Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
I Love You Om Miliarder

I Love You Om Miliarder

Tery_Mery

5.0
Komentar
147
Penayangan
6
Bab

Ruby Maharani, perempuan yang menjadi jaminan satu milyar oleh kedua orang tuanya tepat di sepuluh tahun lalu. Saat menginjak usia dua puluh maka dia harus menikah dengan seorang miliarder yang usianya terpaut sangat jauh. Bagai mimpi di siang bolong saat tiba-tiba saja Ruby terbangun di rumah Tuan Marco-calon suaminya-dan langsung dipaksa untuk menikah. Upaya melarikan diri terus saja mengusik benak, hingga dia nekad melakukan itu. Namun, justru dipertemukan dengan Stefan yang juga merupakan tuan di rumah tersebut. Stefan adalah adik tiri Marco. Keduanya memiliki hubungan kurang baik dan selalu berselisih layaknya musuh. Ruby akhirnya memutuskan untuk menerima pernikahan itu dengan terpaksa. Menjadi istri dari seorang miliarder ternama tidak membuatnya bangga, justru merasa risau terlebih saat keluarga Robert berkumpul kembali. Satu hari usai pernikahan terbongkar sebuah tabir tentang Marco, dia mulai terbuka dan menceritakan semua kisah di masa lalu. Mereka yang memang pernah bertemu, Ruby akhirnya tahu jika suaminya adalah pangeran di masa lalu, seseorang yang berhasil membuat dirinya jatuh cinta di usia muda. Namun, hati yang terlanjur mengagumi Stefan membuatnya enggan mengartikan setiap debar yang mulai tumbuh setiap kali bersama Marco. Hingga suatu hari di pesta kemunculan Shannon membuat Ruby sadar jika dirinya mulai mencintai Marco, layaknya suami istri. Sang Miliarder yang dingin dan angkuh, tetapi penuh teka-teki ternyata tidak menjamin sebuah keselamatan. Terlebih dengan kehadiran Isabel-ibu tirinya-keselamatan Marco semakin terancam, membuat Ruby memutuskan untuk selalu berada di sisinya. Suka duka terlewati bersama, membuat mereka saling terikat dan membutuhkan satu sama lain. Namun, lagi-lagi ada rintangan. Terlebih setelah kematian Tuan Robert-ayahnya-Isabel dan Stefan semakin berkuasa, berupaya meruntuhkan Marco dari tahta. Kekayaan yang sebenarnya milik Karina-ibu kandung Marco-membuat si lelaki tetap berusaha mempertahankan apa pun yang terjadi, dibantu oleh Ruby. Hingga suatu hari rentenan teka-teki kembali terbongkar, tentang Ruby dan jaminan satu milyar. Ternyata Marco tidak pernah membuat perjanjian demikian, semua dilakukan oleh kedua orang tuanya sendiri karena merasa membenani kebaikan Marco yang berupaya menyelamatkan hidup Ruby dari koma karena insiden mengerikan. Ruby semakin jatuh cinta dan berhutang budi, tetapi pada saat itu pula mereka harus terpisahkan. Stefan yang sejak awal mendekati Ruby karena tahu dialah satu-satunya kelemahan Marco, sengaja memisahkan keduanya agar Marco jatuh dan mau menyerahkan tahta. Terlebih dengan Shannon, perempuan yang sudah lama mencintai Marco terus berupaya mencuri perhatian si lelaki meski statusnya sudah menjadi tunangan Stefan. Mereka berdua bekerja sama memisahkan sepasang suami istri tersebut di luar pengetahuan Isabel. Bertahun-tahun terpisah, Ruby benar-benar merasa kehilangan Marco, mencoba meniti hari meski terasa kelabu. Terus berupaya saling mencari karena yakin cinta mereka akan sama-sama menuntun pulang. Dengan keyakinan jika janin yang tumbuh dalam rahim bisa menjadi koneksi cinta mereka. Upaya Ruby agar anaknya tidak lahir tanpa seorang ayah berhasil membuahkan keajaiban. Mereka kembali bertemu, saling bertukar rindu dan mencoba memulai kisah yang pernah pergi dengan kesederhaan.

Bab 1 Menjadi Jaminan Satu Milyar

Aku meringis saat merasa seluruh tubuh remuk, kesadaran belum sepenuhnya pulih semua yang terlihat masih samar. Mencoba bangkit dari pembaringan pun rasanya begitu sulit. Entah apa yang terjadi padaku sebelum bisa berada di tempat ini. Semua ingatan masih buntu, satu-satunya titik temu hanya saat aku berjalan seorang diri. Hanya itu, selebihnya semua gelap.

Cahaya di atas kepala terasa menyilaukan. Aku mencoba duduk dan membuka mata lebar-lebar, terkesiap setengah mati saat sadar jika sekarang berada di sebuah kamar. Satu hal lagi, tempat ini terasa asing dan begitu luas. Bahkan peraduan yang sekarang kutiduri terasa begitu nyaman dan empuk berbeda dengan tempat tidurku.

"Ini di mana?" Tidak ingin terus bertanya-tanya akhirnya aku memutuskan untuk menuruni tempat tidur. Tertatih berjalan gontai, menggerutu saat rasanya jarak ke pintu begitu jauh.

Aku kembali terkesiap saat berhasil membuka pintu, pemandangan di depan mata sungguh menakjubkan. Arsitektur gaya bangunan bertingkat layaknya istana di jaman modern. Masih dengan mulut menganga aku kembali berjalan, menutup pintu pelan sembari celingukan. Sepi, keadaan di sini sungguh hening tak berpenghuni. Jika terus begini, siapa yang bisa aku tanyai? Ah, biarlah.

"Nyonya sudah sadar?" Sebuah tanya menghentikan langkah. Aku membatu dengan pertanyaan tersebut. Nyonya! Siapa yang dimaksud? Mungkinkah itu aku? Aku berbalik, di belakang sudah berdiri seorang perempuan setengah baya dengan penampilan rapi berbaju hitam. Rambut lebat hanya berukuran sebahu, dia tersenyum sopan.

"Siapa dan di mana ini?" Tak ingin berbasa-basi, segera kusuguhkan dua tanya itu. Tentu saja aku berhak tahu.

"Saya Ember, pelayan pribadi Nyonya dan sekarang Nyonya berada di kediaman Tuan Marco." Tuturnya masih dengan nada sopan. Mulut terasa tercekat, alhasil aku hanya bisa membulat layaknya ikan di daratan. "P–pelayan pribadi? Selama ini saya tidak punya pelayan, saya terbiasa hidup mandiri."

Perempuan yang menyebut namanya Ember itu hanya tersenyum kecil. Oh, mungkinkah dia sedang meledekku? Memangnya ada yang salah jika aku berkata hidup mandiri. Dia mungkin belum tahu seperti apa pahitnya kehidupan yang dua tahun terakhir ini aku alami setelah kehilangan Ayah dan Ibu. Terlunta-lunta ke sana sini, bekerja siang malam agar kebutuhan terpenuhi.

"Sekarang Nyonya tidak perlu hidup mandiri karena kemewahan ada di depan mata, kehidupan Nyonya akan terjamin setelah menikah dengan Tuan Marco."

"Hah?!" Aku terkejut setengah mati, sebenarnya apa yang sekarang Ember katakan. Atau mungkin semua ini hanya mimpi? Ayo sadar, Ruby! Kucubit kedua pipi keras, tetapi hasilnya justru menyakiti diri sendiri.

Sakit berarti itu tandanya semua ini nyata. Kugelengkan kepala cepat, ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jelas hal demikian adalah penculikan tak berdasar, bisa saja aku adalah korban Tuan Marco yang kesepian ingin segera menikah. Mendadak saja bulu kudukku meremang, seburuk apa rupa Tuan Marco itu hingga dia harus menculik seorang gadis agar bisa dinikahi. Mendengar namanya saja sudah membuatku bisa menggambarkan postur itu. Sepertinya dia lelaki tua yang mengincar daun muda, seperti dalam film yang selama ini aku lihat.

"Mari ikut dengan saya, Nyonya," pintanya membuyarkan lamunan.

"Ke mana?"

"Bertemu Tuan Marco." Ember menjawab singkat meski masih dengan nada sopan.

"Oh tidak bisa, ini namanya penculikan dan tindak kriminal. Saya nggak kenal siapa itu Tuan Marco," protesku mempertahankan pendirian.

"Ini bukan penculikan, Nyonya. Kalian memang akan segera menikah tanpa unsur paksaan."

Aku semakin tidak mengerti dibuatnya. Jelas-jelas ini adalah pemaksaan dengan unsur kriminalisme, aku korban lelaki tua bernama Marco itu. Tidak peduli sekaya apa dia, aku tidak akan pernah mau menikah dengannya, titik tanpa pengeculian. Kuperhatikan Ember yang sedikit lengah, buru-buru kuayunkan kaki untuk melarikan diri.

"Tunggu, Nyonya!" teriaknya panik. Aku tidak peduli karena yang paling penting adalah bagaimana bisa ke luar dari istana Tuan Marco ini. Pening di kepala sedikit membuatku kesulitan untuk melangkah, terlebih sekarang harus menuruni anak tangga. Sesekali melihat ke belakang tepat pada Ember yang berusaha mengejar. Barulah bernapas lega karena sekarang sudah berada di anak tangga terakhir.

Namun, sialnya kaki malah tergelincir tak ayal tubuh ramping ini terhuyung. Jangan dibayangkan seperti apa sakitnya nanti jika sudah terbentur lantai. Kupejamkan mata rapat-rapat, tetapi keanehan terjadi saat merasa tidak sakit sedikit pun. Bahkan aku merasa ada bantuan lain yang sekarang menyangga tubuh mencengkram kuat pinggang.

Mungkinkah itu Marco? Rasanya tidak ingin membuka mata lantaran takut melihat wajah marah dari lelaki tua itu. Mungkin lebih baik agar aku terus memejamkan mata bila perlu pura-pura pingsan.

"Kamu baik-baik saja, Nona?" Suara bariton terdengar syahdu mengalun pada gendang telinga. Aku tertarik untuk membuka mata dan melihat seperti apa rupa Marco itu.

Sekarang semuanya terlihat jelas. Kutelan saliva saat menyaksikan dengan lansung wajah si pemilik suara bariton itu. Kami bersitatap, dia tersenyum manis membuat jantung tiba-tiba saja berdebar. Mungkinkah dia Tuan Marco?

"Tuan Stefan."

Ember mengusik suasana romantis kami. Namun, aku juga mendengar dia menyebut nama 'Stefan' bukan 'Marco'. Berarti lelaki ini bukan tuannya? Ah, sial! Mengapa takdir kembali melambungkan espektasiku.

Dia melepaskan pegangan pada pinggang dan membantuku mencoba untuk berdiri. Sungguh, sekarang aku merasa seperti orang linglung di antara Stefan dan Ember.

"Kamu baik-baik saja, Nona?" Stefan kembali melontarkan tanya yang sama.

Mungkin saja karena aku belum menjawabnya.

"Ah, ya, a–aku baik-baik saja." Kujawab meski gugup.

"Beruntung ada Tuan Stefan datang, jika tidak mungkin sekarang Nyonya Ruby sudah berhasil kabur dari sini." Ember kembali berujar membuatku ingin memakinya saja. Stefan hanya tersenyum kecil. Aku sempat mencuri pandang dan berani bersumpah demi apa pun jika lelaki itu sangat manis juga tampan. Pandangan kami sama-sama teralih pada sebuah suara di lantai atas, dua lelaki sedang bercengkrama lalu berjabatan tangan. Kudelikkan mata tajam, mungkinkah salah satu dari mereka adalah Marco.

"Itu Tuan Marco, Nyonya." Ember menunjuk dengan sopan. Aku mendesis. Siapa yang baru saja Ember tunjuk, di sana jelas ada dua lelaki. Seorang lelaki berbadan cukup besar dan berkaca mata menatap ke arahku, melempar senyum dengan anggukan kecil.

Oh tidak! Mungkinkah itu Marco? Seseorang yang Ember katakan akan menikahiku? Jika benar begitu, jelas aku harus kembali melarikan diri. Marco asli jauh lebih buruk dari gambaranku. Lelaki berbadan besar ini menuruni anak tangga, membuatku refleks membuat ancang-ancang jika sampai dia berbuat macam-macam.

Aku yakin Stefan dan Ember akan membiarkan tuannya bertingkah sesuka hati. Namun, semua perkiraan itu salah. Lelaki besar itu malah pergi usai menyapa Stefan, itu berarti dia bukan Marco. Aku mendongak menatap punggung lelaki yang sudah menjauh. Apa dia Marco yang asli? Sebenarnya ada berapa Marco di rumah besar ini! Belum ada satu hari saja sudah hampir gila, bagaimana jika menetap seumur hidup. Bisa-bisa aku mati berdiri.

"Ayo, Nyonya. Tuan Marco pasti sudah menunggu." Sekarang kemungkinan untuk kabur sudah mengecil. Jadi mau tak mau kuikuti langkah Ember dan kembali menaiki anak tangga, bertemu dengan Tuan Marco si penguasa istana modern. Sepertinya aku harus melontarkan banyak tanya padanya, tentang pernikahan yang Ember maksud.

***

Pintu terbuka lebar, meski ragu aku tetap mengekori langkah Ember. Kuperhatikan nuansa dalam ruangan ini, sangat indah dan menakjubkan. Lemari buku berukuran rasaksa lebih mendomoniasi. Ember menghentikan langkah secara tiba-tiba hingga aku hampir saja menabrak punggungnya.

"Nyonya Ruby sudah sadar, Tuan." Dia berujar pelan, kualihkan mata menatap seorang lelaki yang sekarang duduk memunggungi. Dia mengangkat satu tangan dan menggerakkan dua jari seperti sebuah isyarat.

"Baik, Tuan."

Aku kembali teralih pada Ember yang mengangguk, sepertinya perempuan itu mengerti arti dari gerakan jari Tuan Marco. Selang menit berikutnya berbalik hendak berlalu, buru-buru kuraih lengannya.

"Mau ke mana?"

Ember tersenyum kecil. "Saya harus kembali bekerja, Nyonya." Selepas itu dia melepaskan tanganku dan kembali melangkah meninggalkan aku dan Tuan Marco yang sampai sekarang belum menunjukkan batang hidungnya. Membuat penasaran saja. Selepas kepergian Ember mendadak saja hening terjadi. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, lagi pula Tuan Marco pun belum bergerak.

"Sepertinya kamu penasaran denganku, gadis kecil." Suara bariton miliknya membuatku terkesiap juga merinding. Gadis kecil? Enak saja!

"Maaf, Tuan. Anda salah, saya sudah berusia dua puluh tahun dan bukan lagi gadis kecil," protesku kesal. Dia terkekeh lalu memutar kursi memperlihatkan wajah yang selama ini hampir membuatku frustrasi karena penasaran. Sorot mata elang menghunus secara tajam, meski sebenarnya terlihat begitu teduh.

Biarkan kunilai wajahnya sekarang. Harus diakui jika dia memang memiliki wajah tampan dan maskulin, hidung mancung juga bibir sedikit tebal berwarna merah muda entah itu alami atau warna buatan. Jika diperkirakan mungkin usianya jauh di atasku juga Stefan.

Tuan Marco lebih pantas berperan sebagai paman meski wajah itu bisa memabukkan setiap perempuan.

"Sudah cukup menilaiku?" tanyanya dengan menaikkan satu alis. Heran, lagi-lagi dia bisa membaca pikiran, mungkinkah dia juga seorang para normal? Tuan Marco lalu menatapku tajam dari atas sampai bawah, terlalu mengintimidasi hingga aku merasa kikuk sendiri dibuatnya.

"Orang tuamu ternyata menepati janji, dia merawatmu dengan baik dan tumbuh menjadi gadis cantik."

Kukuretkan kening. "Orang tuaku?"

"Sepertinya mereka belum menceritakan semua tentang kita," ujarnya saat mungkin saja tahu rasa tidak mengerti dariku. Kemudian bangkit. "Baiklah, ikuti aku agar kamu tau semunya."

Aku manut mengikuti langkahnya dan masuk ke dalam sebuah ruangan di dalam sana. Terkejut dengan pemandangan depan mata, puluhan bahkan ratusan fotoku terjajar rapi. Dari usia sepuluh tahun hingga dua hari lalu saat aku bertemu dengan Bagas.

Kutatap Tuan Marco tajam. "Apa maksudnya ini? Apa Om seorang mesum yang diam-diam mencuri gambar seorang gadis dari kecil?"

Dia balas menatapku tajam. "Om?"

Aku mengangguk sembari melipat kedua tangan agar terkesan pongah. "Iya, usia kita jelas beda jauh. Om pantasnya menjadi pamanku bukan suami."

"Aku belum setua itu," balasnya sengau.

"Berapa usia Om?"

"Tiga puluh lima." Singkatnya.

"Nah, usia kita jelas beda jauh, jadi Om jangan menikahiku karena aku hanya akan menikah dengan seorang lelaki yang berselisih lima tahun saja."

"Seperti siapa?" tanyanya dengan picingan mata. Lihatlah Tuan Marco itu, sepertinya dia sudah mulai penasaran.

"Yang jelas bukan Om!" Tentu saja bukan dia, jika harus memilih jelas aku akan lebih bersedia kalau lelaki itu adalah Stefan. Pertama melihat saja aura ketampanan juga karismanya tersebar harum, memikat perasaan meski baru beberapa saat bertemu. Jantungku pun mudah bereaksi jika padanya, sedangkan pada Tuan Marco? Ah, melihatnya saja sudah membuatku naik pitam. Lagi pula mengapa aku harus dipaksa menikah dengan Om seperti itu, tiga puluh lima memang tidak begitu tua untuk seorang lelaki. Namun, tetap saja aku tidak mau menerima.

"Sekarang Om jelaskan kenapa kita harus menikah?" tanyaku tak acuh. Tuan Marco memiringkan tubuh agar kami berhadapan, menatapku dengan picingan mata tajamnya. Jengah! Mengapa dia harus memiliki mata seperti elang.

"Pertama, jangan panggil saya om karena besok status kita akan resmi menjadi sepasang suami istri."

Aku memutar bola mata, memang siapa dia bisa mengatur seperti itu. Satu hal lagi, jangan harap kalau aku mau menikah dengan orang asing seperti Tuan Marco.

"Tidak bisa! Lidahku udah nyaman manggil om." Kujawab ketus dirinya. "Lalu apa yang ke dua?"

Dia mendengus. Melangkah menjauh, kuperhatikan lamat-lamat, ternyata menuju sebuah lemari kecil sudut ruangan. Mengeluarkan sesuatu lalu kembali dan menyerahkan sebuah map merah padaku. "Semua jawabannya ada di sini."

Kuraih map itu kasar, membuka dan membaca dengan saksama deretan kalimat tertera di atas kertas putih. Isinya tentang sebuah perjanjian, di sana juga tertera jika pihak kedua akan menerima uang sebanyak satu milyar dengan alasan menyerahkan anak perempuan untuk kelak dijadikan istri sepuluh tahun mendatang. Mataku semakin melebar saat ada tanda tangan dan nama kedua orang tuaku di atas materai. Kutelan saliva tertekan.

Mungkinkah ini artinya mereka memang sudah menjualku sepuluh tahun lalu hanya demi uang satu milyar? Namun, mengapa rasanya begitu mustahil mengingat kedua orang tuaku begitu baik dan sangat menyayangiku. Apa alasan mereka melakukan ini semua?

"Sekarang kamu mengerti, 'kan?" tanyanya tenang. "Sejak berusia sepuluh tahun pun sebenarnya kamu sudah menjadi milik saya, tetapi saya bukan lelaki mesum yang akan menikahi perempuan di bawah umur."

Aku menggeleng cepat. "Ini pasti perjanjian palsu, Om sengaja memanifulasinya, 'kan?!"

"Kamu pikir saya berani berbohong di atas materai?" tanyanya pelan, tetapi penuh dengan penekanan.

"Bisa saja. Semua mudah bagi orang kaya," jawabku ketus meski sebenarnya percaya dengan perkataan Tuan Marco, dia jelas tidak akan berani membuat bualan di atas materai.

"Jangan konyol!"

"Kalau begitu jelaskan sejelas-jelasnya!" hardikku menatap tajam Tuan Marco, dia tidak berhak membuat teka-teki dan mempermainkan hidupku. "Dalam perjanjian itu aku adalah pihak ke tiga, jadi aku berhak tau apa yang terjadi sepuluh tahun lalu."

"Suatu saat nanti kamu akan tau." Tuan Marco menjawab datar, kembali ke sifat sebelumnya.

"Aku mau tau sekarang, bukan nanti!"

Dia membisu membuat darahku bergejolak panas. Napas turun naik tak beraturan, kukepal tangan kuat-kuat.

"Jawab, Om!"

"Karena mereka memiliki hutang! Mereka datang meminjam uang sebesar satu milyar dengan jaminan kamu menikah dengan saya saat berusia dua puluh tahun."

"Ini ngggak masuk akal, mereka bukan orang seperti itu. Lagi pula ini bukan jaman Siti Nurbaya, aku nggak mau menikah dengan lintah darat seperti Om!" Tumpah sudah kemarahanku. Sejatinya ada luka di kedalaman hati saat mendengar kedua orang tuaku meminjam uang dan menjadikan aku sebagai jaminannya. Untuk apa sebenarnya uang sebesar itu?

"Saya bukan lintah darat," lirihnya seperti sedang meredam emosi. "Lupakan masa lalu karena mau tak mau kamu harus menikah besok, sesuai perjanjian sepuluh tahun lalu."

"Jangan harap!"

"Mateo!" teriaknya melengking. Kukerutkan kening. Mateo? Siapa lagi dia dan mengapa Tuan Marco memanggilnya sekeras itu.

Aku menengok saat beberapa detik berikutnya seorang lelaki berpakaian hitam masuk, tampangnya sungguh bringas dan menyeramkan. Oh Tuhan, apa sekarang Tuan Marco akan menyiksaku dengan brutal? Sama seperti film mafia yang selama ini aku lihat.

"Kurung dia ke kamar dan beri tau Ember agar terus mengawasi dengan ketat." Perintah itu mengalun secara sempurna.

"Baik, Tuan." Tanpa basa-basi lagi Mateo langsung menarik, aku berontak mengamuk tak peduli mereka mengira seperti cacing kepanasan. Ini jelas pemaksaan, aku akan terus mempertahankan pendirian. Mateo mungkin saja kesal dengan amukanku, dengan cepat dia mengangkat tubuh ke pundak lalu melangkah. Aku terkesiap dengan perlakuan itu, berusaha terus meronta memukul punggung Mateo dengan sekuat tenaga.

"Lepasin! Aku nggak akan mau menikah sama Om!" Pukulanku sepertinya tidak berpengaruh apa pun bagi Mateo. Dia terus melangkah bahkan sekarang sudah menaiki anak tangga, kembali ke kamar semula aku bangun dari pingsang.

Tubuh ramping terempas ke atas tempat tidur. Mateo sungguh kasar, rasanya ingin kucabik tubuh kekarnya agar menjadi kurus tak berotot.

"Maaf, Nyonya, tapi saya harus melakukan ini," ujarnya datar sebelum kembali berbalik dan melangkah, mengunciku di kamar menyesakkan seorang diri.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku