.
Juni 2014
"Semua ada 30 orang, Pak. Kecuali satu, nggak dianggap!" Perkataannya sukses membuat gelak tawa teman sekelas, kecuali gadis berambut hitam sebahu itu di pojokan. Wajahnya menunduk malu dan menahan perih di hati. Hadirnya tak dianggap teman sekelas, Pak Guru hanya menggeleng perlahan. Apakah ada seseorang yang peduli di sini? Tidak ada, semuanya rata. Rata-rata membully dan menjatuhkan.
Gadis itu bangkit, suara decitan kaki kursi membuat perhatian tertuju padanya. Ria membekap mulut menahan tawa, bisik-bisik yang terdengar kawanan sebelahnya. Ia melangkah ragu, terus menunduk karena takut melihat ekspresi musuh-musuhnya. Pasti mereka sedang diam-diam menertawakan. Gadis itu pergi keluar kelas dengan alasan ingin membuang sampah.
Ia duduk di kursi taman samping kelas. Sambil meremas rok seragamnya ia perlahan menitihkan air mata. Sebisa mungkin tangisan itu ia sembunyikan. Kemudian teringat akan sesuatu, jari kelingking. Sambil sesenggukan menahan isakan, ia mengacungkan jari kelingkingnya tinggi-tinggi.
"Alin!" Anak beransel pink itu berbalik badan, botol minuman yang ia genggam membuatnya terlihat menggemaskan. "Jangan lupa lucky finger!" teriak sang kakak mengacungkan jari kelingking. Anak itu terkekeh pelan, "Lucky finger!" Suaranya imut dan lugu. Sang kakak melambaikan tangan dan adiknya sudah hilang dari pandangan.
Lucky finger, jari keberuntungan. Sebuah kekonyolan yang ia ajarkan pada adiknya, Alininda.
"Buat apa jari kelingking, Kak?" tanya sang adik penasaran. Ara mengelus kepala adiknya dan tersenyum simpul. "Kamu tahu, 'kan kalau manusia itu tak selalu bahagia? Pasti ada kesedihan yang menghampirinya. Nah, ketika sedih itu datang, acungkan jari kelingkingmu," jelas sang kakak. "Menangislah sekencang mungkin, jangan ditahan. Dengan begitu, kita akan tenang," lanjutnya.
"Acungkan jari kelingking Alin kalau lagi bersedih, otomatis Alin ingat kakak. Kita akan menangis bersama," kata Ara sambil menuntun tangan adik ke dadanya. "Apa batin kita menyatu? Seperti saudara kembar?"
"Bahkan kakak adik aja ikatan batinnya kuat. Kakak akan merasakan kesedihan Alin, dan Alin juga tahu sakit yang kakak rasakan," jelasnya sebagai penutup malam itu. Sebelum akhirnya sang adik tertidur pulas di pangkuannya.
Benar, Ara tak bisa menyembunyikan apa-apa. Sepandai-pandainya ia menutupi itu semua, ada kalanya ia tak kuat.
"Jangan sedih. Aku ada di sini. Hapus air matamu," kata seseorang di hadapannya. Ia terkejut, lamunannya buyar. Ia mengangkat kepala sambil menjaga jarak karena takut jika orang di hadapannya itu sama. Ya, sama seperti mereka yang berniat ingin membully.
"Si-siapa ka-kamu?" tanya gadis itu gugup. Sosok di hadapannya terkekeh dan mengulurkan tangan. "Jangan takut, mari ikut denganku," kata sosok tersenyum ramah. "Kamu Ara, bukan? Nama yang cantik, seperti orangnya," lanjutnya sembari membelai pipi Ara. Gadis itu terkejut.
"Aku tidak mengenalmu! Dari mana kau tahu namaku? Siapa kamu?" Napas Ara berburu. Tangannya bergetar karena takut. Sosok itu mendekatinya, posisinya sekarang berada di ujung bangku. "Aku tahu, karena aku yang akan mendampingimu."
Ara menunduk, berpikir sejenak. Apa ini tidak terlalu aneh? Ia kembali menatap matanya, biru laut. Cantik sekali. Mata gadis berbandana ungu itu kembali membulat ketika melihat Dara terekekeh di balik pintu. Dara langsung berlari masuk kelas dan tertawa.
"Guys! Anak itu ngomong sendiri!" teriaknya hingga satu kelas mendengar dan tertawa. Lagi-lagi memang tertawa. Seketika langkah Ara terhenti tepat di depan pintu. Berbicara sendiri? Apa Dara tak melihat siapa-siapa di hadapan Ara saat itu? Mereka mulai tertawa sambil sesekali melirik jijik ke arahnya. Sungguh, gadis itu merasa seperti pelawak yang memalukan.
"Kamu? Ke mana aja? Katanya buang sampah aja, dari tadi ditunggu," kata Pak Ardi guru Bahasa Indonesia. Salah satu guru yang membenci ketidakdisplinan. Ya, orangnya tepat waktu dan intoleran. "Sini cepat!" ucapnya setengah membentak. Kaki Ara yang terpaku sedari tadi melangkah perlahan.
"Ma-maaf, Pak." Suara Ara terbata-bata.
"Pak, dia lama karena ngomong sama setan," celetuk Ria sembari menatap Ara sinis.
"Apa maksudmu, Ria? Setan apa?" tanya Pak Ardi keheranan. Ria bangkit dan mendekati gadis lugu di hadapannya. "Dia ini, Pak. Ngomong sendiri," kata remaja bermata cokelat itu. Teman-temannya tertawa, di sisi lain Ara bergeming. Mengapa ia dipertemukan dengan orang seperti ini?
"Ah, aneh-aneh aja kamu. Sana duduk!" Ria berbalik badan, melempar senyum sinisnya dan mengacungkan jari tengah. Ara memainkan lengan baju panjangnya, sesekali melirik remaja lelaki barisan depan.
"Yang di depan sok cantik banget, ya?" kata Leon sambil tertawa. Kedua temannya diam karena tak ikut menghina. Baginya, cantik itu diukur dari hati, bukan fisik. Tidak, Leon adalah remaja yang punya karakter idaman sendiri. Tentu, gadis polos dan lugu seperti Ara bukan tipenya.
"Ya, jelas lah bukan tipe gue. Anak kayak dia cocoknya jadi pembantu aja."
Ara mendengar itu semua, suara mereka cukup kencang. Ia berjalan menuju tempat duduk. Kembali, tatapan aneh orang-orang membuatnya tak nyaman. Ia duduk dan langsung mengambil buku bahasa di tasnya.
Seseorang menoleh dan bertanya, "Eh, kamu. Siapa, sih namamu? Oh, iya. Eh, anak pembawa sial, kamu tuh nggak perlu capek-capek belajar. Mending kamu jadi pemulung aja. Anak kayak kamu nggak pantes sekelas sama kami!" Ia diam, masih berusaha sabar. Helaan napasnya menjadi tanda, bahwa ia sudah cukup lelah.
"Diaz! Hadap ke depan, papan tulis di depan bukan di belakang!" teriak Pak Ardi menegur Diaz. Gadis itu gelagapan dan kembali menatap buku paketnya. Sticky notes berwarna merah ia tempelkan ke meja Ara.
'Tunggu aku nanti pulang sekolah!'
Ara melepas sticky notes itu, meremasnya penuh emosi. Apa lagi yang diinginkan musuhnya ini? Beberapa kali gadis itu mengembuskan napas, berusaha terlihat baik-baik saja. Pikirannya tak bisa tenang. Ia terus mencemaskan kegilaan yang dilakukan Diaz nantinya.
Kring, kring, kring!
"Baik, sampai di sini aja. Besok kita lanjut," kata Pak Ardi membereskan bukunya dan beranjak pergi. Ara sibuk merapikan tasnya dan bangkit dari kursi.
"Eh, kamu mau ke mana, Anak Aneh? Nggak baca sticky notes-ku tadi? Atau kamu buta?" Diaz mencengkram erat lengan Ara, membuat gadis itu kesakitan. "Jangan macam-macam, atau ... kamu lebih sakit dari ini!" ancam remaja berpita biru itu, melenggang keluar kelas.
Tanpa diduga, kedua teman Diaz sudah ada di parkiran. Ara terpaku tak berdaya ketika melihat sepedanya ada di tangan Ria. Gadis berambut gelombang itu menghampiri, "Ini yang aku tunggu. Udah lama aku gemes lihat tingkahmu yang sok polos itu!"
"Akh!" teriak Ara memegang pipinya. Kuku Ria yang tajam membuat bekas cakaran di wajah gadis malang itu.
"Sengaja aku panjangkan kuku ini buat kamu. Seneng nggak?" katanya berbangga diri seraya menatap kuku-kukunya.
Diaz muncul dan mendorong Ara hingga terjatuh. Tepat di pinggir selokan, Ria mendapat niat busuk.
"Kamu kok tanggung banget dorongnya! Sekalian ke selokan!" perintah Ria sambil berkacak pinggang. Diaz mengacungkan jari jempol dan ...
Byur!
Air selokan yang bau, kotor, jorok dan menjijikkan lengket di tubuh Ara. Lagi-lagi gadis itu terdiam tanpa suara, tanpa perlawanan. Mereka berbuat semena-mena dan menjadikan dia bahan tertawaan.
"Bangun! Nggak usah sok lemah! Kamu pikir ada pangeran kesiangan yang bakal datang nolong kamu gitu? Haha!" bentak Ria kasar. Sambil berusaha berdiri, ia melepas tas ranselnya. Buku-buku pelajaran itu basah dan kotor. Hatinya semakin kesal tak keruan.
"Kenapa? Emang kamu nggak pantes sekolah, 'kan? Bagus dong bukumu ikutan busuk kayak orangnya!" lanjut Ria kembali mempermalukan gadis itu. Belum sembuh luka di pipinya, muncul lagi luka yang baru. Ia tak mempermasalahkan baju yang kotor atau wajah yang semakin buruk. Namun, ia malu ketika dilihat orang lain seperti ini.
Ara berdiri, mengepal tangan geram sambil menatap Ria tajam. Entah mengapa, keberaniannya berkobar-kobar.
"Kalian kenapa, sih benci sama aku? Apa salahku? Apa aku pernah ganggu?" geram gadis itu akhirnya. Mereka terdiam sesaat karena biasanya Ara tak berani melawan. Ria maju selangkah, memegang ujung baju Ara yang berlumuran lumpur. Tatapannya memandang jijik, sangat menjengkelkan.
"Karena kamu, lebih busuk dan kotor dibanding lumpur ini!" Kedua temannya bertepuk tangan. Ria mundur dan jalan menuju sepeda Ara. "Ah, mau jahili nggak tega. Ya sudah, deh besok lagi aja dikerjain. Cukup buat hari ini," kata Ria sambil mendorong sepeda usang itu terjatuh.
"Ck, lihat? Ria udah berbelas kasih nggak bocorin ban sepedamu!" celetuk Dara. Ketiga remaja elite itu kompak berbalik badan dan saling merangkul bahu. Entah jenis kebahagiaan apa yang mereka lakukan setiap harinya. Dengan menyakiti orang? Tentu itu adalah hobby yang sangat menjijikkan.
Gadis malang itu terpaksa menunggu sekolah benar-benar sepi. Sinar matahari yang cukup terik membuat lumpur di bajunya mengering. Tetap saja ia terlihat seperti anak buangan. Sesekali matanya mengawasi sekitar. Sudah sepi? Dia akan mengayuh sepeda tua itu dan pulang.
"Jari keberuntungan," lirihnya pelan. Tak bisa menghindar dari tatapan orang-orang, ia hanya perlu mempertebal muka. Masa bodoh, terus mengayuh, dan kembali pulang ke rumah. Sekolah seperti neraka, dan rumah seperti penjara.
"Aku tertekan, ingin pergi selamanya."
***