Lalala
"Aku ... aku memang menyukaimu!"
Natasha tersentak, "Kamu serius?"
Gadis manis nan rupawan itu terkejut saat mendengar ungkapan dari Mesha, laki-laki dengan sebutan mahasiswa terbaik di kampus tempatnya kuliah. Butuh waktu tiga tahun bagi Natasha untuk dapat mengungkap perasaan hati laki-laki yang didambakannya.
"Sebenarnya, aku sudah lama memendam perasaan ini ke kamu, Na. Namun, tak ada satu pun alasan yang membenarkanku untuk mendapatkanmu!"
Mesha menundukkan wajah tampannya di depan seorang gadis. Dia merasa pilu bercampur malu dengan keadaan hidupnya yang sarat akan duka dan lara.
Laki-laki itu menunjuk ke segala penjuru arah rumahnya yang hanya tertutup anyaman bambu. Lubang cukup besar terlihat menganga yang memaksa air akan masuk di kala langit menurunkan hujan.
Sang gadis mengangkat kepalanya menghadap Mesha. Keadaan hidup laki-laki itu membuat hatinya serasa pilu. Dia pun terdiam, tak dapat menyangkal satu pun perkataan Mesha karena memang benar adanya.
"Bukankah semua ini sangat jauh berbeda denganmu? Kamu orang kaya dan memiliki segalanya! Bahkan tempat ini tidak terlihat seperti rumah bagimu. Iya, kan? Apa kamu pikir aku pantas untuk ...."
"Cukup, Mes ... cukup! Please ... jangan kamu lanjutkan ucapanmu!"
Natasha mendekap erat tubuh Mesha. Indah matanya kini mulai berkaca-kaca. Walaupun berharap menikmati suasana ini dengan suka cita, dia terlihat cukup bahagia karena dapat mengetahui kebenaran yang selalu dinantikannya sejak lama.
Mesha pun semakin terbawa suasana. Dia melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Natasha tanpa sedikit pun keraguan. Dihirupnya wangi rambut lurus terurai gadis itu, menghadirkan hawa sarat kasih yang membawa mereka mengarungi luasnya semesta hati. Meluluh-lantakkan tekanan perasaan yang mereka rasakan selama ini.
"Dengarkan aku baik-baik, Mesha! Memang benar anggapanmu tentangku. Namun, aku bukan orang yang memiliki segalanya. Aku memang mempunyai banyak harta, tetapi bukan menjadi alasan bagi seseorang untuk menjauhiku. Camkan hal itu!"
Natasha menyandarkan kepalanya ke tubuh Mesha, menambatkan kembali sebuah pelukan yang sempat terlepas.
"Jika aku memilikimu, kamu boleh menyebut aku sebagai orang yang memiliki segalanya."
Perkataan Natasha begitu mengena di hati Mesha. Dia merasakan ketulusan dari setiap kata yang diucapkan gadis itu bukanlah omong kosong belaka.
"Sejak kapan kamu mulai menyukaiku?" tanya Mesha.
"Sejak kamu mulai menyukaiku," jawab Natasha singkat.
Mesha mengerutkan dahi. Dia tidak menyangka bahwa Natasha juga menyukai dirinya sejak awal bersua.
Detak jantung semakin berdetak lebih cepat saat sebuah kecupan menyatukan bibir mereka. Hela napas pun kian menggebu seirama dengan meningkatnya ritme permainan keduanya.
Sepasang tangan kekar mulai berani menelusuri tiap lekuk tubuh memikat sang gadis. Dia terlihat menggeliat, merasakan sensasi di setiap sentuhan jari.
"Apa aku boleh ...."
Natasha hanya mengangguk setelah setengah pakaiannya ditanggalkan. Mesha pun semakin leluasa setelah mendapat persetujuan dari sang gadis. Dia merebahkan tubuh berkulit putih itu untuk memulai petualangan baru. Petualangan yang membawa mereka merasakan kenikmatan tiada tara dalam balutan asmara.
"Jangan pernah kamu berani meninggalkan aku setelah ini!" tegas Natasha sembari mengecup bibir pujaan hati.
"Setelah kamu memberikan semua ini? Bagaimana aku berani?!"
Satu ikrar pun terucap yang mengikat kedua insan itu untuk tetap bersama. Mereka berharap tak ada satu hal pun dapat memisahkan cinta yang telah menyatu dalam kalbu.
***
Sebuah mobil sport mewah dua pintu datang mengisi ruang kosong di luasnya halaman parkir kampus ternama. Setiap pasang mata tertuju pada satu titik saat seorang perempuan bernama Natasha membuka pintu mobil dan menginjakkan kakinya di atas lapisan aspal.
Perempuan itu tak menghiraukan. Pandangan matanya tak dapat teralih dari sosok Mesha yang bercumbu dengannya kemarin. Namun, laki-laki itu terlihat termenung bersandar di gedung kampus.
"Kamu kenapa diam di sini?" tanya Natasha heran dengan tingkah kekasihnya.
"Ah, nggak apa-apa."
Natasha tersenyum. Dia mengetahui Mesha sedang menyembunyikan sesuatu. Dia pun mendesak sang kekasih agar mengungkap hal yang menghadirkan tanya di hatinya.
"Aku nggak bisa melanjutkan kuliah, Na," ungkap Mesha tertunduk.
Natasha terkejut, digenggamnya tangan Mesha erat, "Kenapa, Mes? Padahal kita sudah berjanji akan terus bersama. Kamu juga dapat beasiswa di sini. Apa kamu mau mundur begitu saja?"
Mesha lantas menjelaskan alasannya berhenti kuliah. Dia harus berangkat ke Ibukota untuk membantu orang tuanya mencari nafkah.
Sang perempuan mencoba meyakinkan agar Mesha tidak pergi menjauh. Namun, usahanya tidak berhasil karena Mesha bersikukuh dengan pendiriannya.
"Ibuku butuh biaya untuk pengobatannya. Mungkin dengan kerja di sana, aku dapat membantu biaya pengobatan ibuku," beber Mesha.
"Kenapa kamu nggak ngomong hal itu ke aku, Mes? Aku bisa bantu biaya pengobatan ibu kamu. Kamu butuh biaya berapa untuk pengobatan ibu kamu? Ngomong ke aku. Aku akan bayar berapa pun biayanya asalkan kamu tetap di sini menemaniku."
"Masalahnya nggak sesederhana itu, Na! Bukan hanya pengobatan yang dibutuhkan ibuku. Kalau aku nggak ke sana, lalu siapa yang akan merawatnya? Sedangkan dia juga masih kerja dengan kondisinya saat ini."
Natasha terdiam. Perkataan Mesha tak henti-hentinya menghadirkan kesedihan. Hati perempuan itu semakin pilu, genangan air pun tak dapat dibendung kelopak matanya. Dia tertunduk, tak sanggup jika harus melihat kepergian seseorang yang sudah lama dicintainya.
Di samping itu, Natasha tentu merasa khawatir. Pasalnya, laki-laki yang berada di hadapannya sudah menanamkan benih yang mungkin akan menghadirkan masalah besar bagi kehidupannya.
"Lalu ... bagaimana denganku? Bagaimana jika nanti terjadi apa-apa denganku?!"
Perempuan itu membalikkan badan dan meninggalkan Mesha begitu saja. Dia berlari dengan berurai air mata menuju tempat mobilnya diparkirkan. Meskipun kekasihnya mencoba untuk menghentikan niatan untuk pergi, Natasha tak menghiraukan dan tetap melajukan kendaraannya.
Pandangan yang mulai kabur tertutup air mata tak menghalangi seorang perempuan untuk kembali ke arah pulang. Dalam kesedihannya tersisip sebuah harapan, semoga tak ada hal buruk yang menimpa karena perbuatannya dengan sang kekasih.
Walaupun gelapnya hari mulai menyapa bumi, tak ada satu pun senyuman yang terpancar dari wajah Natasha. Dia memeluk foto almarhumah ibunya. Dia amat merindukan sosok seorang ibu yang dapat menenangkan kalut di hati.
"Ibu ... aku rindu Ibu," ucapnya penuh lirih, "jika saja Ibu ada di sini menemaniku, tentu aku akan merasa lebih tenang. Kenapa semua orang yang aku sayangi selalu jauh dariku? Hatiku sakit, Bu!"
Rintih perih diiringi kilatan cahaya yang disusul suara gemuruh terdengar menggema di langit malam. Rintik air hujan yang jatuh membasahi bumi seakan menyelaraskan diri dengan suasana hati. Berlimpah harta tak membuatnya bahagia. Perempuan itu merasa sendiri dalam sepi.
"Bagaimana jika aku benar-benar mengandung anak dari Mesha suatu hari nanti? Bagaimana caraku mempertanggungjawabkan semua ini di hadapan ayahku?"
Buku lain oleh Rurouni
Selebihnya