Semua yang terjadi, salah siapa? Haruskah Aku yang menanggung beban ini? Dia mengejarku sampai Aku terguling ke semak-semak berduri, tawanya membuatku lari tunggang langgang. Dendam; hanya membawa kehancuran. Dendamnya abadi, hingga puluhan tahun lamanya dan sialnya 'Akulah targetnya' Love Dhira Seviana
Aku melihat hamparan pasir putih di belahan laut Utara tepatnya di Desa Karang Anyar, tak terbayang sebentar lagi harus meninggalkan tempat ini. Papa di pindahkan tugasnya di sebuah desa terpencil di pulau Narnia, entah apa saja yang akan Aku alami?
Setahun belakangan hubungan Papa-Mama tidak akur, bagaimana pun kerasnya Aku berusaha mendamaikan, Mereka selalu mendapatkan celah untuk bertengkar. Seharian Aku selalu mengurung diri di kamar, karena tidak ingin mendengar Mereka saling menuntut dan berteriak, hanya masalah sepele.
"Ma, mana charger laptopnya Papa?" terdengar suara Papaku di luar.
"Carilah dulu Pa, Mama lagi sibuk." benar, kan? Hal-hal seperti itu pasti akan diributkan.
"Mama gimana sih? Aku harus meeting," ucap Papa.
Rasanya tidak kuat harus mendengarkan Mereka yang sebentar lagi akan ribut, jadi Aku memutuskannya untuk keluar dari rumah, sekadar menghirup udara segar untuk menangkan pikiran.
"Dion," sapa Mesya.
"Hai, Sya." Aku tersenyum padanya.
"Tumben Kamu keluar?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum tidak menjelaskan detailnya, terkadang Aku malu kalau teman-temanku tahu tentang keadaan rumahku yang selalu kacau. Mereka sepertinya tidak tahu, selama Aku tidak mencarikannya.
"Sya, mau ke mana?" tanyaku padanya.
"Aku mau main ke sana," balasnya.
Kulihat Mesya duduk di pinggir danau dekat taman yang sudah lama terbengkalai, kemudian Dia pulang setelah di jemput oleh Kakaknya Bela. Sepintas Mesya sempat menatapku dengan senyuman aneh, hal itu terus membuatku terpikir.
"Awas!" teriak seseorang.
"Aw." Aku merasakan sakit yang teramat sangat pada lenganku.
"Jalan itu pakai kaki dan mata buat melihat," ucapnya.
"Lho, kok Aku di sini?" tanyaku.
"Emang Kamu pikir ini di mana?" tanyanya balik padaku.
"Engga tadi...." Aku tidak bisa berkata-kata, setahuku Aku masih berada di taman tadinya.
"Kayanya Kamu lagi sakit deh," gumamnya yang masih bisa Aku dengar.
"Kenapa tiba-tiba merinding ya?" tanyaku.
"Hahaha. Sebenarnya Kamu itu penakut atau bagaimana sih? Ini masih pagi lho," ucapnya.
Tanpa mendengarkan Dia atau mengucapkan terima kasih, Aku pergi ke rumah dengan cepat. Aku mengetuk pintu, namun tidak ada yang membukanya. Aneh, padahal tadi sama sekali tidak dikunci.
Malah Pak Mansur sedang cuti, karena istrinya melahirkan. Bibi Amidah juga tidak membuka pintu, apa Mama dan Papa sudah selesai bertengkar?
Aku tidak punya pilihan lain, jadi Aku memutuskan untuk masuk lewat pintu belakang. Meski harus memanjat pagar, ribet banget sih punya rumah seperti ini?
Bruak!
Kudengar suara yang begitu keras dari rumah, entah mengapa hatiku terasa aneh? Aku merasakan takut, sedih ah pokoknya tidak karuan. Apalagi, sejak tadi tidak ada suara apapun dari dalam.
Kenapa Aku baru sadar? Apa telah terjadi sesuatu? Besar harapanku, aula semuanya baik-baik saja. Saat Aku akan naik ke atas, ada seseorang yang memegang kakiku.
"Lepasin!" teriakku.
"Ngapain manjat rumah orang? Lho mau maling?" tanya seseorang yang sepertinya tidak asing.
"Lho Kamu." Aku terperanjat melihat gadis yang tadi menolongku, ketika hampir terserempet motor.
"Iya, Aku ngikutin Kamu. Gara-gara Kamu pesanan kue Ibuku jadi terlambat, jadi Kamu harus bayar sebagai ganti ruginya." Dia memarahiku, namun perhatianku teralihkan saat melihat sekelebat bayangan yang ada di kamarku.
Aku benar-benar melihatnya, Dia ada di balik gorden. Kamarku yang ada di lantai paling atas, tentu dapat melihatnya dari bawah.
"Eh, dengar gak?" tanyanya.
"Sssttt." Aku menutup mulutnya dan membawanya lari sejauh mungkin.
"Lepas, kok malah kabur sih? Jadi, benar Kamu mau maling?" tanyanya.
"Eh, bisa diam gak sih?!" ucapku dengan nada tinggi.
"Kok gitu sih?" tanyanya.
"Kamu sih, nuduh orang sembarangan! Emang Aku memiliki tampang maling apa?" tanyaku padanya.
"Ya, engga sih." Dia memperhatikanku, benar-benar begitu dekat.
"Tampang keren gini di kira maling," gumamku.
"Terus kenapa manjat pagar tadi?" tanyanya.
"Itu rumah Aku," balasku.
"Masak, kenapa gak lewat depan?" tanyanya.
"Ah, diam! Bikin pusing tahu, gini ya. Mama sama Papa tadinya bertengkar, makanya Aku keluar rumah. Dan waktu Kamu nyelamatin Aku, itu sebenarnya masih di taman yang terbengkalai itu. Ya, engga ngerti juga kenapa tiba-tiba ada di tengah jalan? Aku." Aku mengusap wajahku yang terasa berat.
"Sorry, ternyata Kamu banyak masalah." Dia menunduk dengan wajah bersalahnya, hal itu membuatku merasa tidak tega.
"Oh, ya masalah uang Kamu itu biar Aku yang ganti. Sini kuenya," ucapku.
"Gak usah," balasnya.
"Kamu dari mana?" tanyaku.
"Aku Nadin dari sini juga, cuma rumahku ada di pinggir kali sebelah Utara sana. Gak banyak yang tahu, soalnya agak jauh dari pinggir desa," tuturnya.
"Biar Aku antar." Aku mencoba mencari alasan, karena Aku sendiri belum berani pulang ke rumah. Tiba-tiba saja Aku menjadi penakut.
"Orang tua Kamu gak marah?" tanyanya.
"Gak tahu juga, eh Aku boleh cerita gak?" tanyaku.
"Cerita apa?" tanyanya.
"Sebenarnya Aku curiga, kayaknya ada yang gak beres di rumahku. Gak ada yang bukain Aku pintu dan." Aku termenung, haruskah Aku ceritakan tentang bayangan itu?
"Dan apa?" tanyanya.
"Dan Aku takut aja," balasku.
Kenapa malah terdengar konyol dan sepenakut ini? Bahkan, rasanya gak bisa berbohong pada gadis ini. Dia menatapku, kemudian tersenyum.
"Jadi, itu sebabnya Kamu manjat pagar?" tanyanya.
"Iya," jawabku singkat.
"Sama sekali gak ada yang bukain pintu?" tanyanya.
"Iya. Kayaknya Aku harus pergi mencari seseorang," ucapku.
"Siapa?" tanyanya.
"Pak Mansur, Dia kayaknya udah pulang dari rumah sakit. Nanti Aku ganti uang Kamu," ucapku.
"Gak usah, Aku bakal bantu Kamu. Di mana rumahnya?" tanyanya.
"Dia dekat sini, di gang Dolly." Aku dan Nadin pergi ke gang Dolly.
Sesampainya di depan rumah Pak Mansur, Aku mengetuk pintu. Pak Mansur muncul dari dalam, Dia menyambut kedatanganku dan Nadin.
"Ada apa Den?" tanyanya.
"Pak, sebenarnya...." Aku menceritakan semuanya pada Pak Mansur, wajahnya terlihat cemas persis seperti yang Aku rasakan.
"Sebentar, Bapak telephon Pak Abas dulu." Pak Mansur mengambil ponselnya.
Dia menelpon Pak Abas yang merupakan supir pribadi Papa. Karena, Papa meeting dari rumah Pak Babas tidak kerja. Pak Mansur terlihat menengok ke arahku, kemudian Dia manggut-manggut.
"Pak, apa semuanya baik-baik saja?" tanyaku yang harap-harap cemas.
"Den, sebaiknya menginap di sini. Katanya Papa sama Mamanya Aden sedang ke pengadilan," balasnya.
"Pengadilan?!" tanyaku.
"Sepertinya tidak ada yang bisa di pertahankan, maaf Bapak harus mengatakan ini. Aden sendiri tahu bagaimana keadaan Mereka," tutur Pak Mansur.
"Tapi, tadi." Aku benar-benar tidak habis pikir dengan kejadian pagi tadi.
"Sepertinya Aden hanya sedang kecapekan saja," ucap Pak Mansur.
"Pak, boleh kalau Aku pinjam duit dulu. Soalnya Aku." Nadin mencubit pinggangku.
"Aw! Sakit," bisikku.
"Gak usah," balasnya.
"Ini siapa?" tanya Pak Mansur.
Baca di part selanjutnya
Buku lain oleh Miranda Hall
Selebihnya