Aisha adalah gadis desa yang tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sederhana. Ketika orang tua Aisha, pemilik usaha mebel di Jepara, terjerat hutang dan jatuh bangkrut, dia terpaksa menjalin ikatan pernikahan dengan Arman, seorang pria kaya pemilik perusahaan Mirabell Cosmetics di Surabaya. Pernikahan ini bukanlah sebuah kisah cinta, melainkan sebuah transaksi untuk menyelamatkan keluarganya dari jeratan utang. Meski Arman berusaha untuk membuat Aisha bahagia, ia harus berjuang melawan sikap dingin Aisha yang merasa hampa dalam pernikahan tanpa cinta. Dalam perjalanan mereka, Aisha dan Arman menemukan arti sebenarnya dari cinta, meskipun memerlukan waktu yang lama dan banyak tantangan.
Mentari pagi mulai merayap masuk melalui jendela kecil di kamar sederhana Aisha. Suara burung berkicau di luar mengisyaratkan bahwa hari baru telah tiba. Aisha, seorang gadis berusia dua puluh lima tahun, terbangun dengan semangat meskipun hatinya dipenuhi keraguan. Ia merapikan tempat tidur dan mengenakan jilbabnya yang sederhana sebelum berjalan menuju ruang kelas di pesantren Al Zahra.
"Assalamualaikum, Aisha," sapa Umi Khadijah, kepala pesantren, saat Aisha melangkah masuk. Umi Khadijah adalah sosok yang dihormati dan dicintai oleh semua santriwati. Ia memiliki wajah yang ramah, meskipun kerutan di dahi dan sudut bibirnya menunjukkan bahwa ia telah mengalami banyak cobaan.
"Waalaikumsalam, Umi," jawab Aisha, tersenyum meskipun dalam hatinya ada sebuah kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan.
"Apa kabar, Aisha? Siap mengajar hari ini?" tanya Umi, menatap Aisha dengan penuh perhatian.
"Insya Allah, Umi. Saya sudah menyiapkan materi untuk santriwati," jawab Aisha, berusaha terdengar optimis.
Aisha adalah seorang guru di pesantren ini. Ia mengajarkan Al-Qur'an dan ilmu agama kepada santriwati yang berusia remaja. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, ia merasa bangga dapat berkontribusi dalam mendidik generasi muda. Namun, beban berat di pundaknya semakin terasa, terutama setelah keluarganya terjerat dalam masalah keuangan.
Beberapa bulan ini, Aisha sering terbangun di tengah malam, memikirkan keadaan orang tuanya. Ayahnya, yang dulunya pengusaha mebel di Jepara, kini terjebak hutang setelah bisnisnya bangkrut. Ibu Aisha, seorang perempuan yang tegar, berusaha mencarikan jalan keluar agar tidak terjerat lebih dalam.
Saat mengajar, Aisha teringat percakapan yang terjadi di rumah beberapa malam lalu.
"Bisa jadi kita harus mencari jalan lain, Aisha," kata ibunya dengan nada cemas. "Hutang ini sudah terlalu berat. Kita tidak bisa terus begini."
"Apa yang akan kita lakukan, Bu?" tanya Aisha, suaranya bergetar.
"Ayahmu sudah berusaha sekuat tenaga. Mungkin kita harus mencari bantuan dari orang lain," jawab ibunya dengan penuh harapan.
Kini, Aisha berdiri di depan kelas, memandang wajah-wajah ceria santriwatinya. Mereka tampak antusias menunggu pelajaran. Namun, hatinya masih dipenuhi rasa cemas.
"Selamat pagi, santriwati!" seru Aisha, berusaha mengusir pikirannya yang kelam. "Hari ini kita akan membahas tentang pentingnya akhlak dalam kehidupan sehari-hari."
"Selamat pagi, Aisha!" balas santriwati serempak, semangat mereka membuat Aisha sedikit merasa lebih baik.
Aisha mulai menjelaskan tentang akhlak dan dampaknya terhadap kehidupan. Saat ia berbicara, pikirannya melayang kembali ke keluarganya.
Di tengah pelajaran, tiba-tiba pintu kelas terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan wajah marah memasuki ruangan. Dia adalah Bu Ratna, tetangga sekaligus teman lama keluarganya.
"Maaf, Aisha, bolehkah saya berbicara sebentar?" tanya Bu Ratna, suaranya penuh tekanan.
"Ya, Bu. Silakan," jawab Aisha, merasa ada yang tidak beres.
"Ini tentang hutang keluargamu. Pak Usman datang lagi, dan dia sudah tidak sabar menunggu pembayaran. Jika tidak segera dilunasi, dia akan mengambil langkah yang lebih drastis," jelas Bu Ratna dengan nada khawatir.
Aisha merasakan jantungnya berdegup kencang. "Tapi kami sudah berusaha, Bu. Ayah sedang mencari pekerjaan baru," ujarnya, berusaha menahan air mata.
"Dia tidak peduli. Dia hanya mau uangnya kembali. Aisha, kamu harus hati-hati. Jika tidak, bisa jadi keluargamu akan terjebak dalam masalah yang lebih besar," kata Bu Ratna, lalu beranjak keluar.
Setelah Bu Ratna pergi, suasana kelas menjadi tegang. Aisha berusaha untuk tetap tenang, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Santriwati di depannya tampak bingung dengan ekspresi wajahnya.
"Maaf, saya butuh waktu sejenak," Aisha berkata, lalu melangkah keluar kelas untuk bernafas sejenak.
Di luar kelas, udara terasa panas dan menyesakkan. Ia duduk di bangku kayu yang ada di halaman, memandangi langit yang cerah. Namun, hatinya gelap. Ia tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.
"Aisha!" panggil suara temannya, Fatimah, yang datang menghampirinya. "Kau kenapa? Wajahmu terlihat pucat."
"Aku baik-baik saja, Fatimah," jawab Aisha, meskipun suaranya bergetar.
"Jangan bohong! Aku tahu ada yang mengganggumu. Ceritalah padaku," Fatimah mendesak, duduk di samping Aisha.
"Aku hanya... khawatir tentang keluargaku," Aisha menghela nafas. "Hutang ayah semakin menumpuk, dan Pak Usman sudah mulai mengancam."
Fatimah menggenggam tangan Aisha. "Kita bisa bantu. Mungkin kita bisa menggalang dana atau melakukan sesuatu untuk membantu keluargamu."
Aisha menggeleng. "Aku tidak ingin merepotkan orang lain. Ini adalah tanggung jawab keluargaku."
"Jangan berpikir seperti itu. Kita adalah teman. Kami akan selalu ada untukmu," ucap Fatimah dengan tegas.
Kata-kata Fatimah sedikit meringankan beban di hati Aisha, tetapi ia tahu bahwa jalan keluar dari masalah ini tidak semudah itu. Dalam hati, ia berharap ada jalan keluar yang bisa menyelamatkan keluarganya tanpa harus kehilangan harga diri.
Dengan senyuman tipis, Aisha berdiri dan kembali ke kelas. Ia tahu, hari ini adalah awal yang kelam, tetapi ia bertekad untuk berjuang demi keluarganya. Cinta dan harapan masih ada di dalam hatinya, meskipun gelap menyelimuti hidupnya saat ini
***
Kejatuhan yang Menyakitkan
Malam itu, suasana di rumah Aisha tampak suram. Lampu remang-remang menerangi ruang tamu yang sederhana, di mana Ayah dan Ibu Aisha duduk di kursi kayu yang sudah mulai lapuk. Di meja, tumpukan tagihan menunggu untuk dibayar, dan wajah mereka mencerminkan beban yang tak tertahankan.
"Ayah, bagaimana dengan usaha mebel kita? Apa ada harapan untuk membangunnya kembali?" tanya Aisha, suaranya bergetar. Ia duduk di lantai dekat kaki Ayah, menatap wajah yang penuh kerut dan tanda-tanda kelelahan.
Ayahnya, Pak Ahmad, menghela napas panjang. "Aisha, kita sudah melakukan yang terbaik. Tapi bank sudah menyita semua aset kita. Kita tidak bisa lagi berutang. Semua ini karena kredit macet," jawabnya, suaranya berat.
"Berarti kita sudah tidak punya apa-apa lagi?" tanya Aisha dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu dan Ibumu," ucap Pak Ahmad, menundukkan kepala penuh penyesalan.
"Ibu, bagaimana kita bisa mengatasi semua ini?" Aisha beralih pada Ibu, yang duduk di samping Ayah dengan tatapan kosong.
"Ibu sudah berusaha mencari pekerjaan, Aisha. Tapi sulit sekali dalam keadaan seperti ini. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan semua usaha sudah terhimpit," jawab Ibu, suaranya bergetar.
"Kalau begitu, kita harus mencari cara lain. Mungkin kita bisa menjual barang-barang di rumah ini?" Aisha mencoba berpikir positif. "Atau kita bisa membuka usaha kecil-kecilan, misalnya berjualan makanan."
Ibu menggeleng. "Aisha, bukan itu masalahnya. Kita tidak punya modal untuk memulai usaha baru. Dan barang-barang ini, meskipun sederhana, adalah kenangan kita bersama. Kita tidak bisa menjualnya," ucapnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisha merasa putus asa. "Pak Usman sudah mulai mendatangi kita dan mengancam."
"Jangan khawatir, Nak. Ayah akan mencari jalan keluarnya. Kita tidak bisa menyerah," kata Pak Ahmad, berusaha memberikan semangat meskipun hatinya berat.
Malam itu, Aisha tidak bisa tidur. Dia terbaring di ranjangnya, memikirkan keadaan keluarganya. Dia teringat saat mereka masih hidup bahagia, saat usaha mebel ayahnya berkembang dan mereka bisa membeli barang-barang kecil untuk rumah. Semua itu kini sirna dalam sekejap.
Keesokan paginya, Aisha memutuskan untuk berbicara dengan Umi Khadijah di pesantren. Mungkin ada cara untuk mendapatkan bantuan. Setelah selesai mengajar, ia menghampiri Umi.
"Umi, bolehkah saya berbicara?" Aisha berkata, suaranya penuh harap.
"Ya, Aisha. Ada apa?" tanya Umi Khadijah, menatapnya dengan lembut.
"Ayah saya sedang mengalami masalah keuangan. Usaha mebel kami sudah disita bank, dan kami terjebak dalam hutang. Kami butuh bantuan," ucap Aisha, menahan air mata.
Umi Khadijah mengerutkan dahi. "Aduh, Aisha. Ini benar-benar situasi yang sulit. Apakah kamu sudah berbicara dengan tetangga atau teman-teman di sini?"
"Saya sudah mencoba, tapi tidak ada yang bisa membantu. Kami merasa terasing, seolah kami membawa aib," jawab Aisha, suaranya hampir tak terdengar.
"Aisha, jangan berpikir seperti itu. Kita adalah komunitas yang saling mendukung. Saya akan membantu mencarikan solusi. Mari kita panggil beberapa santriwati dan mungkin kita bisa menggalang dana," Umi Khadijah berkata dengan tegas.
"Terima kasih, Umi. Saya sangat menghargainya," Aisha merasa sedikit lega.
Di rumah, Aisha berbagi berita baik itu dengan keluarganya. "Umi Khadijah bersedia membantu kita, mungkin dengan menggalang dana dari santriwati di pesantren," ucapnya, meskipun harapan di wajah Ayah dan Ibu masih samar.
"Ini adalah langkah yang baik, Aisha. Kita harus berusaha," kata Ibu, meskipun matanya masih tampak penuh kekhawatiran.
Malam itu, mereka berkumpul untuk berdoa, berharap agar ada jalan keluar dari semua kesulitan ini. "Ya Allah, berikanlah kami petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi ujian ini. Lindungilah keluarga kami," Aisha mengucapkan doa dengan penuh harap.
Aisha tahu, perjuangan belum berakhir. Masih ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi, tetapi ia bertekad untuk berjuang demi keluarganya. Dalam hatinya, dia berharap agar cahaya harapan segera datang, meskipun saat ini semuanya terasa begitu kelam.
******