Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
I'm Sorry, Rachel

I'm Sorry, Rachel

Kuki Kukies

4.6
Komentar
16K
Penayangan
78
Bab

Rasa sakit sudah biasa dia rasakan. Entah itu fisik, batin, bahkan psikis. Ibunya tidak pernah menganggapnya sebagai seorang anak. Karena dia lahir dari sebuah kesalahan di masa lalu. Jadi kalau dia tidak diinginkan kenapa dia harus dilahirkan? Namanya adalah Rachel. Nama yang bagus ini ternyata tidak sebagus kehidupannya. Dunia terkadang bersikap lebih kejam dari pada positif thinking yang selalu dipikirkan. Selama ini Rachel hidup hanya untuk menanggung seluruh kesengsaraan keluarganya. Sebagai tumbal dari sumber uang keluarganya. sampai dia harus menikah dengan anak bungsu keluarga Halim yang terbelakang mental. Tuhan! Sebenarnya apa kesalahan Rachel di kehidupan sebelumnya? *** "Fahlan, apakah ini kamu yang sebenarnya? Ternyata kamu sama seperti yang lain. Kenapa kamu melakukan ini padaku? Fahlan, pernahkah kamu mencintaiku? Kamu bahkan mengabaikan anakmu sendiri.” Kehidupan Rachel tidak akan pernah mudah. Karena Rachel adalah sebuah kesalahan yang dilahirkan ke dunia. Dan disaat itulah Rachel percaya bahwa … Karma itu ada.

Bab 1 Anak yang Dibully

Bagaimana rasanya sebuah kasih sayang? Rasa iri selalu datang menghampiri wanita cantik bertubuh kurus itu kalau sudah berhubungan dengan ‘kasih sayang’. Kalau kalian bertanya kenapa? Karena keluarganya tidak pernah menunjukkan rasa itu. Sedikitpun tidak!

Seperti hari ini, seorang siswi SMA dari keluarga Gunawan—pemilik pabrik kain dan sepatu terbesar di Kota Metropolitan, Jakarta Pusat tengah bergelung di bawah selimutnya di kamar kecil berukuran 3 kali 3 meter dengan kamar mandi di dalam dan meja belajar di depan kasur. Kalian pikir ini Kosan? Kalian salah! Ini kamarnya …, kamar pribadinya.

Jam masih menunjukkan pukul setengah 5 pagi. Wanita cantik bernama Rachel Ananda Gunawan itu harus terbangun karena gebrakan keras yang bertubi-tubi di pintunya bersamaan dengan teriakan kasar dari seorang wanita.

“BANGUN KAU ANAK PEMALAS! PERGI SIAPKAN SARAPAN, SEKARANG!”

Rachel menghela nafas lelah sembari mengumpulkan nyawa. Segera dia bangun dan keluar kamar sebelum teriakan mereka berubah menjadi amukan. Ringisan pelan terdengar sepanjang jalannya menuju dapur rumah besar itu. Diam-diam dia merutuki diri sendiri karena tidak langsung mengobati luka di sudut bibirnya atau bahkan seluruh tubuhnya.

Luka? Ohh, kalian melupakan satu hal. Rachel adalah anak bullyan di sekolahnya hanya karena dia sekolah dengan beasiswa. Ayahnya tidak pernah memberinya uang sekalipun untuk membayar sekolah. Rachel harus banting tulang untuk membiayai diri sendiri. Pulang sekolah Rachel akan pergi bekerja paruh waktu di café. Dia merasa beruntung, café tempatnya bekerja menerima seorang siswi yang selalu babak belur setiap harinya untuk bekerja. Walaupun beberapa waktu dia selalu diomeli atasannya karena terlihat sangat buruk.

Tangan putih berbekas lebam itu mengambil bahan makanan di kulkas. Dengan lugas dia memotong dan memasak makanan. Sampai keluarganya turun satu persatu. Seperti biasa, bukan ucapan ‘selamat pagi’ yang dia dengar. Tapi—

“Bu! Aku selalu muak melihat si buruk rupa ini! Wajahnya selalu menyeramkan, hahaha …” Rachel mendengar saudara tirinya berkata sambil tertawa mengejek. Mira Zeni Gunawan, wanita bertubuh langsing yang berumur satu tahun lebih muda darinya.

“Kau benar, dia seperti monster!” balas wanita berumur 32 tahun yang duduk menyusul anak kesayangannya. Lina, seorang wanita yang berasal dari perkampungan dan menikah dengan Rendy Gunawan. Rachel adalah anak pertama tapi ayahnya bukan Rendy. Lina memiliki Rachel sebelum menikah dengan Rendy.

Jadi, sudah paham ‘kan kenapa Rachel di benci di sini? Ibunya selalu berpikir kalau dia hadir karena kesalahan. Dan Rachel harus bersyukur sudah dilahirkan. Rachel selalu berpikir, kenapa harus dilahirkan kalau orang yang melahirkannya membenci Rachel?

Rachel meletakkan piring di atas meja. Dia selalu menulikan diri dengan segala makian yang keluar dari mulut ayah, ibu, dan saudarinya. Dia sudah terbiasa, begitu pula dengan teman-teman di sekolahnya. Teman? Pantaskah mereka disebut teman?

“Dasar anak dungu! Menyingkir dari hadapanku!” usir pria paruh baya yang selesai membaca Koran.

“Ayah! Aku sudah terlambat! Pergi dulu!” Mira segera menarik tasnya dan keluar rumah.

Hal itu membuat Rachel ikut terkejut juga. Dia melirik jam dinding di ruang makan itu. Benar saja! Sudah jam 6:40 pagi, Rachel bakalan terlambat kalau berlari ke sekolahnya. Untung dia punya simpanan beberapa lembar uang untuk naik angkot.

Segera Rachel berangkat sekolah setelah memasukkan makanan ke dalam kotak makan. Tapi kakinya berhenti jauh di depan gerbang. Kalau dia masuk lewat sana, bisa-bisa mereka mencegatnya. Rachel ada ujian Matematika hari ini. Tidak mungkin dia bolos di mata pelajaran pertama.

Akhirnya, Rachel berlari ke belakang sekolah. Dia meloncati dinding sekolah. Tapi ternyata ada beberapa orang yang sudah menunggu kedatangan Rachel dari sana. Bibir mereka menyeringai membuat Rachel merinding.

“Hei! Dia di sini!” teriak wanita berambut panjang yang berada di ujung kanan.

Di hadapan Rachel sekarang ada tiga orang wanita. Sedangkan ‘Boss’ mereka datang beberapa saat kemudian. Sekarang mereka sudah lengkap. Lima orang wanita yang mengelilingi Rachel. Beberapa pemuda berada di belakang mereka. Mungkin mereka berjaga takut Rachel menendang ‘wanita’nya.

“Huh … berani banget Lo kabur dari Gue, Sampah!!” sinis si pemimpin.

Rachel mulai didorong sampai terjatuh. Rasa sakit terasa di telapak tangannya karena menahan beban tubuh. Tasnya dirampas paksa. Mereka mengeluarkan seluruh isinya.

“Siksa dia!” perintahnya sebelum membongkar satu persatu isi tas Rachel.

“Tidak … tolong lepaskan aku untuk hari ini saja,” mohon Rachel.

“Lisa, Si Bodoh minta dilepaskan,” ucap wanita lain dengan wajah mengejek.

“Jangan dengarkan,” jawab si pemimpin yang bernama Lisa. Tangan wanita itu merogoh kotak makan Rachel dan berjalan ke tempat sampah lalu membuang isinya.

Rachel menatap sedih makanannya.

PLAKK

“Akh …” Rasa panas terasa di pipi kiri Rachel. Ujung bibirnya robek, lagi.

“Kenapa Lo bawa-bawa sampah kayak gini? Hahaha …” Lisa tertawa. Lalu dia membuang kotak makan kosong itu ke tong sampah. “Kalau sampah, berarti harus di simpan di tempatnya ‘kan?”

Teman-temannya tertawa sinis menanggapi ucapan Lisa. Lalu Lisa menunduk dan berbicara, “Dan seorang sampah, harus disingkirkan ke tempat sampah juga.”

Setelah itu, hantaman keras datang ke punggung Rachel sampai dia jatuh telungkup. Hantaman itu tidak pernah berhenti sampai suara bell masuk berbunyi. Mereka bubar dengan senyuman di bibir mereka.

“Pulang sekolah nanti, awas Lo kalau kabur lagi!” ancam mereka sebelum pergi.

“Huh …” Rachel menghela nafas pelan. Tubuhnya sudah sering merasakan sakit seperti ini. Mungkin dia sudah merasa bosan diperlakukan seperti ini sampai dia mengira ini memang jadwal hariannya. Rachel bahkan sudah tidak pernah menangis lagi merasakan rasa sakit di tubuhnya—ohh, sesekali mungkin Rachel menangis karena dia ingin semua siksaan mereka segera selesai. Rachel tidak tahan dengan hantaman-hantaman yang mereka berikan pada tubuhnya.

Susah payah Rachel menggerakkan badannya. Dia meringis setiap menggerakkan otot dan sendinya. Rasanya seperti semuanya remuk. Mentalnya kembali di uji ketika masuk ke dalam kelas.

Tidak ‘pernah’ ada yang bertanya apa yang terjadi padanya, atau bahkan tatapan iba pun tidak ada. Ketika Rachel masuk, tawa dan ejekan selalu didengarnya. Dan lagi-lagi Rachel sudah merasa terbiasa.

Rachel cuman mau sekolah, belajar, dan mendapatkan ijazah untuk melamar pekerjaan nanti. Hanya untuk kertas yang bertulisan ‘Ijazah’.

Adakah dari kalian yang bertanya, ‘Kenapa gak lapor polisi, sih?’

Dan jawaban dari Rachel adalah dia pernah mau mencobanya. Untuk yang pertama dan terakhir kali, Rachel mengadukannya pada wali kelasnya. Dia bahkan sempat memohon di depan kepala sekolah. Coba tebak apa jawaban mereka.

‘Itu hanya permainan anak-anak, jangan di ambil hati.’

Patutkah seorang guru berkata seperti itu? Alhasil, dia di bully lebih parah dari sebelumnya. Rachel tahu, anak-anak yang membullynya adalah anak-anak orang kaya. Mereka bisa saja membayar keadilan dengan uang. Apalagi, Rachel tidak memiliki dukungan dari siapapun. Bahkan ayahnya mungkin akan mendukung mereka dan semakin menjatuhkan Rachel.

Jadi, percuma saja mengadu pada polisi. Kalau kita cuman sendirian, siapa yang bakal bela kita sedangkan para polisi itu memihak mereka? Dia cukup bersyukur bisa sekolah di sekolah elite ini. Walaupun dengan Beasiswa. Rachel hanya bisa bersabar. Untuk satu tahun lagi. Rachel pasti bisa melewatinya. Setelah itu, mari kita hidup tenang. Semoga …

2 Be Con

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Kuki Kukies

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku