Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menjadi Incaran Sang Pewaris

Menjadi Incaran Sang Pewaris

Dayu_SA

5.0
Komentar
Penayangan
6
Bab

Daisy sama sekali tak pernah bermimpi menikahi seorang pemuda dari kalangan bangsawan. Yang ia inginkan justru sesuatu yang benar-benar sederhana. Menikah dengan pemuda yang sederhana, membangun rumah tangga yang sederhana dan tinggal di rumah yang tak kalah sederhana juga. Daisy berharap suaminya kelak akan memiliki hobi dan pandangan hidup yang sama dengannya. Namun bagaimana jika tiba-tiba saja dia dikejar oleh pemuda putra bangsawan gila yang terus menuntut pertanggung jawaban atas sesuatu yang bahkan ia sendiripun tak ingat pernah melakukannya?

Bab 1 Gadis Aneh

Daisy sekali lagi mematut bayangannya di cermin. Cermin besar setinggi dua meter itu merupakan satu-satunya benda yang bisa menjadi petunjuk bahwa pemilik kamar ini adalah seorang wanita. Di dalam kamar gadis itu memang hanya terdapat benda-benda standar yang pasti selalu ada di setiap kamar.

Satu buah single bed, satu buah lemari pakaian, satu buah meja belajar lengkap dengan kursinya, dan yang terakhir adalah cermin tadi yang memiliki ukiran rumit di setiap sisinya. Cermin besar peninggalan nenek moyang yang pastinya sangat sayang jika harus ditelantarkan.

Daisy kini memperhatikan penampilannya. Sebuah kaus berwarna hitam yang sedikit kedodoran, jaket jins yang warnanya mulai pudar, celana jins belel, dan sepatu bot yang sudah terlihat usang. Perfect!

Gadis itu kemudian melangkah ke ruang duduk dan meraih sebuah senapan laras panjang yang tersimpan rapi di atas perapian. Senjata kesayangan yang selalu menemaninya di setiap akhir pekan. Daisy mengusap-usap senapan itu sesaat untuk membersihkan sedikit debu yang menempel pada permukaannya.

"Baiklah, siap memulai petualangan!" seru gadis itu sambil berlari kecil menghampiri Cleo yang tengah merumput di halaman depan. Kuda betina berwarna cokelat tua itu meringkik dan menghentakkan kakinya beberapa kali ketika melihat Daisy berjalan mendekatinya, seolah menanti kedatangan gadis itu untuk membawanya berjalan-jalan.

"Kau merindukanku, teman?" gumamnya sambil mengusap bulu di leher Cleo yang lebat dan panjang. Kuda itu hanya meringkik sambil menghentakkan sebelah kakinya sebagai jawaban atas sapaan Daisy.

"Ya... ya, aku tahu. Aku juga merindukanmu," ujarnya sambil menepuk punggung kuda itu berkali-kali.

Daisy mengambil sebuah pelana kuda dan memasangkannya di punggung Cleo. Ia menggantungkan sebotol air mineral dan beberapa buah roti isi yang masih hangat untuk perbekalannya seharian ini.

Daisy baru saja mendaratkan bokongnya di atas punggung Cleo ketika pandangannya bertemu dengan tubuh mungil nan berisi Nyonya Hemelton yang tampak berkacak pinggang di depannya.

"Well, selamat pagi, Ma," ujar Daisy sambil mengangkat tali kekang Cleo dan bersiap memacu kuda itu.

"Selamat pagi, Sayang. Jadi... apakah kau berencana sibuk pagi ini?"

Daisy merasakan bulu-bulu halus di belakang lehernya meremang. Sindiran halus, tentu saja. Daisy tahu dengan pasti, pagi ini rumah mereka akan kedatangan tamu agung yang wajib mereka sambut dan jamu dengan baik.

Namun, gadis itu berpikir tak ada pentingnya ia melakukan hal semacam itu. Toh, ada atau tidak dirinya, tak akan terlalu berpengaruh terhadap kesan yang akan diterima oleh sang tamu agung. Sang tamu bahkan mungkin tak akan menyadari keberadaannya di tengah kecantikan kelima saudarinya yang lain.

Jadi, daripada membuang waktu untuk sesuatu yang tak perlu, lebih baik Daisy menggunakan waktu liburnya ini untuk berjalan-jalan di hutan. Sekadar menembaki burung yang terbang rendah atau melempari tupai yang sedang mencuri telur di sarang burung hantu.

"Tidak juga. Seperti akhir pekan biasanya, aku akan menghabiskan hari ini dengan berburu di hutan," jawab Daisy setelah beberapa menit terdiam.

"Jadi, hal bagus apa yang akan kau dapatkan setelah kembali dari hutan nanti? Apakah kau bisa membawakan ibumu yang tua ini seorang calon menantu idaman?"

Oh... tidak lagi. Kenapa ibunya harus selalu meributkan hal yang tak bermutu seperti ini? Calon menantu? Suami ideal? Oh... ayolah. Jangan buat Daisy tertawa! Ia bahkan baru dua puluh satu tahun! Odelia, rekannya di perpustakaan desa, bahkan bersikap santai saja padahal usianya tahun ini sudah genap tiga puluh tahun. Dengan statusnya-yang dengan bangga ia akui-masih belum menikah. Lantas, kenapa ia yang baru dua puluh satu tahun justru terus-menerus dikejar seperti ini?

"Hm... sepertinya itu permintaan yang agak sulit, Ma," Daisy meringis melihat ibunya yang langsung melebarkan mata, menatapnya dengan jengkel. "Tapi aku bisa membawakanmu beberapa ekor burung, tupai, musang, atau kalau beruntung, aku bisa membawakanmu satu ekor kijang untuk menu makan malam!"

"Sayang, kau akan lebih membuat ibumu ini bahagia jika saat ini kau bersedia mengganti pakaianmu dengan sesuatu yang lebih pantas. Kemudian, bergabunglah dengan kelima saudari­mu di ruang duduk untuk menyambut kedatangan Mr. Vermouth yang akan tiba sebentar lagi."

Daisy meniup poni yang menjuntai di keningnya dengan gusar. "Itu terdengar sangat membosankan, Ma. Kau tahu sendiri, aku paling tak bisa disuruh berdiam diri atau menunggu seseorang yang belum tentu benar-benar akan datang ke rumah ini."

Daisy menghela napas lelah. Seolah perintah untuk berdiam diri di rumah sama saja dengan perintah untuk menceburkan diri ke dalam lautan lepas yang dipenuhi ikan pari ataupun ubur-ubur mematikan.

"Lagi pula, Mama masih memiliki lima orang anak gadis yang mungkin tak akan keberatan untuk menikah dan melanjutkan keturunan Mama tak lama lagi. Mungkin saja Tuan Muda keturunan Vermouth itu akan melirik salah satu dari mereka," lanjut gadis itu kemudian.

"Kau benar, tapi yang saat ini paling Mama khawatirkan justru dirimu, Daisy. Kau sama sekali tak pernah tertarik dengan seorang lelaki. Bahkan ketika di sekolah menengah, saat semua temanmu mulai tertarik dengan lawan jenis, kau hanya sibuk dengan senapan dan seekor kuda. Jangan buat Mama mempertanyakan orientasi seksualmu, Sayang."

Ini dia. Meski benci untuk mengakui, Daisy sendiri juga kerap bertanya-tanya tentang orientasi seksualnya. Bagaimana tidak? Meski penampilannya tidak sespektakuler saudari-saudarinya yang lain, Daisy memiliki wajah yang cantik dan tubuh semampai yang proporsional. Banyak lelaki di desa ini ataupun desa tetangga yang menaruh hati padanya. Bahkan ketika di sekolah menengah, Daisy menjadi salah satu primadona yang diidamkan hampir setiap pria yang menatap wajahnya.

Namun, dari sekian banyak lelaki yang menyukainya, mengaguminya, menaruh perasaan diam-diam, atau bahkan mencoba peruntungan dengan mendekatinya secara terang-terangan, tak ada satu pun yang mampu menggerakkan hati Daisy. Gadis itu tak pernah merasakan ketertarikan berlebih seperti yang sering dirasakan remaja pada umumnya.

"Mungkin aku hanya belum menemukan orang yang tepat, Ma." Daisy meremas pelana Cleo dengan gusar. Tak bisakah pembicaraan tak penting ini diakhiri sampai di sini saja?

"Karena itu! Cobalah temui Mr. Vermouth ini. Mungkin saja hatimu akan tergerak setelah melihatnya." Seperti mendapatkan angin segar, Mrs. Hemelton langsung berbicara dengan menggebu-gebu. "Kau tahu, Sayang? Jika kau bisa menjadi calon pengantin keluarga Vermouth, kau pasti akan sangat bahagia. Kau akan menjadi lady yang paling dihormati dan disegani di sepenjuru Skotlandia ini. Tak akan ada yang berani menatapmu sebelah mata, Sayang. Hidupmu akan terjamin dan, yang paling utama, kau bisa mengangkat derajat keluarga kita. Bukankah itu hal yang sangat membanggakan?"

Daisy menggeleng. "Kurasa para saudarikulah yang akan bisa mewujudkan impianmu itu, Ma." Gadis itu menatap ibunya dengan raut bersalah. "Maaf..." gumamnya sebelum menyentakkan tali kekang Cleo hingga kuda betina itu berjalan pelan.

"Daisy! Mama bahkan belum selesai bicara!"

Daisy hanya mengangkat tangan kanan sebagai jawaban atas teriakan Mrs. Hemelton itu. Daisy bahkan tak merasa perlu untuk sekadar berbalik untuk melihat ekspresi kecewa yang tergambar jelas di wajah ibunya.

"Hai, Daisy! Kau mau ke mana?"

Bahkan Henry, yang baru saja memasuki pekarangan kediaman Hemelton dan berbaik hati menyapanya, hanya mendapat balasan berupa lambaian tangan.

"Mau ke mana gadis itu pagi-pagi begini?"

Henry menatap heran ke arah Daisy yang sudah menjauh dan memacu kudanya dengan lebih cepat.

"Ah! Mrs. Hemelton! Selamat pagi, pagi yang cerah, bukan?"

Pria periang itu menyapa dengan senyumnya yang secerah matahari pagi, namun tampaknya tak cukup mampu menghilangkan mendung yang menyelimuti wajah Mrs. Hemelton saat ini.

"Ada sesuatu yang salah, Mrs. Hemelton?" tanya pria itu kemudian.

Mrs. Hemelton menghela napas sebelum akhirnya menatap Henry dengan tatapan mengiba.

"Henry, kau sudah bersahabat dengan putriku itu sejak kecil, bukan? Tak bisakah kau membujuk gadis keras kepala itu untuk pulang dan membatalkan niatnya ke hutan?"

"Maksudmu, Daisy?" Henry mengangkat alis.

"Tentu saja. Hanya dia satu-satunya putriku yang menuruni sifat keras kepala ayahnya."

Henry nyaris tersedak salivanya sendiri. Sebuah komentar kurang ajar hampir terlontar dari bibirnya, namun terhenti dalam waktu yang tepat ketika mengingat bahwa wanita paruh baya di depannya ini adalah salah satu orang yang paling ia hormati dalam hidupnya.

Tak mungkin, bukan, ia berkata blak-blakan bahwa sifat keras kepala itu Daisy turuni dengan sempurna dari ibunya-Mrs. Hemelton sendiri?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Dayu_SA

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku