/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
"Bu, beli satu ekor, bisa?"
Aku berdiri di lapak penjual ikan. Berharap ibu penjual ikan mau melayani. Namun, wanita berkaca mata itu masih sibuk melayani pelanggannya yang membeli banyak. Tidak apa-apa, aku memang datang belakangan.
Aku mendesah pasrah karena belum juga dilayani. Padahal aku datang lebih dulu. Namun, kaki ini enggan beranjak dari sana. Sabar menunggu sampai pelanggan lain selesai dilayani. Cipratan air yang bercampur darah ikan sesekali mengenai gamisku. Sudah hampir lima belas menit berdiri, tetapi ibu penjual ikan seolah menganggapku seperti arwah penasaran yang tak terlihat.
Aku tak tahan lagi, ingin segera beranjak hendak pergi. Akan tetapi, panggilan dari ibu penjual ikan membuat kaki ini tak jadi beranjak. Ibu penjual ikan tersenyum misteri padaku.
“Mau beli berapa kilo?”
“Satu ekor boleh, Bu?” tanyaku agak malu.
“Hmm, ya. Sebentar.”
Mata ini melihat ke arah lain, suasana pasar pagi ini cukup ramai.
"Ini, ikannya, Mbak." Ibu penjual ikan memberikan kresek hitam kepadaku. Aku menyambutnya dengan senyuman.
“Satu ekor kan, Bu?” tanyaku lagi. Agak heran karena kantong itu agak sedikit berat.
“Iya.”
"Berapa, Bu?" tanyaku cemas, karena kantong itu terasa agak berat.
"Tak usah dibayar," ucap ibu itu tersenyum.
“Jangan gitu, Bu. Saya bayar saja," ucapku tak enak hati. Aku bukan pengemis yang menginginkan belas kasihan orang.
"Ambil saja, Mbak.” Ia memaksaku, lalu melanjutkan melayani pembeli yang baru datang.
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama."
Aku segera berlalu dari lapak ibu penjual ikan. Mengitari pasar, mencari penjual tempe. Sesampainya di sana, aku membeli tempe tiga ribu rupiah. Bapak penjual tempe mengambil uangnya.
Setelah semua bahan yang aku beli dapat. Aku pun segera buru-buru pulang. Anak semata wayangku pasti sudah menunggu di kontrakan.
***
Sesampainya di kontrakan, aku menemukan pintu sudah tertutup. Mungkinlah Laila sudah pergi ke sekolah? Aku berharap anak semata wayangku baik-baik saja. Aku langsung berlalu, masuk ke kontrakan dan menuju ke dapur.
Senyumku mengembang, kali ini bisa memasak ikan untuk putriku. Laila pasti senang, dan akan makan dengan sangat lahap.
Ketika membuka kantong, aku sangat terkejut. Apa maksud ibu tadi? Isi kantong yang ia berikan hanyalah tulang dan kotoran ikan. Seketika air mata ini langsung jatuh.
Kresek berisi kotoran ikan itu segera aku buang ke tong sampah. Aku sambar jilbab di atas kasur, segera pergi ke pasar lagi. Membeli ikan ke penjual ikan yang lain.
Sesampainya di pasar, aku langsung berinteraksi dengan penjual ikan yang lain.
"Pak, ikannya bisa dibeli seekor saja?” tanyaku pada bapak penjual ikan.
"Bisa, kok, Mbak."
"Ikan emasnya satu ekor saja, ya, Pak."
Bapak penjual ikan mengambil seekor ikan mas yang berenang ke sana ke mari. Setelah memasukkannya ke dalam kantong kresek, lalu dinaikkan ke timbangan.
"Beratnya, dua ons, Mbak. Jadi, delapan ribu, ya."
Aku serahkan uang sepuluh ribu, bapak penjual ikan mengembalikan uangnya dua ribu.
Aku kembali ke rumah dengan hati lega. Sepulang sekolah, putriku pasti akan segera melihat tudung saji. Sebelum sang putri pulang aku bertekat harus selesai masak.
***
Bu, ikan gorengnya, enak." Putriku—Laila tersenyum girang, dia makan dengan sangat lahap.
"Alhamdulillah, Nak."
"Ibu, nggak makan?"
"Nanti. Kamu makan saja, dulu."
"Terima kasih, ya, Bu. Akhirnya Laila bisa makan ikan juga. Semenjak ayah tinggalin kita ....” Ucapan Laila langsung terhenti.
"Ssst! Sudahlah, Nak. Jangan bahas tentang ayahmu, lagi. Luka ibu akan berdarah kembali jika kamu bahas itu." Aku memotong kalimat yang diucapkan Laila.
"Maafin, ya, Bu."
/0/4247/coverorgin.jpg?v=084a3a9b57319d8195e2577f605c01bc&imageMogr2/format/webp)
/0/16377/coverorgin.jpg?v=238b16ee91e65703d56b689b7e8063b6&imageMogr2/format/webp)
/0/18528/coverorgin.jpg?v=6dbcaeef844d9f6775eb28702466e39f&imageMogr2/format/webp)
/0/16704/coverorgin.jpg?v=d5c2877c62f02be8cddc10bb73713c32&imageMogr2/format/webp)
/0/24408/coverorgin.jpg?v=d05ad4bc350342e28cb389d6cd17e89d&imageMogr2/format/webp)
/0/2551/coverorgin.jpg?v=800b663abaa3cb1417e3481b9de31f03&imageMogr2/format/webp)
/0/4857/coverorgin.jpg?v=11970576592bbe4ba8fbf39fc9fad297&imageMogr2/format/webp)
/0/13507/coverorgin.jpg?v=38da432f69ee9f0aa700787786fd7b13&imageMogr2/format/webp)
/0/16255/coverorgin.jpg?v=25372ed2ca594478ba4aa69c117056da&imageMogr2/format/webp)
/0/3425/coverorgin.jpg?v=931db14174065e64c293c717cd29590a&imageMogr2/format/webp)
/0/15684/coverorgin.jpg?v=582efdbb1bf8b3ff4017bd575497a497&imageMogr2/format/webp)
/0/2086/coverorgin.jpg?v=85513426d6fde35febe8fd75360b0a9d&imageMogr2/format/webp)
/0/16789/coverorgin.jpg?v=043048520fae542c162bd6db7037911f&imageMogr2/format/webp)
/0/17322/coverorgin.jpg?v=42ab220d18228ed2cbfbbe34b318616c&imageMogr2/format/webp)
/0/6480/coverorgin.jpg?v=7b42e334b6b42ad5c0d3092eaacb4684&imageMogr2/format/webp)
/0/5817/coverorgin.jpg?v=5ef438976c051573a4e21b55f5f410c1&imageMogr2/format/webp)
/0/4346/coverorgin.jpg?v=e99ad841c1d7ed14fd14bd07f0817b0f&imageMogr2/format/webp)
/0/7027/coverorgin.jpg?v=75220ee91a5a06d65d76a3fd76c4fce3&imageMogr2/format/webp)
/0/15065/coverorgin.jpg?v=28936aea89b55535db921173a459096c&imageMogr2/format/webp)
/0/15780/coverorgin.jpg?v=4dceae18cd8653a26ddcb313f48d3eec&imageMogr2/format/webp)