Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
37
Penayangan
10
Bab

Aditya seorang pria sukses, CEO perusahaan besar, tak menyangka dipertemukan kembali dengan wanita yang dicintainya bernama Aini, dalam keadaan menyedihkan. Aini mengalami gangguan jiwa akibat tekanan mental dari suaminya yang dulu dijodohkan dengannya. Aditya sangat terpukul melihat kondisi Aini, wanita yang dahulu telah mengubahnya dari pria flamboyan menjadi pria baik dan sukses. Apa yang akan dilakukan Aditya terhadap Aini?

Bab 1 1. Pertemuan

Siang hari, sinar matahari terasa membakar kulit, membuat otak serasa meleleh dan makin oleng. Kepalaku terasa kliyengan mencari kunci mobil yang jatuh entah di mana.

Aku ingat tadi menyimpannya di saku celana. Rupanya karena terburu-buru, jatuh tanpa terasa. Gara-garanya si Tasdika menyuruhku cepat menjemputnya di dekat taman kota. Dia baru saja mengambil dokumen yang beres di foto copy. Tadi aku drop dia duluan di tempat foto copy, sementara aku mampir dulu ke supermarket, buat membeli pesanan mama.

"Ampuun, dah! Gue sudah keliling beberapa kali mengitari taman, kalau disambungin sudah sampai Jakarta Surabaya. Itu kunci seperti lenyap ditelan bumi," gerutuku sambil beristirahat sejenak di kursi taman, meredakan napas yang terasa ngos-ngosan, seperti habis lari maraton.

"Gara-gara kliyengan nyari lu, yang malah menunggunya nyempil di pojok taman. Kan gue jadi siwer dari tadi sibuk mencari, jadi lupa menyimpan kunci mobil di mana." Aku melotot ke arah Tasdika yang nyengir merasa tak bersalah.

"Tapi gue yakin tadi beneran di masukkan saku," sambungku kukuh ingatnya di sana.

"Santai dulu, Bro. Tarik napas, terus ... embuskan," ucap Tasdika konyol

"Lu kira gue mau melahirkan?" Aku menoyor kepala Tasdika gemas. Lagi pusing begini, dikasih saran tak jelas. Somplak!

"Ya, terus bagaimana? Apa gue harus bilang 'wow' gitu? Atau bertanya ke Mbah Google buat nemuin kunci hilang, gitu? Emang bisa?" sungut Tasdika kesal. Bibirnya mengerucut. "Adit, tingkah lu bikin sariawan gue kambuh aja!"

"Lu kalau ngomong waras dikit napa, Dik?" gerutuku sebal.

Tasdika malah cengengesan sambil menggaruk kepalanya seperti biasa kalau lagi iseng.

"Lu sih, coba tadi nggak nyuruh gue buru-buru jemput, pan kita selamat. Jam segini pasti sudah bisa meeting. Terpaksa gue atur jadwal meeting lagi, molor dua jam jadinya. Untung Pak Arief mau jadwalnya diundur." Aku terus mengomel sambil memijat kaki yang terasa pegal, dari tadi keliling terus mencari keberadaan kunci mobil. Akan tetapi, tetap saja raib, tidak tahu rimbanya.

"Gue males urus-urus kehilangan STNK. Harus lapor ke kantor polisi, bikin iklan kehilangan, urus ini-itu sampai Samsat, atau mau nembak lebih mahal lagi."

Tasdika terdiam mendengar aku terus mengomel panjang kali lebar kali tinggi.

"Pokoknya gue nyerah." Aku mengembuskan napas kesal. "Kalau ada orang yang menemukan kunci mobil gue sekarang. Kalau dia laki-laki, gue angkat jadi saudara. Kalau dia wanita, gue---" Aku terdiam sejenak, ragu-ragu meneruskan. Ini sudah kayak pengumuman seorang pangeran di negeri dongeng.

"Kalau wanita, mau diapain?" tanya Tasdika tak sabaran. Ternyata dia kepo akut.

"Kawinin!" ceplosku asal.

"Astaga! Lu jangan sekata-kata, Adit. Serius... Gimana kalau ketulis sama malaikat omongan lu yang barusan itu tuh!" protes Tasdika kaget. "Secara umur lu udah dua delapan. Lebih dari cukup buat kawin. Bagaimana kalau Tuhan mencatatnya, dan menjadikan nyata, hah?!"

Tasdika ternyata tak main-main, dia terus mengomeli ruanganku yang kadang tak berpikir dulu sebelumnya.

Aku terdiam. Jawaban barusan iseng asal nyeplos saja, tanpa serius memikirkan akibatnya.

Aargh, dasar Aditya, yang masih kadang seenaknya hati. Aku terus menggerutu dalam hati.

"Gue ralat..." Akhirnya mencoba menghapus ucapan tadi.

"Jawaban yang pertama, itu yang sebenarnya, dan didengar semesta," ucap Tasdika lagi yang sering ikut kajian. "Makanya jangan sembarangan ngomong!"

Aku kembali diam. Kepala makin terasa puyeng, selain memikirkan kunci mobil hilang, perut juga lapar. Rencananya aku akan meeting dengan klien, sambil makan siang di sebuah resto.

Mataku memindai keadaan sekitar taman kota. Ada beberapa orang sedang duduk santai di kursi taman sambil mengobrol. Beberapa pedagang lalu lalang menawarkan barang dagangannya. Mataku menangkap sesosok tubuh yang berjalan mendekat.

"Nah, lho. Kalau wanita jadi-jadian itu yang nemuin kunci mobil, apa lu akan kawinin juga?" tanya Tasdika sambil menunjuk ke seorang pengamen wanita menor membawa kecrekan, yang mendekat ke arahku.

Oalah! Aku menelan ludah yang terasa seret. Bagaimana kalau yang diucapkan Tasdika benar? Pengamen wanita itu menemukan kunci

mobil, dan aku harus ...

Aargh, dasar bodoh! Tidak!

Aku menoyor kepalaku dengan gemas. Ah, dasar, kanvas rem mulutku ini sepertinya sudah aus, jadi ucapanku tak bisa di rem sama sekali.

Aaargh! Aku mengembuskan napas kasar. Nyesel sekali sampai ke tulang iga!

"Permisiii!" sapa pengamen genit itu mengagetkan aku.

"I-iya...." Ucapanku seperti nyangkut di tenggorokan. Jangan-jangan dia yang menemukan kunci mobil? Oh, no!

"Ka-kamu mau ap-apa?" Mendadak aku gugup.

"Aku mau nyanyi, Mas. Request lagunya apa? Pasti kukabulkan dengan suara merdu ini, Ciin!"

Aku menghela napas lega. Syukurlah, ternyata pengamen itu cuma mau nyanyi saja.

"Terserah lagu apa, yang penting cepat kelar lagunya!" titahku.

Si pengamen tertawa genit dengan bibirnya yang dower bergincu tebal. Wajahnya sudah seperti buah kesemek. "Baiklah, aku nyanyi lagu jatuh bangun sekarang, ya. Cekidot!"

"Itu lagu lu, Dit." Tasdika terkikik meledek.

Aku mendengkus sebal. Pengamen itu bernyanyi dengan suara falsnya. Ku biarkan saja. Mata ini kembali sibuk memindai ke berbagai arah.

Pandanganku berhenti di satu sosok yang sedang duduk di tembok pemisah taman dan trotoar. Mataku melotot kaget pada satu benda yang sedang dia mainkan. Satu kunci berikut dompet kecil tempat STNK, sedang digoyang-goyangkan di tangannya.

Yang membuatku tambah kaget, sosok wanita itu memakai baju dekil, bahkan ada sobekan di sana sini. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi wajahnya yang sedang menunduk, memandangi kunci yang digoyang-goyangkan di tangannya.

"I-itu kunciku. Tapi...itu siapa yang pegang kuncinya?"

"Siapa, Mas?" tanya pengamen itu yang sudah selesai bernyanyi. Lalu dia mengikuti arah telunjukku.

"Oh, itu orang gila. Sudah dua hari duduk di taman ini. Tiap ada yang mendekat, dia langsung ngamuk," sahut si pengamen.

"O-orang gila?" Aku kaget tak kepalang. Bagaimana kalau ucapanku yang tadi nyeplos ditulis malaikat seperti kata Tasdika? Jika yang menemukan kunci mobil seorang wanita, bakal kujadikan istri.

Ah, tidak! Aku langsung mengusap wajah kasar. Itu tadi asal nyeplos saja, lagian sudah kuralat. Tak mungkin terkabul.

Aku sodorkan uang sepuluh ribu pada si pengamen.Tentu saja si pengamen kegirangan. Dengan hati tidak karuan aku mencoba mendekat ke arah wanita yang disebut gila tadi.

"Permisi ...Mbak," sapaku hati-hati sambil berdiri di depannya.

Wanita itu berhenti memainkan kunci di tangannya. Wajahnya mendongak pelan, bersamaan dengan angin yang menyibakkan geraian rambut di wajahnya. Wajahnya jadi jelas terpampang di depan mataku.

Aku terkesiap. Mataku membulat sempurna, tenggorokan terasa tercekat karena kaget.

Wajah itu ... Aku sangat mengenalnya.

Mata lentik dengan hidung bangir, bibir tipis merah alami, meski wajahnya terlihat kotor, garis kecantikannya tidak hilang.

"A-Aini?" desisku kaget.

Nama yang tiga tahun lalu bersemayam indah di hati. Apakah wanita gila ini benar dia?

**

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Lina NS

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku