Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjerat Cinta Sang Mafia Obsesif Darah

Terjerat Cinta Sang Mafia Obsesif Darah

Srarrh wn

5.0
Komentar
183
Penayangan
5
Bab

Minori Fai seorang pegawai kantoran yang berumur 24 tahun bekerja diperusahaan besar Jepang yaitu Sbck Corporation. Sedari SMA, Minori sudah menyukai Bos perusahaannya bernama Gin tori merupakan wakil Direktur perusahaan tersebut, namun apalah daya Cinta Minori bertepuk sebelah tangan. Dijalan pulangnya, ia kembali mendapat kesialan, darah berserakan dan seorang lelaki misterius mengancamnya agar dapat tinggal dirumah Minori. Dia adalah Keiji Ren lelaki berumur 23 tahun, orang yang terobsesi dengan darah dan juga sekaligus anak dari seseorang Bos besar Mafia. Minori yang sudah menyerah akan cintanya dengan Gin Tori, dia mabuk-mabukan. Dan saat dia pulang kerumah, Keiji sedang menunggu didepan pintu. Minori langsung menerkam Keiji untuk melakukan hubungan intim. Dari situ Keiji meminta pertanggung jawaban, namun Minori menolak karena tidak menyukai Keiji. Lambat laun mereka selalu terbiasa melakukan hal itu, walaupun Minori sekarang berpacaran dengan Rin Tori adiknya Gin Tori. Bisakah Minori bebas dari Keiji yang selalu mengancam akan membunuhnya, atau malah mencintainya?

Bab 1 Penolakan!

Ditaman dengan dedaunan yang jatuh dari atas pohon, dan keramaian disore hari yang indah Minori Fai, terbawa suasana dan mengakui perasaanya kepada sahabatnya Gin tori yaitu Bos Perusahaan Tempat ia bekerja. Padahal mereka hanya kebetulan bertemu dan berjalan bersama, Minori berjalan di belakang Gin. Lalu ia mengungkapkan perasaannya. "Aku menyukaimu Gin!" ungkapnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Sontak Gin berhenti melangkahkan kakinya, ia menoleh kearah Minori. "Maaf, aku sudah berpacaran dengan Anzu," tolaknya dengan mimik wajah nan dingin. Anzu adalah teman kecil Gin, yang selalu saja menempel dimana Gin berada.

DEG!

Waktu seolah berhenti seketika dan darah Minori seakan berlaju dengan cepat, perempuan itu segera tersenyum pahit. "Kalau begitu selamat ya, aku hanya memberitahukan perasaanku dan juga tidak berharap kamu akan membalasnya!" ucap Minori tersenyum paksa menyunggingkan giginya.

"Iya..." jawab Gin datar.

Minori pun berbalik badan perlahan meninggalkan Gin. Dan tanpa sadar berhenti, dengan ragu kembali menoleh kearah Gin dan berkata. ") ku masih temanmu, kan?" sambungnya lirih.

"Tentu saja," jawab Gin tersenyum lesu.

"Kenapa wajahmu menekuk seperti itu? Padahal aku yang ditolak disini, menyebalkan sekali! Yasudahla aku pergi!!" protes Minori dengan nada bercanda.

"Iya hati-hati" jawabnya singkat.

Dengan perasaan sedih, Minori berlari namun tidak sengaja menabrak batu dan malah tersandung.

BRUKKK!

Akhirnya ia terjatuh dengan wajah kaki tangan memeluk tanah, perempuan itu membatin. "Apakah ini dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula? Memalukan sekali!"

"Fuffft"

Terdengar suara seseorang sedang tertawa tepat dihadapannya. Minori mendongak keatas ternyata Gin telah menghampirinya untuk membantu berdiri. Lelaki itu mencoba menahan tawanya, dengan menutup mulutnya.

"Kau tidak apa-apa? " tanya Gin.

Minori menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan-nya, kemudian bangkit menoleh Gin dengan cengar-cengir.

"Hahaha wajahmu..." kekeh Gin sekali lagi yang berusaha menahan tawanya.

"Kenapa wajahku?" Minori mengambil kaca disakunya, kaget wajahnya menjadi hitam akibat kubahan lumpur, perempuan itu pun berlari secepat kilat tanpa memperdulikan Gin lagi. "Seseorang tolong bunuh aku!" jeritnya dalam hati.

Gin mencoba menghentikan tawanya, dan mencoba memanggil Minori. "Hey jangan lari dengan tampang seperti itu, nanti kau bisa menakuti seseorang!" selorohnya menatap perempuan itu yang lari semakin jauh dan sudah tidak terlihat. "Ya inilah yang terbaik!" gumam Gin tersenyum kecut.

Minori sudah lelah lalu berhenti, menatap kebelakang dari kejauhan sudah tidak ada Gin disana. "Selamat tinggal cinta pertamaku!" ucap-nya dengan mata berkaca-kaca. Kebetulan angin kencang, dedaunan ikut berterbaran melaju menyibakkan rambutnya.

"Ma, lihat kakak itu seram sekali!" ujar anak kecil kepada Ibunya, menunjuk kearah Minori.

"Tidak usah dilihat nak!" sosor sang Ibu menutup mata anaknya, mereka berdua berjalan cepat menjauh dari Minori.

"Astaga, baru ingat wajahku sekarang seperti dakocan!" gumam Minori pasrah menutup wajahnya diakibatkan malu.

Kendati bagaimanapun, keesokan harinya Minori tetap bekerja seperti biasa. Ia melirik-lirik kesekelilingnya agar tidak berpas-pasan dengan Gin. Tiba-tiba ada seseorang menjawil bahunya dari belakang. "Apa kau sedang memata-matai seseorang?" bisik Sirvi yang adalah teman satu kantor Minori yang suka asal bicara.

"KYAAA IBU..." Tubuh Minori spontan melompat, ia mencoba mengatur nafasnya. Lalu mengalihkan pandangannya kedinding "Wah lihat... semut-semut ini sungguh manis!" dalihnya tidak masuk akal.

"Semut?" sambut Sirvi mengikuti sorotan mata Minori.

"Aku duluanya!" timpal Minori berlari tergesa-gesa meninggalkan Sirvi memasuki ruangan mereka.

"Oh, oke." balas Sirvi singkat, dan memperhatikan kembali dinding tadi. "Manis dari mana? ini kelihatan menyeramkan!" Tatapnya dengan wajah geli.

Beberapa saat jam sudah berlalu tidak ada yang terjadi, selesai bekerja dan tidak terasa diluar sudah gelap. "Sepertinya hari ini dia tidak datang?" kata Minori dalam hati seraya menoleh keluar jendela. Tanpa disadari airmata Minori jatuh. "Aku sungguh menyedihkan," keluhnya menyender dibangku.

Di perjalanan pulang Minori berhenti didepan toko kue, ia membeli beberapa roti, setelah membeli beberapa roti Minori mengendarai motornya Menuju pulang melewati jalan sempit nan sunyi, disana Minori mendengar ada Seseorang berteriak meminta tolong, dengan sigap Minori melajukan motornya menuju kelokasi tersebut, Minori kaget menampaki seseorang sudah bersimbah darah. "Apa yang terjadi disini?" ucapnya dengan tubuh bergetar hebat.

Ada seorang Lelaki berdiri tepat dibelakang Minori, ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang putih, bentuk badan yang tinggi kurus rambutnya hitam bergelombang, poninya hampir menutup mata, kulitnya pucat dan kelopak bawah matanya berwarna gelap seperti tidak tidur berhari-hari. Lelaki tersebut menoleh dengan tatapan tajam, sembari menodongkan pisau keleher Minori."Jalankan motornya!" ancamnya dengan mata menyala.

Tubuh Minori bergetar hebat saat tahu pisau telah mendarat dilehernya, keringatnya bercucuran membasahi dahinya. "Pembunuh...Tolong ada pembunuhan disini!" teriaknya keras. Namun tidak ada satu pun yang mendengar.

Lelaki itu marah atas teriakan Minori, ia Mengubah posisi pisaunya keperut Minori, saat ia akan menancapkan pisau tersebut, datang seseorang kelompok dari arah depan dan posisi mereka masih jauh. "Kalian jangan kabur!" teriak salah satu dari mereka yang tampak memegang berbagai benda tajam.

"Tunggu apalagi, jalan! kau pikir mereka akan menolongmu, mereka pasti berpikir bahwa kita adalah komploton," asutnya menakuti perempuan itu.

GLEK!

Minori menelan ludahnya. "Mereka sangat menakutkan, tapi bagaimana dengan pria berdarah ini, mereka bertemankan? pasti dia akan tertolong," pikirnya yang masih memikirkan pria yang sekarat itu.

Dengan suara lemas Minori bicara sambil menangis. "Berjanjilah, kau tidak akan membunuhku." Minori mencoba berkompromi memohon belas kasihan.

Lelaki tersebut menatap tajam Minori Seolah akan membunuhnya. "Tidak ada satupun orang yang dapat memerintahku!" tekannya memperingati agar Minori tahu posisinya.

Minori semakin takut, ia langsung menyetujui. "Kalau begitu kau bonceng! Aku tidak terlalu bisa melaju cepat," ucapnya terbata-bata.

"Kalau aku tahu membawanya, kau sudah kutendang dari tadi," Sembur lelaki itu kesal.

Minori mulai melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Para segerombolan kelompok tadi malah semakin dekat dari posisi mereka. "Mau kemana kalian jangan kabur!" ancam mereka mengangkat senjata.

"Mau kemana bukan urusanmu! Dasar brengsek!" Minori menjebak mereka dengan mengarahkan laju motornya seolah ingin menabrak batu besar. Namun ia segera menghindar, dan akhirnya yang kena malah orang-orang mengejar mereka, salah satu dari mereka berakhir mencium aspal.

"Heeeh... Boleh juga kamu!" puji lelaki itu memeluk pinggang Minori erat.

"DIAM!" bentak Minori spontan, ia masuk kejalan yang memiliki banyak tikungan, dari situ Minori langsung mengecoh mereka.Dan alhasil kejar-kejaran mendebarkan berakhir, Minori berhasil kabur dari orang-orang tadi.

"Dasar kalian tidak berguna!" sergah Pria yang memimpin kelompok tadi. "Ayo kita pergi dan memberitahu Bos." sambungnya kesal.

Minori terpaksa membawa masuk lelaki tersebut kerumahnya, karena diancam dan perempuan itu tidak berdaya sama sekali. Setelah sampai dirumah, lelaki itu menelusuri setiap sudut ruangan yang tempat tidurnya bersatu dengan dapur dan kamar. "Rumah ini kecil sekali," ledeknya sembari duduk diatas kasur.

"Sudah tahu kecil, pergi sana!" hardik Minori dalam hati.

"Hei kemari, obati luka ku!" perintah lelaki itu dengan dingin.

"Tidak bisakah kau kerumah sakit luka mu sangat parah!" usul Minori yang ngilu melihat luka lelaki itu.

"Kau mau aku ketahuan abis membunuh seseorang?" sergahnya melototi Minori.

Minori terdiam sambil mengingat darah yang bersimbah didepan matanya sehingga membuatnya mual seketika, dan langsung menutup mulutnya, seolah tidak percaya dengan apa yang telah terjadi padanya.

"Dan jika aku ketahuan, kau juga akan terlibat karena telah menyembunyikanku dirumahmu." Lelaki itu mencoba menakuti dan menatap tajam Minori.

Minori menunduk lemas, ia mengambil kotak obat yang ada dilemari, dan segera mengobati luka yang ada dilengan lelaki itu.

"Beritahu aku siapa nama mu!?"

Minori membatin. "Dasar preman kau pikir aku akan memberitahu namaku?" Minori menggertakan giginya.

"Kenapa diam, apa kau jadi bisu?" hardik lelaki itu tersenyum sinis.

"Eh tidak, namaku Minori Fai." Dengan cepat memberitahu namanya. "Hanya saja wajahmu sangat tampan aku jadi terpesona sesaat." Minori mencoba berpura-pura memuji sembari membalut luka lelaki itu. Dalam hatinya. "Poin pertama, agar orang menjadi luluh walaupun sedikit, puji wajahnya. Lalu Poin kedua bilang suka. "Aku suka wajahmu!" ucap Minori berani. Ia tidak tahu bahwa pujian itu hanya berlaku kepada sepasang kekasih. "Ini pasti berhasil, inikan ajaran Sirvi sang ahli strategi," ucap batinnya percaya diri.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku