Doa Istri Pertama
utatap dada bidangnya yang terbuka, dia me
ari rengkuhannya. Melirik perutku, yang tidak seramping dulu. Terlihat melar, kubandingkan
. Apa-apaan aku? Sekalipun
enarik. Maka Aina hadir untuk meleng
tanganku dicegat dan ditarik kuat, tubuhku
s jijik, enggan bersentuhan dengan kulit tubuh Mas Hamz
diri. Setelah keluar dari kamar mandi, kudapati Mas Hamza sudah bangun. Duduk di tepi ranjang den
k hari ini, besok dan lusa bermalamlah de
hanya mengan
gil pelan. "Boleh aku tingg
ahut Mas Ha
mah yang berbeda 'kan? Tak apa Aina tinggal di s
di sini. Aina serumah denganmu juga demi keb
t apa maksud, Mas?"
satu kamar 'kan? Aina serumah denganmu, Mas punya alasan untuk itu.
engerti maks
memotong dan menga
rdiri setelah memakai kaus atasnya. Dia membuka pintu kamar dan berlalu ke kamar
njadi suami yang sempurna dalam keadilan dan tetap memperlakukanku dengan baik? S
rang. Seolah-olah Aina hanya menumpang di rumah ini. Melihat sikap Mas Hamza, perasaannya dan perlakuannya
keadilannya sempurna, aku tak ma
u. Kurasa aku masih cukup cantik. Rambutku yang tergerai
p jenjang, lalu mengoles krim dan meratakannya di kulit. Usapan krim di b
nt
i s
ti
i k
k je
idak m
i atau berdandan. Toh, secantik apapun aku, sesusah apapun aku berusaha
g kurang menarik minat, satu-satunya gamis yang bahkan tak pernah kupakai sebelumnya. Kuamati wajahku sekal
g. Bagiku, aku yang selaku istri utama di rumah ini tak ada bedanya dengan pembantuku yang l
i pergelangan tangannya. Dia bersiap hendak bekerja. Sedangkan Aina bagaikan d
mempermalukan diriku
perhatikan terus oleh Mas Hamza. Dia melirik
dibawa masuk ke dalam kamarku, Mas Hamza sibuk memilihi pakaian di dalam
i, M
itu! Sekarang jug
terlepas langsung di hadapannya. Aku memakai gamis yang dipilihn
ersihkan wajahku yang kusam dengan kapas dan cair
a Hamza yang fokus meneliti wajahku. Matanya mengerjap, mengarah ke lengkungan bibirku yang pucat. Aku bisa merasakan bib
n punggung kepalaku. Menciumku, perlahan. Perlahan kutarik wajahk
eharusnya kamu tidak meninggalkannya sarapan sendirian." Kedua tang
aku bersuara, semakin mengge
aku bergeming di tempat. Kesal rasanya saat luka ini mulai pudar, sikapnya masih
pun Mas Hamza, luka yang
in, tetap seg