senja yang dari tadi masih berusaha ditenangkan oleh budhenya.
Acara tukar cincin dilakukan, untung saja cincin itu muat di jari manis Dewi. Jika tidak mungkin kedua keluarga itu akan malu dengan tamu-tamu yang lain.
Setelah acara resmi itu selesai, Damar langsung meninggalkan Dewi begitu saja. Sedangkan kedua orang tuanya yang biasanya memantau kelakuan Damar saat ini sibuk dengan yang lain.
Beberapa orang kini menikmati kudapan yang disuguhkan oleh keluarga Juminah. Damar sendiri masih sibuk menenangkan Senja yang masih saja merengek. Anak itu tidak betah di suasana ramai seperti ini.
Dewi yang tidak tau harus melakukan apa menghampiri Damar yang terlihat kesusahan di matanya. Damar terlihat keluar dari rumah untuk mencari ketenangan.
"Boleh aku gendong, Mas?" Dewi mengulurkan tangannya meminta Senja dari gendongan Damar.
Damar yang sudah tidak sanggup menangkan Senja tentu saja dengan senang hati memberikan Senja kepada Dewi.
"Awas aja nanti saya datang lagi Senja masih nangis," ancam Damar. Dewi hanya melongo mendengar itu, sedangkan Damar sudah pergi entah kemana. Sungguh tidak tau diuntung duda itu.
"Awas aja kamu, Mas. Setelah ini kamu tidak akan lepas dari aku," ucap Dewi sambil memperhatikan punggung Damar yang menjauh.
Bab 1 Pertunangan
07/11/2022