THE MAFIA: MARIJUANA

THE MAFIA: MARIJUANA

Jean Cadieux

5.0
Komentar
46.4K
Penayangan
167
Bab

She's like Marijuana. Forbidden, dangerous, addiction, and also deadly. Daphne Madison, otak di balik kemenangan Ruthen berkali-kali, dihadapkan pada situasi di mana dia harus berlutut dan memohon kepada seorang pria, demi membalaskan dendamnya pada Edgar David Ruthen yang telah membunuh saudari kembarnya. Naas, dia harus berlutut pada musuhnya sendiri, Casillas Rodriguez, yang langsung menodongkan pistol saat dia masuk secara paksa ke markas Rodriguez dengan bersimbah darah. "Gunakanlah aku sebagai agen ganda. Aku ingin membalaskan dendam dan akan mengembalikan posisimu dari Edgar," ujar Daphne membawa tawaran yang sangat menggiurkan. "Menarik. Tapi, bagaimana bisa aku percaya pada musuhku sendiri?" balas Casillas masih menodongkan pistol. Gadis itu terdiam sejenak dan berlutut di hadapan musuhnya. "Ku mohon, Casillas. Apapun akan ku lakukan untukmu, tidak, apapun akan ku berikan padamu." "Ha! Termasuk tubuhmu?" "... ya." "!" Casillas menurunkan pistol dan menatap Daphne dengan serius. "Aku memberikanmu banyak hal, bahkan sampai hal yang tak pernah ku berikan pada siapapun. Sebagai gantinya, tolong lindungi aku agar tak dibunuh oleh Edgar." Pengkhianatan dan pembalasan dendam pun dimulai dengan sangat mulus menggunakan otak cerdik Daphne yang mampu memainkan peran dengan sangat baik. Seiring dengan itu, seperti julukan Daphne, Marijuana, Casillas pun tak mampu mengelak dan berakhir tenggelam dalam pesona Daphne yang mematikan. Akan tetapi, apakah hanya Casillas saja yang tenggelam dalam pesona Daphne? Tentu saja tidak. Karena Daphne juga merasakan hal yang sama dengan pria berambut hitam itu. Hanya saja, Daphne memiliki cara tersendiri untuk menyembunyikan perasaan yang menurutnya "tidak benar" itu. "Aku takkan pernah melepaskan mu, Daphne. Sekalipun aku harus mengikatmu di kerangkeng besi, karena aku ... mencintaimu."

Bab 1 The Beginning

***

Las Vegas, Nevada, 19.41 PDT

Dor! Dor!

Telinga Daphne berdenging saat mendengar dua buah peluru terlepas dan menembus jantung seorang wanita berambut cokelat kemerahan yang langsung tersungkur bersimbah darah. Suasana di ruangan itu langsung sepi, tanpa suara.

"Daphne," panggil seorang pria berambut hitam sembari menyerahkan pistol jenis Desert Eagle. Dia Edgar David Ruthen. Salah satu mafia dari dua mafia berpengaruh di Las Vegas, bahkan namanya telah terkenal di dunia mafia yang gelap.

"Ya, Tuan." Gadis yang dipanggil namanya itu langsung melangkah dan mengambil pistol yang dipakai untuk menembak saudari kembarnya itu.

"Fabian," panggil Edgar lagi.

"Ya, Tuan." Pria berusia empat puluh satu tahun yang berada satu langkah di belakang Edgar itu pun mengangguk.

"Bereskan dia. Terserah kau mau membuang atau menguburnya. Pastikan dia benar-benar mati. Well, pasti sudah mati, karena aku menembaknya tepat di jantung," ujar Edgar dengan seringai lebar, membuat orang-orang yang ada di sana bergidik ngeri, kecuali satu orang yang tampak tak tergoyahkan. "Daphne," panggil Edgar dengan suara lembut.

"Ya, Tuan." Daphne mengangguk kecil.

"Aku telah menembak saudari kembar mu. Dia merepotkan, tak sepertimu."

"... ya, Tuan. Maaf dan terima kasih," ucap Daphne hampir tanpa emosi. Bagi orang normal, ini bukan saat yang tepat untuk mengucapkan maaf dan terima kasih. Namun, inilah Daphne Madison.

Edgar menatapnya dengan rinci. "Kau tidak menangis?"

"Tidak, Tuan." Daphne balas menatap Edgar dengan berani. "Tidak ada alasan bagi saya untuk menangis," tambahnya membuat pria berambut cokelat itu tertawa terbahak-bahak, merasa puas dengannya.

Edgar menepuk bahu Daphne dengan bangga dan tak lupa, seringainya.

"Kau luar biasa, Daphne. Kau tak gentar bahkan setelah aku menembak mati saudari kembar mu," ujar Edgar masih dengan sisa-sisa tawanya, lalu dia berdeham singkat. "Karena aku baik hati, ku izinkan kau mengantar jalang itu untuk terakhir kalinya."

Daphne terdiam. Memandang tubuh bersimbah darah itu tanpa berkedip. Sejujurnya, dia sedang berusaha sangat keras untuk tak menunjukkan kesedihan ataupun kemarahannya di hadapan Edgar. Dan itu cukup sulit, mengingat Edgar telah membunuh satu-satunya keluarga yang dia punya tepat di depan matanya. Gadis itu menatap Edgar yang memegang dagunya.

"Jawab aku, Daphne." Edgar mengintimidasi.

"Ya, Tuan. Terima kasih," ujar Daphne mengangguk pelan.

Sudah cukup dengan jawaban Daphne yang memuaskannya, Edgar melepaskan dagu Daphne dan berjalan melewati gadis itu, namun Daphne sama sekali tak menoleh. Suara sepatu yang bergesekan dengan lantai pun terdengar menyayat hati. Satu per satu orang di sana pergi dengan perasaan takut dan segan pada Edgar yang bisa membunuh anak buahnya kapanpun dan di mana pun ketika dirasanya salah dan mengganggu.

Daphne memandang mayat saudari kembarnya di depan sana, kemudian menghela napas panjang ketika pintu besi ditutup, menyisakan dirinya dan Fabian di ruangan berbau anyir itu.

"Daphne," panggil Fabian pelan.

"Aku tahu, Fabian. Aku sudah tahu kalau ini akan terjadi karena Stephanie mengharapkan hal yang bodoh. Aku sudah memperingatinya berulang kali." Daphne menghampiri saudari kembarnya dan berjongkok di sana. "Bagaimana bisa dia dengan bodohnya berharap pada Edgar? Dia hanya melakukan hal yang sia-sia. Dia dan bayi di perutnya, mati begitu saja. Bahkan sampai detik akhir pun, dia masih bodoh."

'Dan lebih bodohnya lagi, aku tak bisa menyelamatkan kalian,' batin Daphne melanjutkan.

Fabian mengerutkan alis. Di matanya, Daphne terlihat seperti seorang gadis yang tak berperasaan, tetapi mempesona di saat bersamaan. Dia menggeram gusar menahan hasrat ingin mencabuli tubuh seksi yang keras kepala itu, setidaknya sekali.

"Kau ingin menguburnya?" tanya Fabian menghampiri.

"Tidak." Daphne membalikkan tubuh Stephanie yang tersungkur. Dia menyentuh dada kanan saudarinya yang memiliki dua buah peluru dan bersimbah darah dengan tatapan membara. "Danau Powell akan menjadi tempat yang indah untuk Stephanie dan bayinya."

***

Tidak ada kata merepotkan untuk membuang mayat di Danau Powell bagian hulu untuk Daphne dan Fabian. Itu sudah menjadi salah satu tugas mereka karena kebiasaan Edgar yang brutal.

"Bantu aku memasukkan Stephanie ke dalam tong, Fabian," ujar Daphne membuka pintu penumpang, mengeluarkan saudari kembarnya yang tak lagi bernapas dari dalam sana. Sementara Fabian pergi ke mobilnya lebih dahulu dan mengambil tong yang telah disiapkan olehnya dan Daphne sebelum berangkat ke Danau Powell.

"Kau serius, Daphne?" tanya Fabian sembari membawa tong berukuran besar.

"Serius." Daphne menarik Stephanie yang cukup berat. "Cepat bantu aku. Kita tak punya banyak waktu," tambahnya.

"Baiklah." Fabian membantu Daphne memasukkan Stephanie ke dalam tong yang ditutup rapat setelahnya. "Ku pikir kau akan mengubur atau mengkremasinya. Bukankah itu lebih baik untuk Stephanie?"

"Kau tahu dengan pasti, Fabian. Hasilnya akan sama." Daphne bersandar pada tong yang sudah dalam posisi berdiri. "Kalau aku menguburnya, Edgar bisa saja akan memintamu atau orang lain untuk menggali kuburan dan membuang mayat Stephanie, atau yang lebih parah, tubuhnya akan dicincang untuk makanan anjing kesayangannya. Kalau dikremasi, hanya akan menarik perhatian orang-orang di sekitar. Selain itu, bau dari tubuh yang terbakar pasti akan tercium. Jadi, untuk apa bekerja dua kali?"

"Er, baiklah." Sudut bibir Fabian berkedut. Daphne mengatakannya dengan sangat mudah. "Terima kasih?" ujarnya ragu-ragu.

Daphne merotasikan mata. "Tidak sepertimu," ujarnya. Tanpa basa-basi lagi, dia langsung mendorong tong tersebut ke danau dan menatapnya dengan sayu. "Beristirahatlah dengan tenang, Stephanie, Baby."

"Hanya seperti itu?" tanya Fabian mengerutkan kening. "Seingatku, kau dekat dengan Stephanie. Tidak ada ucapan perpisahan yang hangat?"

"Mengharap apa kau dariku?" celetuk Daphne mendengus kasar. "Kalau kau mau, lakukan saja sendiri," sambungnya berjalan menyusuri tepi danau.

"Daphne, kau mau ke mana?" tanya Fabian sedikit berteriak.

"Jalan-jalan," jawab Daphne.

"Dengan pakaian seperti itu?" tanya Fabian mengkhawatirkan Daphne. Gadis cantik itu hanya menggunakan kemeja berwarna putih yang telah bersimbah darah dan celana pendek hitam dengan rambut yang diikat tinggi.

"Tidak usah mengkhawatirkanku. Kalau sudah selesai mengucapkan perpisahan hangat dengan Stephanie, pulanglah ke markas. Sampaikan pada Edgar kalau aku sedang memata-matai pergerakan Rodriguez."

"Rodriguez bergerak lagi?" tanya Fabian tak jadi mendoakan ketenangan Stephanie. Dia lebih tertarik pada pergerakan Rodriguez yang dikatakan Daphne.

"Memangnya kapan dia pernah berhenti?" Daphne berbalik menghadap pria yang masih lajang itu. "Tidak jadi?"

"Apanya?" tanya Fabian dengan sudut alis yang terangkat sebelah.

"Perpisahan hangat yang kau katakan itu," jawab Daphne segera.

Fabian menoleh ke arah danau yang permukaannya tak tenang karena tertiup oleh angin. "Dia sudah cukup mendapatkannya darimu."

"Lalu, pulanglah," ujar Daphne menunjuk mobil Fabian dengan dagunya. "Aku tak butuh kau, Fabian."

Pria itu mendengus kasar dengan tangan yang berkacak di pinggang menunjukkan rasa congkaknya. Namun, itu tidak cukup karena seluruh mafia di Las Vegas pun tahu kalau Daphne lebih congkak daripadanya. "Kau memang luar biasa, Daphne."

"Aku tahu. Pergilah! Wajahmu memuakkan," ketus Daphne berdecak kecil. "Tuhan pun malas melihatnya."

"Bicara apa kau? Tuhan sudah tak melihat kita lagi. Terlalu banyak pekerjaan buruk yang kita lakukan," sahut Fabian tertawa miris.

"Banyak omong. Ku bilang, pergi!" seru Daphne mendelik tajam.

"Suasana hatimu sangat buruk, Daphne. Inikah sisi aslimu?" tanya Fabian melangkah maju. Membelai helaian rambut Daphne yang tak ikut terikat.

Daphne seketika merinding. Dia melirik tangan yang memegang helaian rambutnya itu dengan dingin.

"Mau ku patahkan tanganmu, Fabian? Aku lebih daripada mampu," ujar Daphne sangat tak bersahabat.

"Astaga ... baiklah," putus Fabian menyerah, lalu mundur beberapa langkah. Pria itu masih sayang pada dirinya dan dia tersenyum lebar. "Aku akan melaporkannya pada Edgar sesuai dengan yang kau katakan."

Daphne menjawab dengan anggukan singkat. Dia menarik napas panjang dan menatap lurus pada Fabian.

"Jangan berjalan-jalan terlalu lama. Kau bisa sakit."

"Bukan urusanmu, Fabian."

Pria itu tertawa masam. Dia melihat ke danau sekali lagi. "Semoga Stephanie tenang di sana," ujarnya pada akhirnya.

Napas Daphne tercekat. Rasa panas menggelitik tenggorokannya. Dia mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Kalau begitu, aku pergi," ujar Fabian melangkah ke mobil yang terparkir tepat di depan mobil Daphne.

Dan Daphne memperhatikan kepergian Fabian, hingga hanya tersisa dirinya di tepi Danau Powell.

Tubuh Daphne langsung meluruh di tepi danau. Dia meringkuk, memeluk dirinya yang kesepian dan dilingkupi emosi buruk dalam dinginnya malam.

"Stephanie bodoh! Sudah ku katakan, jangan pernah memberikan hatimu pada Edgar! Kau berbohong! Kau ingkar janji! Kau meninggalkanku sendirian di dunia ini!" seru Daphne melampiaskan semua kekecewaannya. Namun, di balik itu, dia lebih kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena gagal melindungi satu-satunya keluarga yang dia miliki.

Daphne menelungkupkan wajah dan menangis terisak-isak. "Kalau kau mendengarkan ku untuk kabur, kau takkan berakhir seperti ini, Stephanie ... kau membuatku menjadi kakak dan bibi yang sangat buruk," ujarnya sendu, penuh penyesalan di tepi danau.

---

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Gairah Liar Perselingkuhan

Gairah Liar Perselingkuhan

kodav
5.0

Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku