Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
NIKAH DADAKAN DENGAN DOSEN BRENGSEK

NIKAH DADAKAN DENGAN DOSEN BRENGSEK

BangggultomS

5.0
Komentar
30
Penayangan
5
Bab

Clara, seorang gadis yatim yang hidup sederhana bersama ibunya, menjalani hidup penuh perjuangan. Namun, dunia Clara mendadak jungkir balik ketika sepupunya sendiri menebar fitnah keji. Fitnah itu menyeret nama dosennya-sosok yang terkenal galak dan tak kenal kompromi. Tekanan keluarga dan bisik-bisik masyarakat memaksa Clara untuk menikah mendadak dengan pria yang selama ini ia anggap "dosen brengsek." Pernikahan yang diawali dengan paksaan ini menjadi babak baru dalam hidup Clara. Pertanyaannya: apakah pernikahan ini akan membawa kebahagiaan atau justru menjadi bencana yang lebih besar? Akankah fitnah yang merusak kehormatannya berujung pada kisah cinta yang tak terduga? "Namaku Clara, dan aku menikah mendadak dengan dosen yang kubenci." Pahitnya fitnah dan manisnya cinta beradu dalam perjalanan hidup Clara yang penuh kejutan.

Bab 1 Namaku Clara

Namaku Clara. Aku bukan putri emas, apalagi emas murni yang diperlakukan seperti putri sendiri. Aku ini cuma anak yatim yang tinggal di gubuk kecil bersama emak, hidup pas-pasan seperti ranting yang tua dan jatuh dari pohonnya.

"Hmmmm..." Aku masih ingin memejamkan mata, bermesraan dengan bantal guling. Tapi kenyataan memaksaku untuk bangun. Aku tidak boleh malas-malasan. Emak harus ku bahagiakan. Apalagi bapakku sudah lama pergi menghadap Yang Maha Kuasa, meninggalkan aku dan emak sendirian.

Selepas aku bangun, aku tak lupa tuk berdoa kepada yang memberi aku nafas serta kehidupan yang aku syukuri, aku langsung membereskan kamar dan bersiap-siap untuk kuliah.

Walaupun aku dan Emak miskin, pendidikan adalah prioritas bagiku. Kalau bisa emak harus berhenti bekerja jadi tukang cuci di rumah tetangga yang mulutnya seperti speaker rusak, aku harus berhasil. Bukan berhasil cari cowok kaya...eh, bukan itu! Aku harus lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Dengan baju lusuh yang sudah beberapa kali dijahit emak, aku pamit. Kalau tidak pamit, bisa-bisa emak marah dan aku disumpahi jadi kodok. Hahaha.

Aku tidak lupa untuk mencium pipi kesayanganku, Emak.

Warnanya yang sudah pudar karena keringat yang mengucur deras setiap hari.

Saat melihat jam tangan kusam di pergelangan kiriku, mataku langsung melebar.

Ternyata Sudah pukul 7:20! Dengan langkah terburu-buru, aku berlari sekuat tenaga. Tidak ada waktu untuk santai. Aku harus sampai sebelum dosen brengsek datang.

Kakiku yang pendek menerobos kerumunan mahasiswa yang sibuk nongkrong bersama geng masing-masing. Mereka seperti semut yang sedang berburu makanan.

"Brengsek lu, cewek udik! Main tabrak aja!" teriak seorang cowok yang ku tabrak.

Aku masa bodoh. Hinaan dan cercaan seperti itu sudah biasa bagiku. Menjadi orang miskin itu berarti siap jadi bahan ledekan. Aku tidak peduli dan tidak merasa perlu minta maaf. Kalau aku berhenti untuk minta maaf, pasti aku cuma akan jadi bahan olok-olokan mereka.

Ogah! Orang kaya memang suka seenaknya terhadap mahasiswa seperti aku, yang kuliah berkat beasiswa. Hahaha.

Meskipun nafasku sudah hampir habis, aku tetap berlari. Aku harus tiba di kelas sebelum si dosen brengsek datang.

Syukurlah, aku berhasil. Saat pintu kelas kubuka, ternyata si dosen belum datang. Dengan cepat, aku menuju kursi yang tersisa, pojok dekat jendela.

"Lumayan, kalau ketiduran gak bakal kelihatan," pikirku. Tapi aku tahu diri. Dosen brengsek maut itu tidak bisa diajak bercanda. Kalau nekat macam-macam, bisa-bisa nilai semester ini berakhir tragis. Wkwkwkw.

Beberapa detik kemudian, dosen killer itu datang. Penampilannya rapi dan elegan, sukses membuat para mahasiswi menjerit dalam hati. Kecuali aku. Kalau mereka sampai mengungkapkan kekagumannya secara langsung, bisa habis riwayat mereka.

Meski galak, si dosen ini tetap jadi idaman. Pernah, di toilet kampus, aku mendengar seorang cewek bilang, "Aku rela hamil anaknya Pak Dosen Maut, biar keturunanku jadi bagus."

Aku cuma bisa berkata di hati, "Kamu mau sama dia, tapi dia belum tentu mau sama kamu." Kalau aku ngomong begitu di depan mereka, yakinlah aku bakal di-bully habis-habisan.

Pikiranku buyar ketika si dosen maut memanggil namaku dan menyuruhku presentasi materi kemarin. Gawat! Aku belum baca ulang lagi. Inilah ciri khas si dosen. Selalu saja ada kuis mendadak.

"Saya, Pak?" tanyaku dengan suara bergetar.

Materinya sulit. Rasanya ingin aku mengumpat, tapi takut dosa. Mau tidak mau, aku maju ke depan.

Tatapan tajam dosen maut itu membuatku semakin gugup. Aku melirik catatan yang untungnya kemarin sudah ku tulis lengkap. Ini satu-satunya harapanku agar bisa menjawab semua pertanyaannya.

Aku mulai menjelaskan. Baru beberapa kalimat, dia sudah melontarkan pertanyaan. Pertanyaannya satu, tapi jawabannya bercabang ke mana-mana. Aku tetap berusaha menjawab dengan tenang, meski dalam hati aku ingin menangis.

Selama satu jam penuh, aku menjadi sasaran tanya jawab. Rasanya seperti menjadi asisten dosen tanpa dibayar. Tapi, ya sudahlah. Yang penting nilainya bagus.

Setelah selesai, aku kembali duduk. Lega rasanya. Teman sekelas ku yang cantik, anak orang kaya, giliran maju. Kukira dia bakal diperlakukan lebih baik. Ternyata tidak. Si dosen malah semakin galak. Setiap ucapannya dikoreksi habis-habisan.

Ternyata, cantik pun tidak menjamin kebal dari dosen maut. Untung wajahku biasa saja, jadi aku tidak terlalu menarik perhatian.

Saat pelajaran hampir selesai, si dosen maut melontarkan kalimat yang membuat semua mahasiswa terdiam.

"Bagaimana kalian mau lulus ujian kalau otak saja tidak dipakai? Belajar itu pakai otak, bukan untuk gaya-gayaan."

Selesai jam pelajaran, aku langsung ke kantin. Aku harus membantu emak di kantin bekerja. Lumayan, uangnya bisa membantu kebutuhan hidupku. Meski begitu, ada risikonya. Aku sering jadi sasaran keisengan anak-anak kampus.

Aku mendekati meja sekelompok junior dan bertanya, "Mau pesan apa?"

Salah satu dari mereka menjawab sambil tertawa, "Pesan kakak senior!"

Aku menghela napas. Mereka hanya buang-buang waktu dengan tawanya yang menyebalkan. Rasanya tangan ini ingin melayang ke wajah mereka, tapi aku memilih diam. Sabar, Clara.

Akhirnya, setelah sejam, pesanan mereka selesai. Baru saja aku hendak kembali ke kelas, seseorang memanggilku.

"Clara."

Bersambung ~

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh BangggultomS

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku