Pelabuhan Akhir Sang Pewaris

Pelabuhan Akhir Sang Pewaris

theareeey

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
92
Bab

Sean Axel William, sang pewaris Grup William yang terkenal dengan tangan dinginnya dalam bisnis. Semua orang memuja dan berusaha menjeratnya, termasuk dari kalangan selebriti wanita. Dia sungguh muak, sampai suatu hari dia bertemu dengan seorang perempuan unik yang menarik perhatiannya. Kali ini, sang pewaris berusaha menjerat seorang perempuan dan menjadikannya pelabuhan akhir. Berhasilkah dia?

Bab 1 Dia Sean Axel William

Manhattan, USA. | 22.53 PM.

Suara musik menghentak begitu kencang namun tidak memekakkan telinga. Justru sebaliknya, musik dengan kencang seperti ini seolah membuat tempat yang di singgahi terasa begitu menyenangkan dan terasa hidup. Para pelayan tampak hilir mudik mengantarkan pesanan.

Aroma tembakau mahal yang dibakar seketika masuk ke dalam indra penciuman, disertai dengan dentingan gelas sloki yang berisikan wiski, tequila, vodka, dan anggur sehingga mengimbangi suara musik. Ini adalah acara ulang tahun yang tergolong masuk kategori mewah. Bahkan yang di undangnya adalah orang-orang berjas dan berdompet tebal.

Laki-laki dengan balutan kemeja press body itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa yang berada dalam ruangan private yang sudah dipesan secara sengaja oleh rekan kerjanya. Matanya berkilat tajam sembari memerhatikan para perempuan yang sengaja disewa untuk menyenangkan pelanggan.

Sampai seorang laki-laki yang memiliki kulit gelap dan berseragam pelayan itu menyerahkan satu gelar anggur. "Ini anggur Anda, Mr. William."

Dia Sean Axel William, laki-laki dengan sejuta pesona yang mampu membuat perempuan mana pun bertekuk lutut terhadapnya. Tampan, mapan, berpedidikan, tegas, berwibawa, dan dia juga berasal dari keluarga terpandang, memiliki kekayaan yang mampu menembus majalah Forbes.

Sean menatap laki-laki di depannya dengan pandangan menelisik. Menurut pendapat Sean, laki-laki itu lebih cocok menjadi polisi karena wajahnya terlihat menyeramkan saat ditatap. "Kau lebih cocok menjadi seorang Polisi dari pada pelayan bar seperti ini."

Laki-laki itu tersenyum kecil dan kembali bertugas saat Sean melambaikan tangannya, pertanda kalau Sean menyuruhnya untuk pergi.

Suasana seperti ini sebenarnya bagi Sean kurang bagus untuk dijadikan tempat ulang tahun. Tapi beginilah gaya ulang tahun masyarakat modern, tidak hanya meniup lilin dan memotong kue bersama orang terkasih. Tapi yang terjadi adalah big party yang diselenggarakan di tempat kelas atas. Kegiatan seperti ini sudah lumrah bagi bangsa Barat atau pun bangsa Eropa, seakan kau bebas melakukan apa pun ketika kau memiliki uang.

"Kudengar kau memiliki hubungan dengan Model dari Chicago itu? Kalau tidak salah namanya Zara Mellano, right?" Julian Antonio bekata setelah menyesap anggurnya. Laki-laki itu mengidikan bahunya dengan acuh saat Sean tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Dari media mana kau mengetahui berita bodoh itu? Biar aku tuntut medianya." Sean mengeraskan rahangnya saat berita mengenai dirinya dan Zara selalu memenuhi tagar di media sosial. Dia menghadap untuk menatap Julian sebelum berkata, "Dengar Jul, aku tidak sedang dekat dengan siapa pun untuk saat ini. Dan mungkin berlaku untuk kedepannya juga."

Julian menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Kau ini kenapa sih? Kau tidak buta perihal meneliti perempuan kan, Sean? Menurutku Zara Mellano itu tipe perempuan yang sempurna," papar Julian dengan senyum lebarnya.

Bagi Julian Sean itu sangatlah aneh, saat diberi umpan yang luar biasa justru malah menolaknya begitu saja. Apalagi kali ini yang ditolaknya dengan mentah-mentah adalah seorang Model ternama.

"Jika kau mau, pacari saja dia, semudah itu." Sean menjawab dengan pendek.

"Tidak setuju. Karena menurutku Zara Mellano terlihat lebih cocok denganmu," balas Julian, kemudian laki-laki itu mengangkat gelas sloki untuk menyesap anggurnya.

Sean menggeleng dan menatap Julian dengan malas. Sepupunya itu selalu saja seperti ini jika ada berita tidak jelas mengenai dirinya. Selalu heboh jika ada berita scandal yang menyangkut namanya. Sedari dulu Sean tidak pernah tertarik untuk terlibat dalam publik apalagi dengan berita tidak jelas seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini.

*

Willian Group, Manhattan, USA. | 09.11 AM.

Pagi yang cerah setelah malam yang panjang. Sean mengetuk pena di atas meja, matanya menatap beberapa gedung yang menjulang di hadapannya. Ruangan kerjanya berada di puncak perusahaannya, namun untuk yang memiliki riwayat penyakit jantung jangan harap bisa menginjakkan kakinya di tempat ini.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Sean mengizinkan orang di balik pintu itu masuk sehingga berjalan menghadapnya membawa satu map berwarna biru gelap yang didominasi oleh warna emas berkilau melambangkan William Group.

"Ini Pak, laporan mengenai proyek yang Anda minta." Laki-laki paruh baya itu dengan sopan menyerahkan map di tangannya.

Sean menerima uluran map itu dari tangan pekerjanya. Matanya fokus membaca berkas-berkas yang ada di dalamnya. Laki-laki itu melingkari ejaan yang kurang tepat menggunakan pena yang di tangannya.

"Perbaiki lagi, kalau masih salah. Pintu keluar William Group masih terbuka lebar," kata Sean dengan nada suara yang dingin. Menyerahkan kembali map tersebut dan menyuruh laki-laki paruh baya itu keluar.

Sean membuka Mackbooknya untuk melihat perkembangan perusahaan. Semenjak Ayahnya pensiun sebelum waktunya, semua tanggung jawab perusahaan diambil alih olehnya. Mungkin Addison akan meluangkan waktunya sekedar melihat-lihat hasil kerjanya selama ini. Setelah lulus kuliah, Sean sudah harus mengorbankan kebebasannya untuk ini.

Dulu William Group hampir bangkrut karena ada salah satu orang kepercayaan Ayahnya menggelapkan uang perusahaan yang berjumlah miliyaran dolar. Dan yang mengatasi hal itu adalah Sean, menguras banyak tenaga serta pikiran untuk mencari jalan keluarnya.

Setelah mengetahui keperibadian Sean yang jauh lebih menyeramkan dibandingkan dengan Addison. Membuat semua orang yang bekerja di bawah perusahaan William Group harus menyiapkan mental untuk mendengar ucapan galak dan ketus Sean setiap harinya.

Tangannya menari lincah di atas keyboard harus terhenti saat suara dering ponsel menjadi nada yang terdengar riang dalam ruangan senyap dan hening ini. Sean hanya melirik ponsel mahalnya yang menyala dan nama Julian tertera di sana. Membuat Sean mengabaikannya, sudah kebiasaan Julian meneleponnya disaat jam kerja seperti sekarang ini.

Lima panggilan tidak Sean jawab. Sehingga beberapa menit kemudian datanglah satu pesan yang kembali membuat layar ponselnya menyala.

Julian Antonio : Aku hanya mengingatkanmu, nanti siang ada pameran di Galeri Seninya Paman Rodrigo. Kalau kau masih ingin bertemu dengan seniman itu, maka ikutlah nanti siang bersamaku. Pukul satu nanti aku akan ke kantormu.

Sean mengangkat pergelangan tangannya yang dihiasi oleh jam tangan yang harganya selangit. Modelnya terlihat simple namun tidak menghilangkan kesan elegan pada jam tersebut. Sekarang sudah pukul sebelas siang, ternyata dia sudah lama berdiam diri di kantor. Dengan cepat dia mengetikkan balasan pesan Julian.

Sean Axel : Aku akan ke tempatmu, kau masih berada di kantor?

Tidak lama muncul balasan yang mengatakan kalau Julian masih berada di kantor. Sean menutup Mackbooknya dan mengambil jas berwarna navy yang tersampir di kursi kerjanya. Tidak lupa memakainya dan segera meninggalkan ruangan.

Sean tersenyum kecil, tidak lama lagi dia akan bertemu dengan seorang seniman yang sudah sejak dulu ingin dia ketahui. Kabar kalau seniman itu akan datang di acaranya yang kali ini, membuat Sean semangat.

"Tunggu aku, Sands Of Time. Apa pun jenis kelamin dirimu, akan aku temukan."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku