Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Aku menyusut hidung yang mulai terasa berat menghirup udara. Menyeka airmata yang mengaburkan pandangan dengan punggung tangan. Menatap dengan perasaan teriris setiap lembar hasil goresan tanganku dilahap api yang menyala di dalam drum bekas.
"Lo lagi ngapain bakar-bakar malam-malam, Beb?" sapa sebuah suara merdu bagai alunan lagu.
"Aku mau move-on, Ta," sahutku lirih dengan suara sengau.
"Eh itu sketsa wajah si Ares? Kok lo bakar?" cecar Tania sahabat satu kosanku setengah berteriak.
"Udah ngga guna." Aku menyahut sambil terus memasukkan lembaran sketsa cowok berwajah seksi itu satu persatu ke dalam drum. Setiap satu lembar yang kulemparkan ke dalam api, setiap itu pula ada yang terasa ditarik dari hatiku.
"Eh, pelet si Ares dah habis ya?" Tania menanggapi dengan kekehan geli. Mengabaikan wajahku yang sembab karena seharian menangis. "Ya sudah, sini gue bantu." Gadis berparas ayu itu menarik setumpukan kertas sketsa wajah dengan gambar orang yang sama, dari tanganku. Tanpa dapat kucegah, ia melemparkannya ke dalam drum, disambut lidah api yang seakan bersorak menerima.
Aku hanya tertegun menyaksikan puluhan, bahkan mungkin sudah hitungan ratusan lembar kertas sketsa berakhir menjadi bahan bakar api.
"Mau cerita malam ini apa besok?" Kembali suara Tania memecah kesunyian halaman belakang kosan yang mendadak terang karena api di dalam drum makin membesar.
"Besok aja ya, Ta. Malam ini aku mau sendiri dulu," sahutku merapatkan sweater rajut yang kukenakan. Berharap sedikit mengusir dingin udara Bandung yang mulai menggigit.
"Okay." Lalu tak ada lagi suara yang terdengar dari bibir mungilnya. Tania ikut duduk di bangku kosong seberang bangku yang kududuki.
"Kok masih di sini? Kamu nggak mau masuk?" tanyaku heran.
"Gue mau nemenin lo sampai kertasnya habis kebakar. Takut tiba-tiba lo berubah pikiran, terus ngambil lagi itu kertas," sahutnya santai.
"Eh buset, aku nggak sebego itu kali, Ta!" protesku memanyunkan bibir dan melipat lengan di depan dada.
"Tuh kan masih enggak ngaku aja kalau lo bego," sahutnya acuh sambil memainkan ponsel. Tania memang teman yang paling ceplas ceplos, kendati demikian aku tak pernah merasa sakit hati karena apa yang dia katakan memang ada benarnya.
****
Aku mengenal Ares—cowok yang menjadi model dalam setiap skestaku—empat tahun yang lalu. Bertemu dengannya di sebuah acara kebudayaan yang diadakan oleh salah satu Kementrian di Jakarta. Kala itu aku masih kelas dua SMA.
Cowok itu berada di atas panggung, memetik gitar dengan kosentrasi penuh. Aku bagai tersihir mendengar alunan Kiss the rain dari gitar akustik yang dimainkannya. Petikannya begitu penuh penghayatan. Aku seakan terhanyut dalam setiap nada yang ia mainkan.
Bukan hanya petikan gitarnya yang membuatku terpana, wajah si pemetik gitar pun membuat mata tak mampu berkedip. Cowok dengan style cuek, rambut ikalnya agak sedikit berantakan pada bagian poni. Hidung mancung dengan mata sayu. Pipi tirus dengan tulang pipi yang cukup tinggi.
Melihat indahnya ciptaan Tuhan yang berada di atas panggung itu, tanganku merasa gatal untuk mengabadikannya pada buku sketsa. Tanpa sadar, tanganku pun dengan mudahnya menggambarkan setiap garis wajahnya.
"Itu sketsa wajah gue?" tiba-tiba suara cempreng khas anak laki-laki yang sedang mengalami puber mengagetkanku.
Aku mendongak. Mendadak membeku pada bangku kecil yang kududuki.
"I-iya, maaf kalau kamu tidak suka," kataku dengan muka memelas.
"Kok malah gantengan sketsanya." Dia menyeringai jahil.
"Emang dasar Lo udah cakep, Bambang!" sahutku dalam hati. "Pe-de amat!" Hanya kata itu yang terlontar dari bibirku karena grogi. Dari dekat ternyata wajahnya lebih ganteng. Mungkin karena efek mata minusku, jadi kegantengannya terdistorsi oleh retina yang tidak berfungsi dengan baik.
"Ha-ha, jadi orang harus pe-de. Eh iya, gue Ares. Lo?" Dia menyodorkan tangannya. Sebuah senyum tercetak di bibirnya.
Aku yang selalu grogi berhadapan dengan cowok, apalagi cowok ganteng seperti yang tengah berdiri di hadapanku, makin membeku. Tak lantas menyambut uluran tangannya.
"Tangan gue bersih, kok." Kembali suara cemprengnya terdengar.
"Nalia." Akhirnya aku mampu bersuara meski keringat membanjiri telapak tangan dan keningku.
"Dari daerah?" Ares kembali bertanya, lalu dengan santainya duduk di sampingku.
"Iya." Aku tak berani menatapnya langsung. Terlalu silau untuk ukuran mataku. Khawatir minus mataku makin bertambah.
"Stand-nya di mana?" Seperti kesan pertama yang kutangkap dari sosok Ares, dia memang tipe cowok cuek. Mengajakku mengobrol layaknya teman lama.
"Boleh liat sketsa lo yang lain?" Dia menggeser duduknya mendekat. Memupus jarak yang tadinya cukup jauh.
"Cuma coretan-coretan iseng aja, 'kok ini," elakku.
Meski telah ditunjuk oleh pihak sekolah sebagai perwakilan bagian seni rupa, aku masih belum terlalu percaya diri untuk menunjukkan hasil karyaku kepada orang lain. Jangankan pada orang yang baru saja kukenal, pada teman-teman dekat pun aku sungkan.
Bukan karena sketsaku yang tidak layak untuk diunjukkan, tapi karena merasa bakat yang kupunya hanyalah bakat yang tidak berguna. Setidaknya itu yang sering kudengar setiap hari saat di rumah. Mama, Papa dan kedua orang kakakku selalu memandang sebelah mata hobi maupun bakat yang kupunya.
Aku lahir di keluarga yang berprofesi sebagai dokter. Papa dokter spesialis penyakit dalam, sementara Mama spesialis kandungan. Kakak tertuaku juga berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Kakak kedua, sedang kuliah di Fakultas Kedokteran di universitas negeri ternama di Bandung.
Sementara aku, jangankan hendak bercita-cita menjadi dokter, nilai esaktaku saja hanya memenuhi syarat untuk kenaikan kelas.
"Lia beneran anak Mama, nggak sih? Mama enggak salah ambil, kan, dulu abis lahiran?" ledek Daren kakak keduaku saat melihat nilai raportku yang pas-pasan.