Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
I Love My Daughter's Best Friend

I Love My Daughter's Best Friend

El Zahrana

5.0
Komentar
52
Penayangan
2
Bab

Lima belas tahun menjadi duda membuat seorang Serkan Faruk Hakeem mati rasa terhadap kaum wanita. Ia betah hidup menyendiri sambil membesarkan putri semata wayangnya hingga berhasil menyekolahkannya ke jurusan Ilmu Hukum sama seperti dirinya. Ia bangga pada anak gadisnya, akan tetapi di sisi lain ia dibuat pusing dengan permintaan konyolnya. Bagaimana bisa duda berumur sepertinya dijodohkan dengan Naura Athiyah, sahabat putrinya sendiri?

Bab 1 Tawaran Dilara

Suasana hening menyelimuti ruangan kerja dengan warna coklat dan putih yang mendominasinya. Seorang pria berkulit putih, memiliki mata bulat yang indah, hidung mancung, rahang tegas yang disertai bulu-bulu tipis, dan juga kerutan di beberapa bagian wajahnya sedang membaca salah satu dokumen yang berisi gugatan cerai seorang aktris cantik yang tengah naik daun.

Aktris tersebut mengajukan gugatan cerai karena suaminya telah melakukan tindakan penganiayaan terhadap dirinya selama satu tahun terakhir, bahkan ia pernah dirawat di ruang ICU karena mengalami luka bakar di beberapa bagian tubuhnya akibat tersiram cairan kimia berbahaya. Ia menggunakan jasa pria itu agar memuluskan gugatannya. Tentu saja agar ia segera bercerai dan sang suami dijebloskan ke penjara. Pria itu mengamati surat hasil visum dari rumah sakit beserta foto-foto bagian tubuhnya yang terdapat luka akibat penganiayaan tersebut.

Pria itu mengambil gagang telepon yang terletak di atas meja kerjanya dan menghubungi sekretarisnya.

"Gisella, hubungi Nyonya Vania sekarang! Iya, yang aktris korban penganiayaan itu. Sampaikan bahwa berkas gugatannya sudah lengkap. Berkas ini saya sendiri yang akan setor ke pengadilan. Dia tinggal tunggu surat panggilan sidang di pengadilan agama nanti. Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu!"

Pria itu menutup teleponnya. Ia menghela napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan kembali pekerjaannya. Pikirannya tentang kasus perceraian yang tengah ia tangani membuatnya tersenyum kecut.

Serkan Faruk Hakeem adalah nama pria itu. Ia seorang duda berusia 41 tahun yang berprofesi sebagai pengacara yang terkenal karena kecerdasannya dalam membantu kliennya dengan kasus hukum yang bermacam-macam, mulai dari perceraian, sengketa lahan atau harta warisan, penggelapan dana, dan berbagai kasus kriminal lainnya.

Tidak mudah bagi seorang Serkan untuk menjadi seperti saat ini. Ia pernah bekerja di firma hukum milik orang lain selama sepuluh tahun sebelum akhirnya ia memiliki modal yang cukup untuk membangun firma hukumnya sendiri. Kini firma hukum yang ia dirikan memiliki sepuluh orang pegawai dan lima pengacara yang berusia lebih muda darinya namun cakap dalam bekerja seperti dirinya.

Semua kesuksesan yang ia raih hanya dirinya dan putri tunggalnya yang menikmatinya. Selama lima belas tahun ia menjadi single parent, menjadi ayah sekaligus ibu untuk putrinya yang bernama Dilara Feriha Azra. Bila ia bekerja, putrinya ditemani baby sitter yang bekerja dari pagi hingga ia pulang dari kantor. Setelah baby sitternya pulang, ia mengambil peran sebagai ibu untuknya, mulai dari menyuapinya, membuatkan susu, membacakan dongeng, dan menemaninya bermain. Semua ia jalani tanpa bantuan sosok istri.

Serkan merasa tak membutuhkan sosok istri. Cukup sekali ia terluka karena pengkhianatan seorang wanita. Cemila yang berprofesi sebagai model tega berselingkuh dengan fotografer yang merupakan partner kerja mantan istrinya tersebut, bahkan Cemila lebih memilih pergi tanpa mempedulikan putrinya yang waktu itu berusia enam tahun terus menangis karena berusaha mencegah kepergian ibunya. Ia pergi karena menilai Serkan tak bisa memberikan apa yang ia inginkan karena saat itu Serkan masih harus menjalani pendidikan profesi khusus advokat hingga Serkan belum bisa memberikan nafkah yang cukup untuknya dan putrinya.

Pernikahan Serkan dan Cemila memang tidak diawali dengan cara baik-baik. Lebih tepatnya, mereka terpaksa menikah karena kesalahan satu malam yang mereka lakukan di bawah pengaruh alkohol di klub malam. Pertama kali mereka mabuk dan pertama kali itu pula mereka melakukan hubungan layaknya suami istri. Padahal usia mereka saat itu masih sangat muda. Serkan berusia dua puluh tahun dan Cemila berusia delapan belas tahun. Sebelumnya mereka adalah teman baik. Status mereka yang masih mahasiswa membuat mereka merasakan kesulitan ekonomi di awal pernikahan. Meskipun begitu, orang tua mereka masih berbaik hati membantu mereka secara finansial hingga hidup mereka menjadi lebih baik. Pernikahan yang tanpa landasan cinta, akan tetapi bagi Serkan itu tak menjadi masalah. Ia sudah berusaha maksimal menjadi suami dan ayah yang bertanggungjawab untuk Cemila dan Dilara meskipun Cemila seperti tak menganggap usaha kerasnya. Cemila yang terbiasa hidup dalam kemewahan tak mampu diajak hidup sederhana bersama Serkan hingga Cemila tertarik menjadi seorang model dan enggan mengurus Dilara yang masih bayi, bahkan Dilara kecil tak pernah merasakan setetes pun ASI dari ibu kandungnya.

Perceraiannya dengan Cemila tak hanya melukai hatinya. Putri satu-satunya pun menjadi begitu benci pada ibunya itu. Serkan memang tak memiliki sedikit pun rasa cinta untuk Cemila. Namun, tetap saja egonya tetap terluka karena untuk pertama kalinya ia dikhianati seorang wanita. Akhirnya ia tetap sendiri sampai detik ini. Baginya, cinta hanyalah omong kosong. Sosok wanita hanya akan tertarik pada dirinya yang sekarang, bukan pada dirinya di masa lalu yang belum memiliki apa-apa. Intinya, ia menganggap tidak akan ada wanita yang tulus mencintainya dan juga putri tunggalnya.

Serkan tersadar dari lamunan panjangnya. Ia mengusap kasar wajahnya lalu kembali menenggelamkan diri dalam kesibukan. Kasus hukum yang akan ia tangani bulan ini cukup banyak dan yang lebih mendominasi adalah kasus perceraian.

Setelah tiga jam, pria itu melepaskan kacamatanya lalu memijit pelan keningnya. Ia menarik napasnya lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia bangkit dari kursi kebesarannya lalu berjalan mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih dingin dari dispenser di ruangannya itu. Sensasi sejuk ia rasakan saat air perlahan turun menuju kerongkongannya yang terasa kering. Setelah dahaganya hilang, ia meletakkan gelasnya lalu kembali duduk di kursinya. Tak lama ia mendengar ponselnya bergetar. Nama putrinya terlihat di layar ponselnya.

"Papa! Jadi jemput gak sih?" tanya Dilara dengan nada manja sesaat setelah Serkan menjawab teleponnya.

"Jadi, Sayang. Ini lagi siap-siap. Kerjaan Papa baru beres," jawab Serkan.

"Ya udah, Dilara tunggu Papa. Bye!"

Serkan tersenyum saat Dilara mematikan panggilannya. Ia merapikan sejenak penampilannya sore ini. Gurat kelelahan terlihat jelas di wajah tampannya. Namun, ia tak peduli apapun jika itu menyangkut putrinya. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera mengambil kunci mobil, tas kerjanya, dan jas biru navy untuk ia pakai kembali. Setelah itu, ia meninggalkan ruang kerjanya menuju lantai satu dan bersiap meninggalkan kantor firma hukumnya.

***

Di halaman gedung fakultas Hukum, seorang gadis berambut panjang dengan warna coklat bernama Dilara mengentakkan kakinya karena kesal teleponnya tidak dijawab oleh sang ayah. Sudah satu jam ia menunggu sejak ia menelepon terakhir kali, tetapi ayahnya belum datang juga. Naura, sahabat gadis itu hanya bisa menenangkannya.

"Ih, kesal banget deh! Papa mana sih?"

Gadis yang mengenakan jilbab hijau muda dan gamis hijau muda dan putih itu mengusap pelan pundak Dilara.

"Sabar, Dilara! Papa lo pasti masih sibuk sekarang. Lo tungguin aja!"

"Tapi kan dia udah janji sama gue, Ra! Ih, Papa!"

Naura hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia begitu maklum dengan sikap manja Dilara jika itu berkaitan dengan ayahnya. Apalagi saat ini Dilara tengah menghadapi tamu bulanannya. Lengkap sudah.

"Sini deh! Lo duduk dulu! Tarik napas dalam-dalam, terus hembuskan pelan-pelan!"

Dilara mengikuti perintah Naura dan ia melakukannya berulang-ulang hingga ia perlahan tenang.

Naura mengeluarkan minuman coklat dingin yang sempat ia beli di kantin gedung fakultas Hukum, tempat Dilara kuliah, saat ia berniat menemui gadis itu. Ia yang melihat minuman itu segera meraihnya dengan mata berbinar.

"Ah, Naura! Lo benar-benar tahu keinginan gue. Thanks!" seru Dilara.

Naura lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Ia sendiri tengah membuka botol air mineral dingin untuk dirinya dan segera meneguknya perlahan.

"Ra, mau gak lo jadi mama gue?" tanya Dilara.

Naura tersedak. Ia mendelik pada Gaby yang memasang ekspresi tanpa dosa.

"Lo kalau ngomong kadang gak pake otak, ya! Ya kali gue jadi ibu tiri lo. Emang lo gak takut kalo gue tiba-tiba jadi ibu tiri yang jahat gitu?" Naura menjawab dengan nada ketus.

"Eh, Naura, kita itu udah sahabatan dari SMA. Lagi pula muka lo tuh gak cocok jadi orang jahat," ujar Dilara

Naura terkekeh sambil memukul pelan pundak Dilara. "Gue terlalu muda buat papa lo itu."

"Ra, umur papa gue emang udah kepala empat, tapi fisiknya masih kuat lho. Lo kan belum pernah lihat papa gue sih, jadi lo mikir gitu. Makanya, lo temenin gue di sini biar lo tahu betapa gantengnya papa gue!"

"Oh, jadi ini tujuan lo minta gue ke sini?" Mata Naura memicing.

Dilara hanya tersenyum geli sambil mengangguk. Pemandangan yang membuatnya begitu menyebalkan di mata Naura. Naura mendengus kesal dan memilih meneguk air dinginnya hingga tersisa setengah botol.

"Lo jangan terlalu berharap, Dil! Papa lo pasti punya kepribadian yang lebih matang dibanding gue. Gue yakin kalo tipe papa lo itu bukan gue. Lo cari deh wanita lain yang lebih dewasa dari gue!"

"Yah, Naura! Padahal dari dulu gue pengen banget jodohin lo sama Papa," ujar Dilara, lirih.

"Dari dulu? Sejak kapan?" tanya Naura tak percaya.

"Sejak pertama kali gue ketemu lo!" jawab Dilara.

"What? Itu sih pas kita masih pake seragam putih abu-abu! Yang bener aja lo, Dilara!"

Naura menghela napas pelan. Dilara masih menampilkan wajah innocent seraya memohon padanya.

"Ra, please! Cuma lo kandidat ideal untuk jadi ibu tiri gue. Mau, ya?"

Naura menggelengkan kepalanya.

"Atau gini aja deh, Ra. Lo kenalan dulu sama Papa beberapa lama. Kalo lo gak suka, lo boleh kok nolak. Meskipun gue ngarep sih lo terima. Gimana?" tawar Dilara sembari memainkan alisnya.

Naura terdiam. Pikirannya menolak, tetapi hatinya tidak tega pada sahabatnya itu. Sahabat yang selalu menemaninya di saat ia kesepian, bahkan tak jarang Dilara menginap di kos sederhana yang sudah ia tinggali sejak ia SMA. Dirinya yang yatim piatu sejak SMP dan keluarga dari pihak ibu dan ayahnya yang acuh tak acuh padanya membuat ia begitu memahami perasaan Dilara yang juga selalu kesepian.

Dilara tumbuh tanpa pengasuhan sang ibu dan sang ayah yang sibuk bekerja membuat ia begitu beruntung memiliki sahabat seperti Naura, sosok gadis lemah lembut namun berhati baja.

Sejak dulu, ia menginginkan sosok ibu seperti Naura, tetapi ia malu mengungkapkannya. Meskipun mereka seumuran, Dilara melihat Naura memiliki pribadi yang lebih dewasa dibanding dirinya. Ia yakin inilah waktu yang tepat mempertemukan Naura dengan ayahnya. Ia hanya ingin melihat ayahnya bahagia dengan hidup bersama wanita yang tepat. Ia yakin Naura-lah wanita itu.

Setelah Naura berpikir sejenak, ia menganggukkan kepalanya. Dilara bersorak kegirangan karena sahabatnya mengabulkan permintaannya. Dilara memeluk erat Naura hingga gadis itu merasa sesak napas.

"Dil, Lepasin! Gue gak mau mati muda!"

Dilara segera melepaskan pelukannya sembari terkekeh, sedangkan Naura hanya mendengus kesal.

Sebuah mobil Mercedes Benz silver keluaran terbaru muncul di hadapan mereka. Seorang pria keluar dari dalamnya sambil tersenyum hangat pada mereka. Dilara berlari untuk segera memeluk sang ayah.

"Papa!" seru Dilara.

Serkan menyambut putrinya dengan pelukan hangatnya. "Maaf, ya. Papa telat."

"Iya, Papa telat banget! Untung aja ada sahabat Dilara di sini!"

Serkan mengalihkan pandangannya dan terpaku sejenak pada tatapan teduh dan senyum ramah gadis itu lalu ia balas dengan senyum tipisnya.

"Ra, sini!"

Naura terkejut dan melangkahkan kakinya dengan ragu. Dengan tak sabar, Dilara menarik lengan Haura agar segera sampai di hadapan ayahnya.

"Papa, kenalin sahabat Dilara"

Naura menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya seraya tersenyum ramah.

"Saya Naura, Om!"

"Saya Serkan, papanya Dilara. Terima kasih sudah menemani putri saya," kata pria itu.

Naura hanya menganggukkan kepalanya sambil tetap tersenyum.

"Ra, gak apa-apa nih gue tinggal? Lo jadi naik motor sendiri deh," ujar Dilara yang merasa tidak enak.

"It's okay, Dil! Gue udah biasa sendiri kok."

"Lain kali kita pulang bareng ya, Ra. Bye!" pamit Dilara sambil melambaikan tangannya.

Naura hanya membalas lambaian tangannya sambil tersenyum. Ia terus berdiri di tempatnya hingga mobil mewah itu menjauh.

***

Dilara tengah menyiapkan makan malam bersama Danti, asisten rumah tangga yang telah mengasuhnya sejak ia ditinggalkan ibunya. Serkan yang baru turun dari kamarnya setelah ia membersihkan diri terkejut melihat putrinya sibuk di dapur yang menyatu dengan ruang makan.

"Tumben anak Papa sibuk di dapur. Kamu sehat, kan?"

"Ih, Papa! Dilara sehat-sehat aja tahu! Papa tuh yang terlalu sibuk sampai gak liat perubahan aku!" dengus Dilara.

Serkan menatap Dilara dengan rasa bersalah. Ia melangkah menuju putrinya lalu mengusap pelan puncak kepalanya.

"Maafkan Papa, Nak," ucap Serkan, lirih.

Dilara tersenyum sembari mengusap rahang tegas yang tak lagi ditumbuhi bulu-bulu tipis. Sepertinya sang ayah sudah mencukurnya.

"Papa gak perlu minta maaf sama Dilara. Papa masih bersama Dilara sudah lebih dari cukup."

Serkan mengambil tangan itu lalu mengecupnya dengan penuh perasaan.

"Papa, Dilara boleh gak minta sesuatu?"

"Apa itu, Sayang?"

"Papa nikah sama Naura, ya!" ujar Dilara sembari tersenyum penuh arti.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Pemuas Nafsu Keponakan

Pemuas Nafsu Keponakan

Romantis

5.0

Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku