Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Mungil sang CEO

Istri Mungil sang CEO

Fay yolhani

5.0
Komentar
809
Penayangan
5
Bab

Eliza Lucyana Robert merupakan anak angkat keluarga Robert, dia di adopsi dari panti asuhan ketika berumur 8 tahun. Eliza memang di angkat menjadi anak, tapi tidak ada kasih sayang yang dia dapat dari kedua orangtua angkatnya. Semenjak datang ke rumah ini tak sekalipun Eliza menerima peluk dan kecupan hangat dari Patrick Robert dan Shiena Robert. Gadis berusia 19 tahun itu menjalani kehidupannya dengan redup, bahkan kedua orangtuanya tidak memperbolehkannya melanjutkan kuliah. Sampai suatu hari takdir kejam menyambangi hidupnya, dia akan disuruh menikah dengan pria paruh baya hanya untuk bayar hutang dan biaya masuk kuliah adiknya. Karena posisi keluarga Robert sedang mengalami kesulitan ekonomi, dia akan dijual oleh orangtua yang merawatnya. Eliza memutuskan kabur dari rumah sampai akhirnya bertemu dengan seorang pria berwajah tampan namun terkesan dingin. Dia ditampung di kediaman pria itu dengan syarat mereka harus menikah dalam waktu dekat. Eliza ibarat keluar dari kandang buaya lalu masuk ke kandang singa. Bagaimanakah Eliza menyikapi pernikahan mendadaknya dengan Pria asing itu?

Bab 1 Hanya Upik Abu

Pagi ini di kediaman keluarga Robert terjadi kebisingan seperti biasa, Eliza si gadis berusia 19 tahun itu beberapa kali diteriaki untuk melakukan ini dan itu.

Eliza tergopoh-gopoh menuju meja makan untuk membersihkan peralatan makan yang baru saja digunakan keluarganya, dia dituntut bekerja cepat agar bisa melakukan banyak pekerjaan. Belum selesai dia menjemur pakaian sudah ada pula kerjaan mencuci piring menunggu, belum lagi menyapu dan mengepel lantai.

"Kamu memang berkewajiban untuk balas budi setelah semua yang kami berikan! Rumah tempat tinggal, makan, dan sekolah! Jadi jangan malas-malasan layaknya nona di rumah ini!"

Perkataan yang selalu Ibunya lontarkan itu kerap terngiang-ngiang di kepala Eliza. Dia tersenyum miris meratapi nasib tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Jangan melamun, Eliza! Piringnya lebih mahal daripada baju yang kamu kenakan!" Teriak sang Ibu ketika melihat Eliza sempat melamun sambil membawa piring menuju washtafell.

"Iya Ibu, maaf," ucap Eliza dengan pelan sambil terus mengerjakan cucian piring yang menumpuk.

Lagi-lagi perkataan pedas yang diterima, Eliza bisa apa selain hanya diam. Ibunya memang benar, baju yang dikenakannya hanya baju murah dan kebanyakan baju bekas yang dibelikan orangtuanya. Perut Eliza terasa lapar, sejak bangun subuh tadi belum ada satupun makanan masuk ke dalam perut.

"Hey, upik abu! Sweater ini belum dicuci. Segera cucikan sampai bersih!" Casya, adiknya datang melemparkan pakaian kotor itu tepat mengenai kepala Eliza.

Eliza berjengit kaget dan hampir menjatuhkan gelas yang sedang dia cuci, lalu dengan tatapan nanar menatap sweater kotor itu yang sudah teronggok di lantai.

"Casya, kan bisa dikasih baik-baik. Jangan main lempar begitu, kalau nanti baju kamu lecet gimana?" tegur Eliza dengan suara lunak berusaha tidak memancing emosi adiknya ini.

Casya berdecih pelan dengan kedua tangan berlipat di dada menampilkan wajah angkuh. "Babu tidak usah berlagak benar di depan majikan, kerjakan saja perintahnya."

"Iya ta-"

Casya menaikkan dagunya seolah menangang Eliza melanjutkan ucapannya. "Diam, bodoh! Mau aku adukan kepada ibu? Wah pasti akan seru sekali."

Kalau sampai Casya mengadu kepada Ibu, dia akan kena amukan besar. Eliza menggelengkan kepala seraya mengatakan kata maaf. Puas melihat kakaknya tidak berkutik membuat Casya begitu senang, dia melenggang dengan gaya anggunnya meninggalkan Eliza yang segera memungut sweater milik adiknya di lantai.

Hari ini kegiatannya sama seperti hari-hari biasanya, di rumah tanpa pergi berkumpul dengan teman seperti yang dilakukan oleh anak-anak seusianya. Siang ini dia akan pergi berbelanja ke supermarket membeli bahan makanan, sore harinya dia akan langsung memasak untuk makan malam.

Tring!

Message From : Ariana

Ada penerimaan karyawan baru di toko roti tempatku bekerja. Mau mencoba, El?

Eliza membaca pesan dari sahabatnya dengan sorot mata penuh minat. Tapi, apakah orangtuanya akan mengizinkan dia bekerja?

Message To : Ariana

Akan aku tanyakan sama Ibu dan Ayah dulu.

Pesan masuk dari Ariana lagi.

Message From : Ariana

Ayolah, El. Sudah tidak diperbolehkan kuliah masa kerja pun tidak boleh?

Eliza menghela napasnya, Ariana ada benarnya juga.

Message To : Ariana

Aku ingin sekali, Ar.

Semoga mereka mengizinkan.

Message From : Ariana

Sungguh anak yang baik.

Eliza tertawa pelan membaca kalimat sindiran dari Ariana, sahabatnya itu sudah tahu tentang keluarganya, mulai dia yang cuma anak angkat keluarga Robert, perlakuan buruk keluarganya serta diskriminasi antara anak angkat dan anak kandung.

***

Tubuh mungil itu nampak sibuk dengan catatan belanja sambil mendorong trolli, Eliza sudah berada di supermarket untuk belanja mingguan keluarganya.

Gadis itu akan berhenti untuk mengambil barang yang tertulis di dalam catatan. Ibunya tidak pernah melebihkan yang belanjaan untuk Elena membeli cemilan sedikit saja, setiap pulang dari berbelanja sang Ibu akan selalu mencocokkan jumlah struk belanja dengan uang kembalian. Uang jajan untuk Eliza sendiri hanya diberi seminggu sekali itupun jumlahnya beda jauh dari uang jatah adiknya.

Ketika sampai di bagian tisu toilet, Eliza sangat kesusahan menjangkau tisu yang berada paling atas rak. Dia meloncat-loncat berusaha menggapai kemasan tisu tersebut, celingukan mencari bantuan orang terdekat dan karyawan di sini tapi tidak seorang pun berada di lorong yang sama dengannya.

"Ugh! Sedikit lagi, sedikit lagi!" Ujarnya menyemangati diri sendiri, padahal jarak tangannya dengan rak atas masih jauh.

Masih dengan usaha yang keras tanpa mau menyerah meski tangannya tidak akan pernah sampai ke atas, Eliza merasakan seseorang berdiri di belakangnya. Sebuah tangan dilihatnya terulur ke atas mengambil kemasan tisu lalu dengan cepat orang itu meletakkannya ke dalam trolli milik Eliza tanpa menoleh sedikit pun.

Eliza cepat-cepat memutar tubuhnya dan melihat orang yang membantunya ternyata seorang pria yang besetelan kemeja khas orang kantoran.

"Terima kasih banyak, Sir." Teriak Eliza mengucapkan terima kasih atas bantuan pria tadi meski hanya bisa menatap punggung kokoh di depan sana.

Malam ini, Casya adik perempuan Eliza datang bersama pacar teman-temannya. Mereka berkumpul di ruang tamu dengan Ibu dan Ayah, saling bercengkerama dan bercanda. Mereka semua tampak akrab.

Eliza diam-diam mengintip dari pintu dapur, dia iri tentu saja. Sedih rasanya ketika dia dihantam kenyataan kalau tidak akan pernah seakrab itu dengan orangtua dan adiknya. Waktu masih sekolah dia tidak diizinkan mengajak teman ke rumah, kalau ada tugas bersama selalu dikerjakan di perpustakaan sekolah atau ke rumah temannya yang lain.

"Ya Tuhan, apa salahku di masa lalu sampai kau menghukumku sebegitu sakitnya," lirih Eliza pelan dengan suara bergetar berusaha menahan tangis.

"Apa yang aku pikirkan? Sebaiknya segera antar minuman ini ke depan agar aku bisa langsung istirahat di kamar." Dengan bergesas gadis itu menghapus air mata di pipi, bergegas mengambil nampan dan mulai menyusun gelas berisi sirup.

"Ibu, ini minumanya." Suara lembut Eliza membuat mereka menghentikan obrolannya.

Semua mata yang ada di ruang tamu itu berfokus kepada Eliza yang menaruh gelas minuman satu persatu di atas meja.

"Terima kasih, kak El."

"Thank you, Eliza."

"Kak Eli, terima kasih."

Teman-teman Casya sangat ramah dan baik kepada Eliza, tidak ada sorot mencemooh ketika mereka memandang. Mereka semua tetap memandang Eliza sebagai seorang kakak dari Casya meski sudah mengetahui jika Eliza adalah anak amgkat.

Eliza membalas dengan senyum ucapan terima kasih dari teman-teman Casya. Sang Ibu mengode Eliza agar segera pergi dari sana, memang inilah yang di inginkan Eliza untuk tidak berlama-lama berada di sana apalagi melihat wajah masam Casya.

"Oh iya, Bu. Besok acara promnight aku ingin dibelikan dress bagus ya?" ujar Casya yang masih terdengar oleh Eliza.

"Iya, anak Ibu harus terlihat cantik besok!"

"Ayah akan transfer ke rekening Ibumu besok pagi."

Tidak ingin mendengar lebih banyak yang membuatnya berandai-andai, Eliza mempercepat langkahnya menuju kamarnya yang terletak di belakang, sebuah kamar sangat kecil dibanding semua kamar yang ada di rumah ini.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku