Nathaniel Albar adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarga Albar yang hidupnya sudah ditentukan sejak lahir. Hidup di bawah bayang-bayang kesempurnaan yang diharapkan darinya, Nathan tumbuh menjadi pria yang tak tersentuh dan sulit dipahami. Fokusnya hanya pada bisnis, kesuksesan, dan menjaga nama baik keluarganya. Namun, semua berubah ketika dia secara tidak sengaja bertemu Alya Nabila, seorang wanita biasa dengan semangat luar biasa. Alya hanyalah seorang gadis sederhana yang sedang mencari pekerjaan untuk menyelamatkan keluarganya dari kesulitan. Namun, pertemuannya dengan Nathan di sebuah acara amal menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Saat Nathan membutuhkan asisten pribadi baru, Alya yang tanpa sengaja melamar pekerjaan tersebut langsung diterima, meskipun tanpa pengalaman memadai. Namun, tak ada yang tahu bahwa Nathan punya rencana tersendiri dengan merekrut Alya. Di tengah hubungan yang awalnya hanya sebatas pekerjaan, mereka mulai terlibat dalam tarik-ulur emosi yang tak terhindarkan. Nathan yang dingin dan Alya yang penuh kehangatan seperti dua kutub yang saling bertolak belakang. Tapi, ketika masa lalu Nathan yang kelam mulai terungkap, Alya dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan bersama pria yang mulai dicintainya atau pergi demi menyelamatkan diri dari kerumitan hidup pewaris keluarga Albar. Mampukah Alya meluluhkan hati Nathan yang beku? Ataukah Nathan akan tetap terjebak dalam peran yang diwariskan kepadanya? Saat cinta dan ambisi saling berbenturan, hanya hati yang paling tulus yang akan bertahan.
Alya Nabila berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, menatap papan nama yang terpampang dengan huruf-huruf emas yang berkilauan: Albar Group.
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum memasuki gedung megah tersebut. Ini adalah hari yang penting baginya, ya, hari di mana dia harus membuktikan dirinya dalam wawancara kerja di salah satu perusahaan paling bergengsi di Jakarta.
"Tenang kan dirimu Al! Berikan yang terbaik!"
Dengan jantung yang berdegup kencang, Alya memasuki lobby gedung yang luas dan modern. Lantainya terbuat dari marmer mengilap, sementara dinding-dindingnya dihiasi karya seni mahal. Para pegawai yang berjalan berlalu-lalang tampak berpenampilan rapi dengan setelan jas mahal.
Alya jujur sangat minder dengan hal itu, iya menatap dirinya dari atas hingga bawah, blus putih sederhana dan rok hitam yang ia kenakan terkesan sangat biasa saja, tapi dia segera menepis perasaan itu. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mendapatkan pekerjaan setelah berbulan-bulan berjuang melamar di berbagai tempat.
"Huft!"
Melelahkan jika hanya membayangkan nya saja bukan?
Setelah iya memberitahukan keperluannya pada resepsionis, Alya diarahkan ke lantai atas untuk bertemu dengan kepala HRD. Namun, saat ia melangkah keluar dari lift, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tepat ketika pintu lift terbuka, seorang pria berjas hitam muncul dari arah berlawanan dengan langkah terburu-buru.
Brak!
Tubuh Alya terhuyung ke belakang, dan tanpa sengaja berkas lamaran yang dia bawa terjatuh berhamburan ke lantai. "Maafkan saya!" dia sedikit panik sambil buru-buru memunguti kertas-kertasnya. Namun, pria itu tidak merespons, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat darah Alya membeku seketika.
"Lihat jalanmu," kata pria itu dengan nada dingin.
Alya menegakkan tubuhnya, berusaha menahan rasa malu dan panik yang bercampur aduk. Pria itu terlihat sangat berwibawa, dengan setelan jas yang rapi dan wajah yang tampak sempurna, meski sorot matanya begitu menusuk.
"Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja," Alya mencoba menjelaskan dengan nada gemetar.
Akan tetapi, pria itu tidak peduli. "Orang ceroboh tidak punya tempat di sini," katanya angkuh sambil melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Alya yang masih berdiam diri seperti patung.
Alya merasa wajahnya memanas, di hari pertama iya begitu sial, tapi dia tak punya waktu untuk meratapi kejadian itu. Dengan cepat, dia memunguti sisa berkas yang berserakan di lantai, mencoba merapikannya kembali. Hatinya berharap insiden tadi tidak akan mempengaruhi peluangnya dalam wawancara.
Setelah menyusun kembali berkasnya, Alya bergegas melangkah ke ruang wawancara yang sudah ditentukan. Ruangan itu tampak mewah dan formal, dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Di meja depan, seorang wanita paruh baya dengan tatapan tegas menunggunya.
"Kamu Alya Nabila?" tanya wanita itu dengan nada datar.
"Ya, Bu. Saya Alya," jawabnya sambil tersenyum tulus, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Wawancara akhirnya dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan standar, Alya berhasil menjawab nya dengan tepat. Akan tetapi, tak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka dengan keras. Alya menoleh dan matanya membulat ketika melihat siapa yang masuk. Pria yang tadi menabraknya di lorong, pria yang memandangnya dengan penuh keangkuhan, kini berdiri di ambang pintu dan menatap ke arahnya.
"Pak Nathan, saya tidak tahu jika Anda akan bergabung dalam wawancara ini," kata wanita HRD itu dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.
Nathan Albar, CEO muda dan pewaris Albar Group, matanya tak lepas dari Alya dengan pandangan yang tak bersahabat. "Saya ingin melihat langsung kandidat yang katanya 'berpotensi' ini," katanya sambil duduk di kursi berhadapan dengan Alya.
Alya merasa tenggorokannya mengering. Ini buruk. Sangat buruk. Dia tidak pernah menyangka pria yang tadi ia tabrak adalah Nathan Albar, orang yang paling berpengaruh di perusahaan ini. Dia mengerutuki dirinya, sangat bodoh sekali.
"Jadi, Nona Alya," Nathan mulai berbicara sambil menyilangkan tangan di depan dada, "apa yang membuatmu berpikir bahwa kamu cocok bekerja di perusahaan kami, setelah menunjukkan betapa cerobohnya kamu beberapa menit yang lalu?"
Deg!
Alya terdiam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Tapi tekanan dari tatapan tajam Nathan membuat pikirannya kacau.
"Saya... saya punya pengalaman di bidang administrasi, dan saya yakin bisa memberikan kontribusi yang baik untuk perusahaan ini," jawabnya dengan suara yang agak gemetar. Namun tetap percaya diri.
Nathan tersenyum sinis. "Pengalaman administrasi, ya? Tapi kamu bahkan tidak bisa menjaga dokumenmu tetap rapi. Bagaimana aku bisa mempercayaimu untuk menangani urusan perusahaan?"
Alya merasa malu dan marah sekaligus. Namun, dia mencoba menahan emosinya agar tidak kelepasan. "Itu adalah kesalahan yang tidak sengaja, dan saya berjanji hal seperti itu tidak akan terulang lagi."
"Janji?" Nathan mendengus, lalu beralih pada wanita HRD. "Bu Maya, apa benar kandidat ini yang memiliki skor tertinggi dalam tes tertulis?"
"Iya, Pak Nathan. Alya memiliki skor yang sangat baik di semua kategori tes," jawab Bu Maya dengan ragu.
Nathan memutar matanya, jelas tidak terkesan. "Baiklah, Nona Alya. Aku akan memberimu satu kesempatan untuk membuktikan bahwa kau bukan sekadar angka di atas kertas." Ia berdiri, lalu melemparkan sebuah amplop cokelat tebal ke atas meja.
"Di sini ada beberapa berkas penting yang harus diantarkan ke kantor cabang kami di Serpong. Jika kamu bisa menyelesaikan tugas ini dalam waktu dua jam, kamu bisa lanjut ke tahap berikutnya. Gagal, dan kau tak perlu kembali." katanya dengan senyum misterius.
Alya menatap amplop itu dengan bingung. "Tapi... sekarang sudah jam lima sore, dan jalanan pasti macet..."
"Itu bukan masalahku," potong Nathan dingin. "Kamu mau pekerjaan ini atau tidak?"
Alya menggigit bibirnya. Tawaran ini terdengar seperti misi mustahil, tapi dia tidak punya pilihan lain. "Baik, saya akan melakukannya," jawabnya tegas.
"Bagus," Nathan tersenyum sinis. "Kita lihat apakah kamu bisa memenuhi ekspektasi."
Tanpa membuang waktu, Alya mengambil amplop tersebut dan berlari keluar gedung. Dia tahu lalu lintas Jakarta di jam-jam sibuk adalah mimpi buruk, tapi dia tidak akan membiarkan kesombongan Nathan menghancurkan harapannya. Dengan napas terengah, dia memanggil taksi pertama yang lewat dan memberitahu tujuannya ke pengemudi.
Namun, seperti yang sudah ia duga, perjalanan itu menjadi penuh rintangan. Jalanan macet parah, dan detik-detik berlalu dengan cepat sementara jarak tempuh seakan tak berkurang. Alya menggigit kuku, mencoba mencari cara lain. Saat itulah dia melihat seorang pengendara ojek online sedang menepi di tepi jalan.
"Pak, saya harus sampai ke Serpong secepatnya! Tolong bantu saya!" Alya memohon dengan panik pada pengemudi ojek tersebut.
Setelah beberapa detik ragu, pengendara itu mengangguk. "Ayo, Nona, naik! Tenang saja, kita akan mengambil jalan tikus!"
Alya segera turun dari taksi dan berlari menuju motor ojek tersebut. Dengan kecepatan tinggi, mereka menerobos jalanan sempit dan gang-gang kecil, mencoba menghindari kemacetan. Jantung Alya berdetak kencang, bukan hanya karena adrenalin tetapi juga karena beban tugas yang diembannya.
Tepat ketika dia berpikir sudah hampir sampai, motor itu berhenti mendadak karena ada razia lalu lintas. Alya merasakan napasnya terhenti, dan dengan panik, dia melihat waktu di ponselnya. Hanya tersisa 15 menit.
"Pak, kita harus jalan!" desaknya.
"Maaf, Nona. Kalau saya lanjut, SIM saya bisa ditahan," jawab pengendara ojek itu sambil menggeleng.
Alya merasa putus asa. Namun, dia tidak bisa menyerah sekarang. Dengan cepat, dia turun dari motor dan mulai berlari, menembus keramaian jalanan dengan amplop cokelat yang masih tergenggam erat di tangannya.
Dengan napas tersengal dan keringat bercucuran, Alya akhirnya tiba di kantor cabang Albar Group di Serpong. Dia melihat jam dinding-waktunya tinggal 2 menit sebelum batas akhir yang ditentukan Nathan. Dengan sisa tenaganya, dia berlari masuk ke dalam gedung dan menyerahkan amplop itu ke resepsionis.
"Ini untuk Pak Nathan... saya diberi waktu dua jam..." ujarnya terengah-engah.
Resepsionis itu memeriksa amplop tersebut lalu tersenyum tipis. "Anda berhasil, Nona. Saya akan melaporkan bahwa Anda menyelesaikannya tepat waktu."
Alya hampir tak percaya. Dengan rasa lega yang membanjiri dirinya, dia menyadari bahwa dia baru saja memenangkan pertarungan pertamanya melawan Nathan Albar.
"Pekerjaan ini sangat membuat ku tak bisa bernafas!" Batin nya mencoba agar tetap berpikiran untuk tidak resign.