/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
Hujan turun sejak sore tadi. Langit Jakarta berwarna kelabu, seakan ikut menyerap kepedihan di dada Nayara. Dari balik kaca jendela apartemen mewah di lantai dua puluh, ia menatap derasnya air yang menari di permukaan jalan. Semua terasa dingin, sunyi, dan... kosong.
Nayara menatap pantulan dirinya di kaca-wajah pucat, mata sembab, rambut acak-acakan. Dua tahun pernikahan seharusnya membuatnya terbiasa dengan semua ini, tapi setiap hari terasa seperti pertarungan baru antara bertahan atau menyerah.
Suara pintu terbuka memecah keheningan. Ravian baru pulang. Pria itu tampak seperti biasa-rapi, berwibawa, dan dingin. Jas abu-abu yang ia kenakan masih menempel di tubuhnya, rambutnya sedikit basah karena hujan. Tatapan matanya tak pernah berubah, tetap datar seperti lembaran kaca.
"Sudah makan?" tanyanya singkat tanpa menatap Nayara.
Belum sempat Nayara menjawab, Ravian sudah berjalan menuju kamar. Ia melepaskan dasi dan membuka kancing kemeja satu per satu tanpa sedikit pun menoleh.
"Aku sudah makan," jawab Nayara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan di luar.
"Hm." Hanya itu tanggapan Ravian. Dingin, singkat, seperti tak ingin percakapan berlangsung lebih lama.
Nayara menarik napas panjang. "Kamu lembur lagi?"
"Ya." Ravian berdiri di depan lemari, mengganti pakaian kerjanya dengan kaus polos. "Banyak laporan yang harus kukerjakan. Besok ada rapat besar."
Nayara hanya mengangguk. Kalimat itu-banyak pekerjaan-selalu menjadi alasan yang sama setiap kali ia mencoba berbicara lebih dari lima menit dengan suaminya.
Ia memandangi punggung pria itu lama-lama, berharap Ravian akan sedikit saja menoleh, mungkin tersenyum, mungkin menanyakan kabarnya. Tapi tidak. Ravian tetap seperti batu-dingin, kaku, tak tersentuh.
Mereka menikah dua tahun lalu, bukan karena cinta, tapi karena permintaan Ibu Ravian, Ny. Maheswari, wanita elegan yang sangat menyayangi Nayara sejak kecil. Nayara tumbuh bersama keluarga itu setelah ibunya meninggal dan ayahnya bekerja di luar negeri. Hubungan mereka begitu dekat, hingga ketika Ny. Maheswari jatuh sakit, satu permintaan terakhirnya adalah ingin melihat Nayara dan Ravian menikah.
Dan Ravian menuruti.
Tanpa cinta, tanpa perasaan, hanya karena ingin memenuhi keinginan ibunya yang sedang sekarat.
Kini, setelah ibunya tiada, tak ada lagi alasan bagi Ravian untuk berpura-pura memperhatikan. Semua perlakuan hangat di awal hanyalah formalitas. Setelah pemakaman usai, dinginnya Ravian kembali seperti semula-bahkan lebih menusuk.
Nayara berjalan ke dapur, menyiapkan secangkir teh hangat. Tangannya bergetar saat menuang air panas, karena yang ia rasakan bukan hanya dingin dari udara, tapi juga dari sikap Ravian yang menembus hingga tulang.
Saat ia kembali ke ruang tamu, Ravian sudah duduk di sofa, membuka laptop.
"Aku bikin teh," ucap Nayara lembut. "Kamu mau?"
Ravian tidak menoleh. "Tidak. Aku masih harus bekerja."
Nayara mengangguk lagi, meski hatinya mencelos. Ia tahu betul Ravian tidak benar-benar bekerja. Laptop itu hanya perisai, cara pria itu untuk menghindari interaksi dengannya.
Ia menatap jam di dinding-pukul sepuluh malam. Dalam dua tahun ini, Ravian hampir tak pernah menemaninya makan malam. Tak pernah bertanya tentang harinya. Tak pernah menyentuhnya dengan kasih. Bahkan kamar tidur mereka pun sudah lama terpisah.
Nayara memejamkan mata. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya lolos juga, menetes pelan di pipinya.
"Kenapa kamu menikahiku kalau kamu tidak mencintaiku, Ravian?" gumamnya, hampir tak terdengar.
Ravian berhenti mengetik. Ia menutup laptopnya, lalu menatap Nayara untuk pertama kalinya malam itu. Tatapan matanya tajam, tapi bukan karena marah-melainkan karena kebingungan.
"Aku tidak pernah menjanjikan cinta, Nayara," ucapnya datar. "Kau tahu alasan kita menikah."
Nayara menatap balik, matanya berair. "Aku tahu. Tapi aku juga manusia, Ravian. Aku punya hati."
"Dan aku tidak bisa memaksakan perasaan yang tidak ada," jawab Ravian cepat. "Jangan berharap sesuatu yang tidak mungkin."
Seketika ruangan itu kembali sunyi. Hanya suara hujan yang terdengar, seperti ikut menangis bersama Nayara.
Nayara tersenyum pahit. "Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku juga tidak sanggup terus seperti ini."
"Lalu apa yang kamu mau?" tanya Ravian tanpa emosi.
"Perceraian."
Ravian terdiam. Tatapannya kosong, namun di balik itu ada sesuatu yang bergetar-entah marah, terkejut, atau takut kehilangan kendali.
"Jadi itu yang kamu mau?" suaranya pelan tapi tegas. "Kau pikir setelah semua ini, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?"
"Kenapa tidak?" Nayara menatap balik dengan mata merah. "Kita tidak saling mencintai. Aku lelah hidup di rumah yang dingin, bersama seseorang yang bahkan tidak mau menyapaku."
Ravian berdiri, mendekat beberapa langkah. "Kau tahu apa yang akan terjadi pada reputasiku kalau kita bercerai? Pada perusahaan? Pada nama keluargaku?"
"Jadi kamu lebih peduli pada reputasi daripada kebahagiaan kita?"
"Tidak ada 'kita', Nayara!" Ravian mengangkat suaranya, untuk pertama kalinya menunjukkan emosi yang selama ini ia tahan. "Seharusnya kau tahu sejak awal-aku menikahimu bukan karena cinta!"
Nayara mundur setapak, menahan tangis yang kembali mengalir. "Ya, aku tahu. Tapi aku bodoh karena tetap berharap."
Suasana tegang mengisi ruang tamu. Keduanya terdiam, hanya saling menatap dalam jarak yang terlalu dekat, namun terasa begitu jauh.
Beberapa detik kemudian, Ravian berbalik. "Bicarakan soal ini nanti. Aku tidak ingin membahas hal ini sekarang."
Ia berjalan pergi, meninggalkan Nayara sendiri.
Malam itu, Nayara duduk lama di sofa, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Di dadanya, cinta yang dulu begitu besar kini terasa hancur perlahan. Ia sadar, tidak ada gunanya bertahan untuk sesuatu yang sudah mati sejak awal.
Namun ketika ia mulai berpikir untuk benar-benar pergi, Ravian justru mulai menunjukkan sisi lain yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Beberapa hari setelah pertengkaran itu, Ravian tiba-tiba menjemput Nayara di depan galeri tempatnya bekerja. Pria itu jarang sekali melakukan hal seperti itu. Biasanya ia hanya mengirim sopir.
"Masuk," ucap Ravian singkat sambil membuka pintu mobil.
Nayara ragu, tapi akhirnya masuk juga. Sepanjang perjalanan, keduanya diam. Hanya suara hujan ringan dan radio yang terdengar.
"Kita mau ke mana?" tanya Nayara akhirnya.
"Pulang," jawab Ravian. "Aku tidak ingin kau pulang sendirian malam-malam seperti ini."
Nada suaranya terdengar... berbeda. Tidak sedingin biasanya. Ada sedikit kekhawatiran di sana, meski samar.
Nayara menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajah pria itu. Tapi Ravian terlalu pandai menyembunyikan apa pun yang ia rasakan.
Setibanya di rumah, Ravian membuka pintu untuk Nayara. Hal kecil itu saja sudah membuat Nayara terkejut.
"Ada apa sebenarnya?" tanyanya pelan.
Ravian tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, lalu berkata, "Aku tidak suka kau bicara soal perceraian lagi."
"Kenapa?" Nayara menantangnya. "Bukankah kau sendiri bilang tidak ada cinta di antara kita?"
Ravian menghela napas panjang. "Aku tidak tahu." Ia menatap ke arah jendela, menghindari mata Nayara. "Aku hanya tahu aku tidak siap kehilangan sesuatu yang sudah jadi bagian dari hidupku."
Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Nayara membeku. Untuk pertama kalinya, Ravian tidak berbicara dengan logika, tapi dengan perasaan.
Namun hati Nayara sudah terlalu lelah untuk berharap.
Ia menunduk, menatap jari-jarinya yang bergetar. "Kalau begitu, buktikan. Jangan cuma berkata tidak mau kehilangan, tapi terus memperlakukanku seolah aku tidak ada."
Ravian tidak menjawab. Ia hanya menatap Nayara lama, lalu melangkah pergi ke arah kamarnya.
Di sanalah Nayara sadar, pertarungan batin ini belum selesai.
Antara cinta yang tak berbalas dan keinginan untuk bebas, ia terjebak di antara dua dunia-yang satu menyakitinya, dan yang satu menakutkannya.
Malam itu, sebelum tidur, ia menulis di jurnal kecilnya:
"Mungkin mencintai orang yang salah bukan kesalahan terbesar. Tapi tetap bertahan setelah tahu tak dicintai-itu kebodohan yang tidak boleh kuulang."
Dan untuk pertama kalinya sejak dua tahun lalu, Nayara berdoa agar Tuhan memberinya keberanian untuk memilih-entah untuk bertahan, atau benar-benar pergi.
Namun ia tidak tahu, di balik dinginnya Ravian, ada rahasia yang perlahan akan mengubah segalanya.
Matahari baru saja naik ketika Nayara membuka matanya. Ruangan masih terasa dingin, sisa hujan semalam membuat udara pagi sedikit menusuk kulit. Ia menatap sekeliling, kamar yang rapi dan mewah itu terasa seperti penjara sunyi yang menelannya perlahan.
Ravian sudah tidak ada. Pintu kamar sebelahnya tertutup rapat, tapi dari suara samar deru mobil di garasi, Nayara tahu suaminya sudah berangkat kerja. Seperti biasa, tanpa pamit, tanpa sepatah kata.
Ia menarik napas panjang, duduk di tepi ranjang sambil menatap cincin pernikahan di jarinya. Cincin itu tak pernah dilepasnya, bukan karena berarti, tapi karena sulit melupakan makna di baliknya. Cincin itu simbol ikatan yang lahir dari kasih sayang seseorang yang sudah tiada-bukan cinta dua manusia yang menjalaninya.
Nayara turun ke dapur, menyiapkan sarapan sendiri. Sejak awal pernikahan, Ravian menolak keberadaan asisten rumah tangga di apartemen mereka. Katanya, ia tidak suka orang asing berkeliaran di rumah. Maka Nayara melakukan semuanya sendiri-memasak, mencuci, bahkan membersihkan rumah yang terlalu besar untuk satu hati yang sepi.
Sambil mengaduk kopi, pikirannya kembali ke semalam. Tatapan Ravian saat mengatakan ia "tidak siap kehilangan" masih terngiang. Bukan tatapan dingin seperti biasanya, tapi lebih... rapuh. Ada sesuatu di balik kalimat itu, sesuatu yang tidak Nayara pahami.
Namun, berulang kali ia mengingat, ia tetap tidak tahu apakah Ravian benar-benar mulai peduli atau hanya takut kehilangan kendali atas hidupnya yang sempurna.
Hari itu Nayara memutuskan untuk pergi ke galeri tempatnya bekerja. Ia sudah lama absen karena beberapa waktu terakhir suasana rumah terlalu menyesakkan. Galeri "Arsya Art Studio" adalah tempat di mana Nayara menemukan sedikit ketenangan. Ia bekerja sebagai kurator, mengatur pameran dan memilih karya-karya seni dari pelukis muda berbakat.
Begitu masuk, aroma cat dan kanvas baru menyambutnya. Reva, sahabat sekaligus rekan kerjanya, langsung menghampiri.
"Nay! Akhirnya kamu datang juga," seru Reva sambil memeluknya. "Aku pikir kamu udah lupa sama dunia seni kita."
Nayara tersenyum kecil. "Aku cuma butuh waktu buat istirahat, Rev."
/0/28672/coverorgin.jpg?v=a2fc2ec4f5544a487a339b1a98b3c58d&imageMogr2/format/webp)
/0/28860/coverorgin.jpg?v=bba826a0f173a0b385069ef51ce6cc61&imageMogr2/format/webp)
/0/29465/coverorgin.jpg?v=060d0d9395870c162ad87f632205f1db&imageMogr2/format/webp)
/0/2908/coverorgin.jpg?v=9e18d85bccc0b3a6a550f780a177ccc6&imageMogr2/format/webp)
/0/29788/coverorgin.jpg?v=2db6c1d51b5e2cf2a28c128544250bc1&imageMogr2/format/webp)
/0/23514/coverorgin.jpg?v=a9b1bb7c6b3467e7f12291528ae7be07&imageMogr2/format/webp)
/0/20052/coverorgin.jpg?v=3110406b87087a33ea8a95c8812417b9&imageMogr2/format/webp)
/0/13164/coverorgin.jpg?v=8d7b4c896134480c30396e56288da382&imageMogr2/format/webp)
/0/24606/coverorgin.jpg?v=994e4596e20ab94cb8758451e031c0e5&imageMogr2/format/webp)
/0/23725/coverorgin.jpg?v=0c3e9dab454f8a22d8c98ca9859435f0&imageMogr2/format/webp)
/0/27078/coverorgin.jpg?v=ccef0fd44eb8242eeabae6fecd4caca6&imageMogr2/format/webp)
/0/29163/coverorgin.jpg?v=c354ec2c6aed2db5390990818807a52d&imageMogr2/format/webp)
/0/14033/coverorgin.jpg?v=1ef4089dc7418cf7d0f402a19e5c9cb4&imageMogr2/format/webp)
/0/4224/coverorgin.jpg?v=baf7d841ae35f45935e153dd8eb82713&imageMogr2/format/webp)
/0/29613/coverorgin.jpg?v=e6e3db8431d11ea34c1cfd6a8a6a4d5b&imageMogr2/format/webp)
/0/20555/coverorgin.jpg?v=ed3dd031d632c678205b8e99aad7c88b&imageMogr2/format/webp)
/0/28969/coverorgin.jpg?v=e2667e0f3676b243d8721eb0c8a0c167&imageMogr2/format/webp)
/0/24233/coverorgin.jpg?v=ff9073c1b50b906c5a511041400bc717&imageMogr2/format/webp)