Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Silent Wounds
5.0
Komentar
408
Penayangan
47
Bab

Trauma mendalam membuat Nala Olivia harus kehilangan kemampuan berbicaranya. Dia yang semula hidup normal berubah menjadi wanita bisu akibat luka hati yang terus dipendamnya sendiri. Suatu hari, Aska Faresta-lelaki dari masa lalunya-muncul di restoran tempat Nala bekerja. Dan anehnya lelaki itu marah saat Nala tidak bisa membalas ucapannya seolah lelaki itu masih peduli padahal dia termasuk salah satu penyebab Nala membisu. Lalu apa jadinya hubungan mereka ketika Aska menyeret Nala ke rumah ibunya dan mengakui Nala sebagai istri? Mampukah Nala menjelaskan yang sebenarnya pada wanita paruh baya itu bahwa dirinya bukanlah istri Aska?

Bab 1 Bertemu Masa Lalu

Para pegawai restoran satu lantai itu tampak sibuk melayani pengunjung yang datang. Meski lokasinya tidak tepat berada di pusat kota, restoran bernama Delifood ini memang tidak pernah sepi pengunjung. Selain sejuk dan nyaman untuk dijadikan tempat bersantai, Delifood juga menyediakan menu-menu makan siang yang selalu unik dan berubah-ubah tiap harinya, membuat para pengunjung tidak pernah bosan dan selalu penasaran mengenai menu utama esok harinya.

Nala Olivia, wanita dua puluh tujuh tahun itu juga sama sibuknya. Namun dia sama sekali tak tampak lesu. Seperti hari-hari sebelumnya, dia selalu bersemangat menjalani pekerjaannya sebagai pelayan di Delifood.

Dengan senyum menawan yang mampu membuat kaum Adam menatapnya tak berkedip, Nala terus berjalan ke sana-kemari mencatat pesanan lalu membawa makanan yang dipesan ke meja pengunjung. Begitu seterusnya, memastikan semua pengunjung di areanya tidak ada yang sampai harus menunggu lama.

Usai mengantar pesanan dan membersihkan meja yang baru ditinggalkan, Nala duduk sejenak di kursi dekat meja konter tempat biasa para pelayan meletakkan pesanan yang kemudian diproses bagian dapur. Dia tampak mengipasi wajahnya dengan tangan seraya menyeka titik keringat di pelipis.

"Sudah kubilang tidak perlu terlalu bersemangat. Bos tidak akan menaikkan gajimu. Kau selalu berkeringat padahal ruangan ini ber-AC."

Nala tersenyum geli mendengar gerutuan Anton, salah satu rekan kerjanya yang sangat memperhatikannya. Lalu matanya berbinar melihat Anton menyodorkan jus segar ke arahnya. Tanpa menunggu lama, Nala segera menerima gelas tinggi itu lalu meminum isinya tanpa menggunakan sedotan.

Anton berdecak. "Tidak ada yang melarangmu meminta minum. Tinggal pergi saja ke dapur lalu minta Aan atau siapapun untuk membuatkanmu sesuatu. Atau kau juga bisa membuatnya sendiri."

Nala nyengir lebar mendengar nada suara Anton yang terkesan frustasi sekaligus jengkel. Sebagai tanggapannya, dia hanya mengangguk-angguk hingga membuat Anton kembali berdecak dengan kedua tangan berada di pinggang.

"Apa aku harus selalu mengulang hal itu? Ini bukan pertama kalinya aku berceramah seperti ini."

Nala menahan senyum geli. Bersamaan dengan itu, sekelompok lelaki dengan pakaian rapi tampak memasuki Delifood lalu duduk di area Nala.

"Memang apa susah-"

Ucapan Anton terhenti saat Nala mengangkat tangan dengan telapak menghadap Anton sebagai isyarat agar Anton diam. Lalu dia turun dari kursi tinggi tempatnya duduk seraya menunjuk tamu yang baru datang.

Sejenak Anton menoleh lalu kembali menatap Nala. "Bagianku sedang sepi hari ini. Jadi kau lanjutkan istirahat dan biar aku yang mengurus mereka."

Nala menggeleng dengan tegas.

Dia tidak mau diperlakukan berbeda karena memiliki kekurangan. Dia bahkan sangat bersyukur restoran ini dibagi menjadi banyak area dengan seorang pelayan di tiap area. Jika tidak, mungkin Nala akan lebih banyak duduk karena teman-temannya selalu berusaha meringankan pekerjaannya. Seolah Nala akan hancur berkeping-keping hanya karena mengangkat nampan berat.

Sadar tidak mungkin bisa mendesak Nala, akhirnya Anton mengangguk dengan berat hati. "Baiklah. Tapi bilang kalau kau merasa lelah. Jangan hanya terus memendamnya dalam hati."

Sejenak Nala tertegun akibat ucapan Anton. Tapi dia buru-buru tersenyum seraya mengangguk. Lalu tanpa menunggu tanggapan lagi, bergegas menghampiri enam lelaki yang tampaknya merupakan eksekutif muda yang sedang istirahat makan siang.

***

Aska Faresta merasa menyesal telah menerima ajakan makan siang teman-teman dekat semasa SMA-nya. Bagaimana tidak? Mereka yang sudah sama-sama kepala tiga bisa tertawa, bercanda, bahkan saling mengejek layaknya masih SMA. Apa mereka lupa umur atau ini hanya efek bertemu teman lama?

"Serius! Gue bener-bener gak nyangka itu si Ratu. Padahal, gila! Dulu gue selalu netesin liur liat bodynya yang aduhai. Eh, sekarang malah gak berbentuk."

"Kayak gimana dia sekarang? Lo punya fotonya?"

"Ada, nih!"

"Tapi wajar sih. Habis lahiran dia, kan?"

"Alah.... Istri gue habis lahiran sama sebelum hamil gak beda jauh. Nih, coba lo lihat si Ratu. Beda parah!"

"Coba tanya Aska."

"Ka, lihat deh! Beda kan dia sama primadona sekolah dulu?"

Dengan malas Aska sedikit melirik layar ponsel yang disodorkan ke depan wajahnya. "Masih tetep cantik."

"Masa?"

"Mananya woi?"

"Mata Aska mulai rabun."

"Tapi kalau diperhatiin Aska bener sih. Memang masih cantik." Lelaki yang duduk tepat di sebelah Aska berkomentar dengan tatapan masih lekat ke arah layar ponsel.

"Eh, lo kayaknya mulai-"

"Hush, udah! Lo mau pesen gak?"

Nala menahan senyum geli melihat interaksi mereka. Tadi dia bahkan harus menunggu beberapa detik sampai salah seorang menyadari kehadirannya yang sudah berdiri menunggu untuk menyerahkan buku menu.

Perbincangan heboh mereka sebelumnya terhenti seketika digantikan diskusi menu yang hendak mereka pesan.

"Ini menu utama hari ini, ya?" salah seorang lelaki bertanya. Dia yang memberi usul pada teman-temannya untuk makan siang di Delifood.

Sejenak Nala menunggu hingga lelaki itu mendongak menatapnya lalu mengangguk membenarkan pertanyaannya. Lalu si lelaki menoleh menatap teman-temannya.

"Gimana? Gue mau pesen ini."

"Gue juga."

Yang lain turut mengangguk kecuali Aska yang tengah sibuk dengan ponselnya.

"Ka, lo juga mau pesen ini?"

Tanpa mendongak Aska menyahut, "Terserah."

Setelah mendapat persetujuan dari teman-temannya, lelaki itu kembali menoleh ke arah Nala. "Kami semua pesan menu ini dan minumannya..."

Kali ini secara bergantian mereka menyebutkan minuman yang hendak mereka pesan. Hingga tiba di giliran Aska yang masih tampak sibuk dengan ponselnya.

"Ka!"

"Hmm."

Semula, Nala hanya fokus pada lelaki yang memegang buku menu. Lalu rasa penasaran membuatnya menoleh ke arah lelaki yang tampak asyik dengan dunianya sendiri.

DEG.

Seketika jantung Nala melonjak tak terkendali. Bibirnya terbuka dan matanya melebar dengan sorot kaget. Tak menyangka akan bertemu lelaki itu lagi setelah dua tahun berlalu.

"Ya Tuhan, Aska! Lo mau pesen minuman apa?"

Aska mengibaskan tangan tak peduli. "Terserah deh."

Mendadak mata Nala terasa panas dan ternggorokannya kering hingga dia harus menelan ludah berkali-kali. Bahkan meski belum melihat wajahnya karena lelaki itu menunduk menatap ponsel, Nala bisa langsung mengenalinya dengan jelas. Apalagi tadi salah satu teman lelaki itu menyebut nama Aska. Nama yang masih tertanam kuat dalam memori Nala. Nama yang pernah menorehkan bahagia sekaligus luka yang menganga.

Aska Faresta.

"Mbak, maaf ya. Temen kita satu itu memang suka melayang jiwanya entah ke mana padahal jasadnya tetep di sini." Seorang lelaki di samping kanan Nala tersenyum meminta maaf.

Plak!

"Jasad pala lo?"

Lelaki yang baru dipukul Aska langsung meringis sakit seraya menggosok lengannya. "Aska sinting! Sakit! Malu noh sama Mbak cantik."

Aska menatap kesal temannya lalu menoleh tanpa sengaja ke arah si pelayan yang masih diam menunggu. Hanya dua detik sebelum dia menunduk kembali ke arah ponselnya. Namun detik berikutnya dia tersentak dan kembali mendongak menatap wanita itu. Beruntung gerakan refleks yang dilakukan Aska tak diperhatikan teman-temannya.

Selama beberapa detik yang terasa mendebarkan bagi Nala, pandangannya bertemu langsung dengan pandangan Aska. Tatapan mereka saling mengunci, hingga akhirnya Nala menunduk untuk memutus kontak mata mereka.

Setelah semua perlakuan buruk Aska, kenapa mata cokelat itu masih menggetarkan hatinya? Kenapa hanya karena sadar Aska satu ruangan dengannya, kaki Nala masih saja serasa lemas seolah berubah menjadi jelly? Tidak bisakah hati, otak, dan tubuhnya saling bekerja sama untuk membenci Aska?

"Mbak cantik."

Panggilan teman Aska menarik Nala dari jerat kenangan masa lalunya. Dia menoleh menatap lelaki itu dengan senyum ramah.

"Boleh kenalan gak? Namanya siapa?"

"Namanya Nala," jelas teman Aska yang lain.

"Kok tahu?"

"Ada name tag-nya, Dodol!"

Seketika lelaki yang tadi bertanya tersenyum malu seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Nala masih tersenyum seraya dalam hati menimbang-nimbang apa sebaiknya dia langsung pergi atau tetap menunggu minuman apa yang akan dipesankan para lelaki itu untuk Aska?

Sungguh, dia tidak tahan berada sedekat ini dengan Aska. Perasaannya jadi kacau. Pedih akibat luka bercampur bahagia layaknya gadis yang bertemu cinta pertamanya.

"Jadi-Nala, ya?" teman Aska itu tampak belum menyerah untuk menarik perhatian Nala. "Boleh minta nomor telepon? Abang gak macam-macam kok."

"Cih, dasar buaya!"

Lelaki itu mengabaikan ejekan teman-temannya dan tetap fokus memandang Nala. Sebagai balasannya, Nala hanya tersenyum lalu mengangguk kecil dan segera berbalik pergi.

"Yah... yah... yah... malah ditinggal pergi."

"Kapok! Dicuekin!"

"Lo sih, murahan banget. Tiap ada cewek bening dikit pasti digoda."

"Dianya aja yang sok jual mahal, tahu!" kesalnya tak terima ditolak tanpa kata dan kini menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Tak terpengaruh kehebohan di sekelilingnya, pandangan Aska masih mengarah pada wanita yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya. Dari tempatnya duduk, Aska bisa melihat bagaimana Nala meletakkan kertas berisi pesanan di meja konter lalu duduk menunggu bersama pelayan lain.

Aska masih terus memandang ke arah sana saat Nala mencuri-curi pandangan ke arahnya. Tapi hanya sedetik sebelum dia buru-buru memalingkan wajah begitu menyadari Aska menatapnya intens. Bahkan setelahnya Nala tampak tak nyaman. Dia pasti sangat gugup ditatap dengan begitu tajam oleh lelaki yang pernah berbagi tawa lalu menghancurkannya hingga berkeping.

Tidak, Aska sama sekali tidak menyesali perlakuan buruknya pada Nala. Wanita itu memang pantas menerimanya. Namun yang membuat Aska tak bisa memalingkan wajah dari Nala akibat pekerjaan yang dilakukan Nala sekarang. Kenapa wanita itu menjadi pelayan sementara orang tuanya cukup kaya? Bahkan beberapa hari lalu Aska mendengar kabar mereka tengah merayakan ulang tahun mewah untuk putri bungsu mereka yang usianya berbeda delapan tahun dari Nala?

Beberapa menit menunggu, Nala kembali dengan pesanan mereka. Tanpa kata dia menata pesanan di atas meja.

Aska masih melakukan hal yang sama. Memperhatikan Nala tajam. Lalu salah satu alisnya terangkat begitu minuman untuknya diletakkan di depannya.

Minuman kesukaannya. Apa Nala sengaja?

Aska tersenyum mengejek melihat minuman itu lalu mendongak menatap Nala yang sama sekali tak menoleh ke arahnya. Kalau Nala bermaksud menunjukkan bahwa dia masih memikirkan Aska dengan minuman ini, maka wanita itu hanya melakukan hal yang sia-sia. Aska tidak akan tersentuh. Tidak akan pernah.

Selesai menata pesanan, Nala bermaksud langsung pergi setelah melemparkan seulas senyum lalu mengangguk kecil. Tapi gerakannya terhenti saat lelaki yang sebelumnya meminta nomor teleponnya mendadak mencekal pergelangan tangan Nala.

"Abang gak gigit kok. Cuma minta nomor telepon. Apa itu salah?"

Kali ini Nala tersenyum ragu seraya sedikit menggeliatkan tangannya untuk melepaskan diri. Namun cekalan lelaki itu terlalu kuat.

"Kalau dipikir-pikir kamu bener-bener gak sopan, ya? Dari awal cuma diam aja. Seenggaknya ngomong apa kek. Silakan nikmati pesanannya atau apa. Kamu kan pelayan yang harusnya sopan sama pengunjung."

Seketika senyum Nala memudar. Mendadak amarah sekaligus keinginan untuk menangis berbaur menjadi satu dalam dadanya.

Sudah cukup luka dalam hatinya yang mulai sembuh kembali berdarah karena melihat Aska. Sekarang malah ditambah kelakuan brengsek salah satu teman lelaki itu.

"Masih tetep diam? Kamu bisu, ya?"

Refleks Nala menyentak lengannya dari cekalan lelaki itu. Mungkin karena dia tidak siap dengan gerakan Nala yang tiba-tiba, dengan mudah tangan Nala lepas dari cekalannya. Lalu dengan cepat Nala berbalik setengah berlari ke konter pesanan.

"Ckckck, bener-bener sok jual mahal. Mentang-mentang cantik," ejek lelaki itu seraya menunduk ke arah makanannya.

"Eh, lihat! Ternyata dia beneran bisu."

Mendengar itu, empat lelaki langsung menoleh ke arah yang ditunjuk temannya. Sementara Aska terbatuk-batuk akibat rasa kaget.

Lalu seraya menyeka bibirnya, Aska mendongak hanya untuk mendapati yang dikatakan temannya benar. Tampak di sana Nala tengah memberitahu sesuatu pada rekan kerjanya dengan gerakan-gerakan tangan. Lalu dia melepas apron khusus pelayan Delifood yang dikenakannya dan bergegas masuk ke area khusus pegawai.

Klontang!

Semua mata langsung menoleh ke arah lelaki yang tadi meminta nomor ponsel Nala. Dia baru saja menjatuhkan sendok ke piringnya lalu menatap teman-temannya dengan raut bersalah.

"Ta-tadi... gue gak beneran ngomong dia bisu, kan?"

Namun tidak ada yang menanggapi. Teman-temannya mulai menyibukkan diri dengan makanan mereka tanpa ada lagi canda tawa. Tak bisa dipungkiri, mereka pun merasa bersalah pada pelayan bernama Nala tadi.

Sementara Aska masih syok dengan kenyataan ini. Pandangannya belum beralih dari pintu yang baru saja dilewati Nala. Pikirannya buntu. Hanya dipenuhi satu kalimat penuh tanya.

Bagaimana bisa?

----------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Aya Emily

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku