Laura Marrie adalah seorang penulis yang berteleportasi ke dalam dunia novel yang dikarangnya sendiri. Dia dibangkitkan oleh SISTEM setelah mengalami kecelakaan. Dia diutus menjadi tokoh antagonis kejam dalam karyanya yang akan tewas dihukum atas kejahatannya. Bagaimana perjuangan Laura Marrie agar terhindar dari hukuman tersebut?
"Bagaimana ini Laura? Kamu itu seorang penulis novel, lho! Jadi, Kamu harus mampu membedakan bagaimana karakter protagonis dengan karakter antagonis. Jangan menye-menye begini nulis antagonisnya!" suara Fathan Dirgantara terdengar menggelegar memenuhi ruangan kerjanya.
"Nah, satu lagi! Pembaca itu paling seneng apabila antagonis kejam terhadap protagonisnya. Selanjutnya, ketika melihat proses perubahan protagonis yang lemah menjadi kuat, akan membuat pasaran novel kita jadi meledak. Bukan seperti ini!"
"Jadi, kamu harus mampu membedakan bagaimana karakter protagonis dan mana yang antagonis! Masa iya, antagonisnya perhatian begini pada protagonisnya?"
Laura tertunduk mendengarkan hasil kurasi dari sang editor di ruang kerja milik Fathan. Dia adalah editor yang ditunjuk penerbit untuk mengecek semua karya miliknya. Laura begitu hafal dengan watak pria arrogant ini.
"Baiklah, Mas Fathan. Aku akan merevisi naskah saat ini juga!"
Tanpa mengatakan apa-apa, Fathan menyilakan Laura mengubah beberapa jalan cerita yang baru saja diperiksa. Karena novel tersebut akan dicetak dan diperbanyak sehingga harus segera direvisi. Meski merasa tidak rela, dan hatinya menolak, Laura Marrie terpaksa mengubah jalan cerita yang telah ditatanya dengan rapi.
Setelah direvisi, Laura segera menyerahkan naskah tersebut kepada sang Editor.. Fathan memeriksa hasil revisi satu per satu dengan wajah dingin tanpa ekspresi, dalam beberapa waktu. Melihat akhir yang tragis pada tokoh antagonis bernama Rivena Claudya, yang akhirnya dihukum mati atas semua tindakan kejahatan yang ia lakukan, wajah Fathan terlihat puas.
"Siapa pun yang mengganguku, bersiaplah bertemu dengan neraka sebelum malaikat maut menjemputmu!"
Fathan mengulangi ucapan Vena sang antagonis kejam yang ada di dalam novel tersebut. Wajahnya menunjukan sesuatu yang tak bisa ditebak saat membaca kalimat itu. Beberapa waktu merenungkannya, Fathan akhirnya menganggukkan kepalanya.
"Nanti akan saya hubungi kembali!"
"Lah? Itu saja?" Laura merasa tidak puas mendengar keputusan yang masih menggantung dari Fathan. Dia sudah bersusah payah mengeluarkan segala ide yang tidak sesuai dengan genre yang biasa ditulisnya. Namun, tanggapan dingin sang editor membuat hatinya panas, merasa tidak dihargai.
"Ya, Kamu boleh kembali!"
Laura yang semenjak tadi berharap mendapat pujian, ternyata hanya mendapatkan sesuatu yang tidak memuaskan. Dia keluar dari ruangan tersebut dengan perasaan kesal.
"Tau begini, lebih baik aku menulis kisah anak sekolah saja! Aku kan tak suka menulis karakter jahat dalam karyaku! Aaah, siaaal amat dah!" rutuknya mencak-mencak di balik pintu ruang kerja sang editor.
Laura meninggalkan kantor penerbit tersebut dengan menggunakan mobil dari hasil kerja kerasnya sebagai seorang penulis. Dengan perasaan kesal, dia melajukan kendaraan kesayangan yang telah menemaninya hampir lima tahun dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Namun nahas, dia melupakan sebuah tikungan maut yang terkenal telah memakan banyak korban. Dia tidak menyadari dari arah berlawanan sedang melaju sebuah truk ekspedisi dengan kecepatan tinggi.
braaaaakkk
Kecelakaan hebat tak bisa dielakan. Kendaraan Laura langsung ringsek dan terus terdorong ke arah sebaliknya oleh truk tersebut. Pengemudi truk menghentikan kendaraannya. Mengetahui kondisi kendaraan yang bertabrakan dengan truk yang dibawanya dalam keadaan nahas, sang supir truk segera melarikan diri sebelum warga ramai berdatangan melihat kejadian ini.
Kondisi Laura, tengah terjepit dengan keadaan yang sangat memilukan. Kepala, hidung, dan mulutnya mengalirkan d*rah segar. Mata Laura sayup-sayup memandang moncong truk yang tepat berada di hadapannya.
"Tuhan, a-aku belum ingin kembali secepat ini kepada-Mu. Berikan lah aku kesempatan kedua. Aku masih memiliki banyak hal yang belum bisa aku gapai," ucap Laura dengan lirih. Lambat laun, mata Laura terlihat menutup dengan sempurna.
tok
tok
tok
Sebuah ketukan pintu membuat Laura tersentak dari tidurnya. Dia tertidur dalam keadaan duduk berpangku tangan di sebuah meja. Perlahan, Laura membuka mata dan menegapkan tubuhnya duduk pada sebuah kursi kerja. Laura menelengkan kepalanya ke kiri, kanan, muka, belakang.
tok
tok
tok
Kembali terdengar suara ketukan pintu dari arah ruangan ini. Sesaat kemudian, mata Laura terbuka dengan lebar. Dia teringat bahwa beberapa menit yang lalu dia baru saja mengalami kecelakaan hebat.
Laura segera memeriksa keadaan tubuhnya. Tak ada satu pun yang terluka. Padahal dia merasa sangat yakin seluruh tubuhnya telah remuk akibat kecelakaan yang baru dialaminya beberapa menit yang lalu.
Sebuah ponsel canggih, dan terkenal sangat mahal bergetar. Laura tergelak melihat ponsel tersebut sangat mirip dengan benda yang dia gambarkan menjadi milik Rivena Claudya. Seorang tokoh antagonis yang dijadikannya sebagai CEO wanita yang berkarakter sangat kejam.
Ponsel tersebut kembali bergetar. Laura menjadi penasaran ingin menengok panggilan dari siapa. Di layar terpampang sebuah nama kontak Cindy. Namun membiarkannya tanpa menjawab panggilan karena merasa bukan miliknya.
tok
tok
tok
Mata Laura mulai merambah seisi ruangan. Dia merasa tidak mengenal tempat tersebut. Mencoba untuk bangkit, tetapi langsung terjatuh karena sepatu yang dikenakan membuat kakinya sakit. Mata Laura terbelalak melihat benda di bawah kaki. Sepasang high heels dengan ketinggian mencapai lima belas senti meter, beraksen batu-batu alam, di sepanjang bagian sepatu tersebut, tengah terpasang pada kedua kakinya.
Laura langsung melepas sepatu tersebut. Menyadari hal lain yang berbeda pada kakinya. Kali ini kaki ini terlihat sangat mulus, cantik dan terawat. Padahal dia begitu hafal bahwa biasanya kaki tersebut banyak cetakan recehan akibat bawaan masa kecilnya.
"Apa kebetulan saja ya? Kenapa ini semua malah mirip dengan si antagonis yang aku tulis?" Laura bermonolog pada dirinya sendiri.
Laura segera membuka pintu yang sedari tadi diketuk oleh seseorang. Ternyata mata Laura langsung terbuka lebar melihat pria super tampan yang ada di balik pintu ini. Beberapa detik berlalu, Laura masih saja memandang pria tersebut.
"Ekheeem."
Laura terkesiap mendengar deheman dari pria ini. "Si-siapa?" Laura bingung dan merasa gugup.
Pria tersebut mendorong kasar pintu, supaya terbuka semakin lebar. Wajah tampannya terlihat sangat gusar dan marah. Dia langsung mencekik Laura, membuat nafas Laura menjadi sesak.
"A-apa yang kau lakukan?" Laura berusaha melepaskan tangan yang menekan jalur nafas yang ada di lehernya.
"Mengapa Kau memb*nuhnya?" Tanya pria yang tidak dikenal itu.
Ucapan pria itu membuat Laura teringat pada sesuatu yang telah dia hafal. Itu adalah ucapan dari pria bernama Fernando Jose, sosok aktor yang dijadikannya sebagai protagonis pria dalam novel yang ia tulis. Novel yang membuatnya kesal setengah mati kepada Fathan, sang editor.
"Cepat jawab! Kenapa Kau membunuhnya?" Pria tersebut masih bergulat dengan Laura yang berusaha melepas tangan pria yang ingin membunuhnya ini. Ini begitu persis dengan adegan yang dia tulis saat Fernando Jose melabrak Vena di kantornya.
Di atas sebuah meja kerja, kembali terdengar getaran menandakan ada panggilan pada sebuah ponsel. Laura bergerak hendak memperhatikan ponsel tadi yang dia lihat.
Masih panggilan dari Cindy. Cindy adalah nama sekretaris Rivena di dalam novel yang dia tulis. Getaran panggilan tersebut membuat pria tadi melepaskan kedua tangan yang ingin menghabisi nyawanya itu.
Laura duduk di kursi putar yang ada di balik meja kerja tersebut. Dia meneguk air yang terdapat dalam sebuah gelas.
"Welcome Dunia Novel Dendam dalam Cinta, karya Laura Marrie."