Setelah Hamza menikah lagi, Annisa selalu mendoakan kedzaliman suaminya. Bukan kepada Aina, istri keduanya. Tapi kepada Annisa sendiri, agar Hamza mendapat dosa dari luka yang sengaja lelaki itu torehkan.
"Inilah doaku, yang kupanjatkan di setiap salatku, di setiap Tahajudku, satu-satunya hal yang kupinta kepada Tuhan-ku. Kuharap kamu menjadi suami yang tidak adil, kuharap kamu menjadi suami yang dzalim, kuharap pesonaku yang pudar membuatmu berpaling, hilang rasa cintamu karenanya dan kamu hanya mencintai istri keduamu. Agar halal bagiku untuk menggugat cerai kamu, agar aku bisa meninggalkanmu. Tapi sebagai suami kamu terlalu sempurna. Heran, kenapa cintamu padaku begitu kuat, seakan kamu tidak pernah mendua."
-Doa Istri Pertama-
>><<
POV Annisa
Inilah doaku, sebagai wanita. Sebagai istri pertama. Egois tidak egois, atau bahkan kurang ajar, tapi inilah doaku sebagai seorang istri.
"Mas, kuharap kamu menjadi suami yang dzalim."
Aku berbisik, saat melihat suami yang tadinya sangat kucintai bersanding dengan wanita lain. Mataku memerah, buliran air bening membasahi bingkai mataku. Kedua tangan mungilku saling mencekram satu sama lain. Sakit, sangat sakit. Luka ini begitu perih.
Tadinya, dia menjanjikan keadilan. Tapi aku tidak yakin, sekalipun iya, aku tidak mau memercayainya.
Doaku tetap sama,
"Mas, kuharap kamu menjadi suami pendusta."
Tatapanku mengintai sepasang pengantin baru yang bergandengan, melalui pijakan karpet merah, disambut begitu meriah. Mataku semakin basah, bibirku berbisik.
Dulu, kupikir pernikahan kami di masa lalu akan menjadi satu-satunya untuknya, tapi tidak. Sekarang, secara nyata pernikahan keduanya terpampang di hadapanku.
"Mas, kuharap kamu akan memberikan ketidakadilan."
"Mas, kuharap kamu terbuai oleh pesona istri keduamu, melupakanku, mengabaikanku dan membuatku terkatung-katung."
Aku tidak terima. Dia mendua, secara halal. Aku terluka, tapi dia tidak berdosa.
Jadi, kuharapkan ketidakadilannya atau kedzalimannya, agar dia berdosa atas luka yang dia torehkan sekalipun lebih mendalam.
Andai ancamanmu tidak menakutiku, di hari pertama dia meminta izin padaku untuk menikah lagi ingin aku ajukan gugatan cerai. Tapi aku tidak mau melibatkan keluargaku dalam urusan rumah tanggaku.
Aku takut untuk memutuskan karena kekuasaanmu yang berhasil mengendalikan keliargaku.
Jujur Mas, aku menyesal menjadikanmu kepala rumah tanggaku.
"Mas, kuberdoa semoga kecantikan istri keduamu membuat wajah menuaku terbuyarkan dari kepalamu."
Aku ingat, ungkapan cintanya yang masih sama. "Aku mencintaimu."
Omong kosong, mengingat kalimat buaiannya, dadaku sesak. Tentu saja dia berbohong. Tapi sekali lagi, kedzaliman atas kebohongan yang dia utarakan, tak dicatat dosa manapun untuknya. Karena jika aku membohonginya ataupun dia membohongiku, kami sama-sama tidak berdosa.
Aku memerhatikan wajah semringahnya dari jauh. Wajah tirusnya yang putih, hidungnya yang tinggi dan lurus, dan segaris senyum manisnya yang dulunya selalu memanjakan mataku.
Buliran air bening berjatuhan saat melihat lengannya mengetat di pinggang istri barunya. Kepalaku menunduk.
Mas, ini doaku.
"Semoga, kamu menjadi suami yang dzalim." Dan aku bisa menggugat cerai padamu dan berpisah darimu. Agar luka halal ini bisa dihapus.
Hinanya diriku berharap dan berdoa, lelaki setaat dan sesaleh dirimu jatuh pada dosa yang menjanjikan neraka?
.
.
Apakah Tuhan akan mendengarkan doaku? Apa yang kudoakan selalu sama. Doa yang buruk, seperti mengumpat suamiku sendiri.
Ibadah kuperbanyak dari hal rutin yang biasanya kulakukan, kubentangkan tangan. Mengucap nama suamiku, dan mengharapkan kedzalimannya. Tidak keadilannya. Dan kelalaiannya.
Tanpa malu, aku berdoa kepada Tuhan-ku seperti itu. Di setiap aku bangun Tahajud, dengan kaki kelu sampai Subuh, doaku masih sama.
Mas, semoga kamu menjadi suami yang dzalim.
Tak ada yang lain. Aku tak mengharapkan kamu mempertahankanku, ataupun menceraikan istri keduamu. Aku hanya mengharapkanmu menjadi suami yang dzalim. Agar luka halal yang kamu torehkan, menjadi sumber dosa untukmu. Agar ketidakadilanmu yang kudoakan, bisa menghalalkan diriku untuk pergi darimu.
Sebagai wanita yang lemah, aku tak bisa melakukan apapun selain berdoa. Tuhan mungkin tidak akan mendengarkan doaku atau bahkan mengabaikannya. Tapi sebagai istri pertama yang tak berdaya setelah dimadu suaminya, hanya satu hal yang bisa kulakukan. Yaitu berdoa.
Mengharapkan kedzalimanmu. Agar aku tidak bisa melakukan tindakan lain selain itu.
Setelah resepsi pernikahan Mas Hamza dengan Aina menjelang malam, apa yang akan mereka lakukan dan terbayang di kepalaku, kugantikan dengan dzikir.
Aku harus membuyarkan bayanganku yang membuat kepala dan hatiku panas, jemariku yang menggilir batu tasbih gemetar. Saat kubentangkan tangan hingga larut, doaku masih sama.
Mas, semoga kamu menjadi suami yang dzalim.
Ini ketidakadilan bagiku saat aku terluka, menangis dan tertahan sampai tidak bisa pergi, tapi kamu tidak berdosa untuk itu. Sempat menidurkan diri hanya setengah jam, kulanjutkan dengan Tahajud. Mendoakan hal yang sama, berdiri tegak, beribadah, terus sampai kakiku kelu.
Setelah pergelangan kakiku sakit, aku bersujud. Menangis, berdoa kepada Tuhan. Bukan mengharapkan ketabahan ataupun kesabaran dalam menempuh rumah tangga ini. Tapi ... Mas, semoga kamu menjadi suami yang dzalim. Tangisku berubah menjadi batuk parau di atas sajadah. Ketukan pelan di pintu, saking lirih suaranya aku tidak menyahut karena tidak mendengar.
Pintu yang lupa kukunci didorong, sosok itu terenyuh. Melangkah, mendekatiku dan mengusap punggungku. "Nisa ...." panggilnya, dengan suara hangatnya. Aku mengangkat kepala, berhenti membisikkan doa di atas sajadah. Mata merahku menatap Mas Hamza yang berjongkok di samping tubuhku, matanya berair.
Tangannya beralih ke pipiku mengusap pipi kusamku, "maafkan Mas, ya sayang." Kulihat sudut bibirnya bergetar. Dia pikir, aku beribadah berulang kali, bersujud, berdoa sampai larut, mendoakan ketabahan hati dan kesabaran diri atas pernikahan ini untuk bertahan?
Tidak, Mas. Aku hanya mengharapkan kedzalimanmu agar aku punya alasan untuk pergi.
Aku hanya mengangguk, menegapkan punggung dan mengusap sudut mata dengan kain serat mukenah.
"Kenapa Mas di sini?" Tanyaku, sekilas melirik wajah teduhnya di bawah gelapnya ruangan yang memang kusengajakan untuk mematikan lampu terlebih dahulu sebelumnya. "Bagaimana dengan Aina?"
"Tertidur di kamar." Jawaban lirihnya terdengar seperti merasa bersalah kepadaku.
Dari dekat, aku bisa mencium aroma Aina di tubuh Mas Hamza. Napasku sempit.
"Pergilah, Mas," pintaku.
"Kamu mengusirku?" Tanya Mas Hamza, seperti tersinggung.
"Jangan meninggalkan Aina, ini tidak adil untuknya."
Aku harap aku yang akan menjadi pihak yang tersakiti, Mas. Cukup dzalimi aku dan gilai istri barumu yang cantik itu.
Mas Hamza menghela napas.
"Aku masih mencintamu, Nisa. Sekalipun ada Aina di dalam pernikahan kita, aku tetap mencintaimu." Tangan besarnya yang lembut menyentuh pipiku.
Aku hanya mengangguk. Tapi, Mas. Aku sudah tidak mencintaimu.
Bab 1 Doa Buruk Untukmu, Mas
18/05/2022
Bab 2 Daun Muda
19/05/2022
Bab 3 Belum Siap
19/05/2022
Bab 4 Luka Pudar
19/05/2022
Bab 5 Manusia Tiada Bisa Adil
19/05/2022
Bab 6 Tumben
19/05/2022
Bab 7 Alasan Lucu
19/05/2022
Bab 8 Bau Lemon
19/05/2022
Bab 9 Mas Attar
19/05/2022
Bab 10 Istri Kedua Tak Tersentuh
19/05/2022
Bab 11 Tiada Keadilan
20/05/2022
Bab 12 Menemui Attar
21/05/2022
Bab 13 Wanita Ular
26/05/2022
Bab 14 Dosa Masa Lalu
26/05/2022
Bab 15 Memendekkan Umur Annisa
26/05/2022
Bab 16 Tawaran Aina
10/06/2022
Bab 17 Keputusan Hamza
10/06/2022
Bab 18 Khayalan Hamza
10/06/2022